Tampilkan postingan dengan label Short Stories. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Short Stories. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Agustus 2014

Aku Selalu

Jikalau kamu berdiri di sini, di hadapanku, dan bertanya seberapa besar aku mencintaimu...
Aku akan meminta kamu untuk menengadah ke atas melihat langit yang membentang luas menaungi kita.
Seraya kamu memandang langit, aku akan mengatakan bahwa sebesar itulah aku mencintaimu.

Jikalau kamu berdiri di sini, di hadapanku, dan bertanya seberapa besar aku merindukanmu...
Aku juga akan meminta kamu untuk menengadah ke atas melihat langit yang membentang luas menaungi kita.
Seraya kamu memandang langit, aku akan mengatakan bahwa sebesar itulah aku merindukanmu.

Aku tahu, langit masih bagian dari dunia ini. Dan apapun yang ada di dunia ini, itu terbatas. Namun, kumohon, jangan lihat dari sisi waktu dan kapasitas.

Lihatlah, dari sisi ini:

Langit. Membentang luas hingga ke berbagai pelosok dan penjuru dunia. Ke manapun dan di manapun, kamu, aku, kita, kalian, mereka akan selalu dinaungi oleh langit. Langit selalu membentang di atas kita di manapun kita berada, ke manapun kita pergi, dan kapanpun kita bertindak.

Itu berarti...
Ke manapun, di manapun, dan kapanpun kita bernapas, selama kita masih diizinkan untuk hidup dan berpetualang, aku akan selalu mencintaimu dan merindukanmu.

Aku selalu mencintaimu dan merindukanmu.


Kamis, 01 Mei 2014

Running to the Void

Imagine this.

You're standing in the midst of crowd.
You know them, but only a few who have relationships with you.
Only a few who are connected with you.
They're talking and laughing a lot while you're just trying to keep a silence.
They're full of noisiness, yet also hilarity.
Meanwhile, you keep standing still, watching them alertly.

Then suddenly, you're sick of that hectic atmosphere.
No one's without lies.
Everyone has his or her own fudge.
All you want is stillness.
Maybe, to find clarity.
Or maybe, to find back your serenity, since you believe you had it once.

You close your eyes, hoping all that clamorous sound to fade away.
It does.
Slowly, it becomes more and more serene.

You start to open your eyes.
And all you can see is refulgence.
Everything is so clear white.
You dazzle for a moment.
You narrow your eyes.

A wonderful view begins to appear.
There's a vast field of golden grass.
They're all swayed by the wind.
You can feel the wind breeze through your hair and ears.
The sky is blue and full of white cotton cloud.
What is this place?
All you can hear is silence.
All you can feel is quietude.

As you begin to enjoy the moment, your mind starts to wonder about the others.
Where are they?
You try to savour the moment and explore the place.
Where am I?
You start asking where you're standing when you realize about where the others are.

You try to fancy the view and the atmosphere, but everything you do ends up with looking for the others.
Why am I here?
You start to walk wherever the wind blows, not to explore the place, but to find someone.
How did I get here?
There's a little feeling of wanting to cry, but your mind keeps fighting it by asking one question: "Isn't this what you wanted? A solitude?"

Suddenly, you hear a voice.
A voice that's calling your name.
Some voices begin to rise.
They all are whispering, calling you by your name.
Their voices are like a glimpse of heaven.
So, what the place where you are now is called?

Thence, you start to run.
Run and run to look for the source of the voices.
Where is it? Where are they?
Begging to the sky, you keep running and hoping to find someone.
Someone you can walk together with.
Someone you can share everything with.
Someone whom you miss from the crowd that you used to execrate.

Unexpectedly, the voices begin to fade away.
It's so unforeseen.
Anxiety begins to creep in.
You run faster, as fast as you can, trying to catch one of them.
Nevertheless, it's like they run faster than you can ever be.
You cannot catch them up.
Just like from the very first start, you can grip none of them.

You're panting.
Not because you're exhausted.
But because you're afraid.
Afraid of being alone.

You fall on your knee.
Tears start falling on your cheek.
You're afraid.
Afraid of that solitude which you used to want.
You just understand nothing.
Trying to figure out where they've gone, but everything ends up with this word: 'why'

Thenceforward, you stand and start walking again.
You realize.
You realize that the voices were never real.
They are not real.
Those voices are only your thoughts.
Because you long for company in your deep heart.
Craving for serenity and clarity, but all you have now is a great void.

You realize.
That you've been left alone.

Senin, 28 April 2014

Misteri

    Jikalau langit bisa lebih dari sekadar menaungi kita, apa yang akan ia peluk? Jikalau dedaunan bisa lebih dari sekadar bergemerisik, apa yang akan mereka katakan? Jikalau angin bisa lebih dari sekadar berdesir, apa yang akan dihembuskannya? Jikalau air bisa lebih dari sekadar mengucur atau bergemericik, apa yang akan ditenggelamkannya?

   Jikalau aku bisa lebih dari sekadar berdiri mematung mengamatimu dari jauh, apa yang akan kuucapkan padamu? Jikalau kau bisa lebih dari sekadar melihat ke sekelilingmu, apa yang akan kau lihat dari diriku? Jikalau kita bisa saling bergenggaman tangan, apa yang akan kita tempuh bersama?

    "Langitnya biru, ya."

    "Kamu dengar bisikan-bisikan dedaunan itu?"

    "Anginnya cukup kencang, ya. Dingin."

    "Kamu dengar deburan ombak semalam?"

    Engkau memporak-porandakan pikiranku. Meski aku selalu berada di luar lingkaranmu, aku tidak pernah berhenti memimpikanmu. Mendambakanmu itu sudah menjadi kebiasanku. Mengais-ngais udara setiap malam hanya untuk mengingatkan diriku bahwa kau tidak bisa kuraih. Mendengus kesal setiap kali kau terbersit di kepalaku. Itu sering.

    Atau mungkin, kau yang berada di luar lingkaranku.

    Ah, tidak. Buktinya, aku memperhatikanmu. Aku sadar betul akan keberadaanmu.

    Aku saja yang berada di luar lingkaranmu. Selalu. Tak pernah kau sadari, apalagi diperhatikan. Aku ini kasat mata bagimu. Kau dibutakan oleh sekelilingmu.

    Mereka. Apa kau puas dengan 'mereka' semua? Di mana sih, kacamatamu?

  "Tatapan langit begitu tajam. Biru yang cerah, aku suka. Namun, aku tak kuasa membendung kritikannya terhadap manusia. Kita bersalah pada langit."

    "Daunnya begitu hijau. Ada dedaunan yang berwarna ungu, gak, ya?"

    "Ketika angin berhembus pun, alam mengutarakan perasaannya."

    "Ombaknya cukup kencang. Seram. Aku tidak mau dekat-dekat."

    Aku tidak mengerti mengapa kau memikat hatiku. Mungkin pesonamu, atau karena elok rupamu. Aku tak mengerti. Padahal, kau selalu tidak mengerti kata-kata yang aku ucapkan. Tak ada untaian kataku yang dapat memicu langkah benakmu. Apalagi memacu. Aku tidak pernah bisa menarik pelatukmu. Begitu pula dengan kau, bagiku. Padahal, kau tidak pernah ingin membahas apa yang kuujarkan. Tertarik pun, tidak. Padahal, kita terlalu berbeda. Baik dari dunia sendiri, maupun sampai butiran-butiran udara. Apa yang membingkai dirimu tentu tidak akan pernah membingkai diriku. Dekat pun, tidak.

    Selamanya, akan selalu ada jurang di antara kita.

    Apa makna dari misteri ini?

    'Makna' itu ada di luar sana, tersedia di luar sana dan menunggu untuk ditemukan. Hanya saja, kita manusia, terlalu suka dan sering salah mengartikan 'makna'.



Sabtu, 22 Maret 2014

Kicauan untuk Anak Malang

"Tindakannya itu amat bodoh. Sungguh mengecewakan. Sungguh memuakkan."
"Dia tidak henti-hentinya membuat onar, merusak hidupnya sendiri saja."
"Dia itu begitu busuk. Senang berbelok-belok dan membelot. Dasar, batu anak itu!"
"Dia sudah tahu yang benar, kok. Namun, tetap saja mencintai perbuatan bodohnya itu. Jikalau kita menyindirnya, mengejeknya sebagai tanda peringatan, dia malah balik mengatakan bahwa kita ini sengaja ingin menjatuhkannya. Cih! Dasar anak keras kepala! Mau jadi apa dia nanti? Busuk!"
"Benar, itu! Kita sudah berkali-kali menasihatinya, tetapi tetap saja dirinya berkecimpung dalam kubangan itu. Entah benar atau tidak dia bergumul akan dosa-dosa itu."
"Mungkin dia berusaha berperang, tetapi selalu kalah karena hatinya tidak sungguh-sungguh ingin berperang."
"Aku tidak mengerti lagi apa maunya. Halah! Dia itu menyusahkan orang saja. Banyak alasan. Sudah terlalu banyak kebohongan yang ia tuturkan pada kita."
"Sudahlah, tidak ada lagi yang bisa kita perbuat untuknya."
. . . .

Aku terdiam. Apakah adil terus-menerus menghakiminya seperti ini? Bukankah tidak ada di antara kita yang layak menghakimi sesama? Tiada dari kita yang bersih seratus persen. Standar apa yang dipakai untuk menghakiminya? Kita selayaknya harus berhati-hati karena bisa saja penghakiman itu datang dari hati kita sendiri yang ternyata jauh lebih angkuh dan kelam daripada si penjahat yang kita hina-hina.

Kudengarkan ocehan mereka soal anak yang mendidihkan darah mereka itu. Anak malang, pikirku. Pasti di dalam hatinya ada kekosongan yang ia tak mengerti dan berusaha untuk isi. Pasti dia merasa kesepian. Pasti dia merindukan kasih sayang, merindukan sesuatu yang bisa mengisi penuh hatinya. Ia telah kehilangan makna yang sejati akan dirinya. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencarinya kembali. Yang terutama adalah pencarian untuk mengisi kekosongan hatinya. Perbuatan buruk yang ia lakukan itu merupakan bentuk pemberontakannya. Bentuk dari melepaskan kepenatannya. Kasihan. Sayangnya, cercaan dari teman-teman hanya akan tambah mengeraskan hatinya. Semakin sulit baginya untuk rendah hati karena merasa letih dihina-hina. Ia tidak terima akan semua hal buruk yang terjadi pada hidupnya. Hal itu malah  memupuk keangkuhan dalam dirinya. Kasihan. Sungguh kasihan.

Setelah cercaan terhadap anak malang itu mereda, aku membuka mulut. Kuucapkan kata-kata yang aku sendiri berharap bisa betul-betul mengerti dan melakukannya.

"Jikalau kita tahu yang benar, kita punya tugas untuk tak pernah berhenti menasihatinya, menanamkan segala prinsip-prinsip kebenaran pada anak itu. Bagaimana respon dia nantinya, itu urusan dia dengan Tuhan. Menghadapi dia memang perlu kesabaran ekstra. Yang dilakukannya itu bodoh? Mungkin. Namun, kita belum tentu mengerti betul latar belakang dirinya atau apa yang bergelut dalam pikiran dan hatinya. Entah itu soal keluarganya atau masa lalunya. Kita belum pernah mencicipi pahit-manis kehidupannya. Jangan lupa bahwa pengalaman hidupnya berbeda dari kita dan kemampuan tiap orang dalam menerima kenyataan itu berbeda-beda. Jikalau kita kuat, itu hanyalah karena anugerah Tuhan. Yang hanya bisa kita lakukan adalah menasihatinya dan mendoakannya agar Tuhan mengubah hatinya."

Beberapa dari mereka mengangguk-angguk. Kami sudah tahu akan hal itu. "Ya, ya, ya. Begitulah."

Aku menunduk. Ternyata, kami tidak jauh berbeda dari dia. Bahkan mungkin, lebih buruk.



Selasa, 29 Oktober 2013

You're Just A Glimpse of An Unforgettable Memory

That moment, it was like everything stopped for a second. 

You saw me first. Our eyes met. I caught a breath and couldn't believe what was happening. Finally, we met again. I quickly ran my view to the crowds, but you didn't. You still looked at me for another second. Then, you held your head down, kept walking, leaving me behind. The past just happened again.

Now, there you are standing in the back of my mind. Without asking for any permission, the past immediately creeps into me again. The truth is sometimes I still recall that moment, years ago when we were younger and stepped into this kind of experience also.

Never thought I would meet you again, but I did keep wishing for this to happen. Among the crowds, our eyes met. Again. Unfortunately, this is not a drama. This is not a movie. None of us made a move. I do realize that it's just my flesh, my mortal emotion, that wants us to know each other, to want to keep remembering you, to think or dream of sweet things for us too seriously.

I do realize, I do know that I've got my part. I've got someone here. I do realize that you're just a glimpse of an unforgettable memory. I do realize that I shouldn't hope for anything more than it should it be.




Sabtu, 16 Maret 2013

Terima kasih, Sahabat

Aku sangat bersyukur, Tuhan memberiku seorang sahabat seperti dia.

Aku telah mengetahuinya semenjak kami duduk di bangku kelas 5 SD, tetapi kami tak pernah berbicara ataupun menyapa satu sama lain. Ketika pertama kali aku melihatnya, aku asumsikan dia adalah gadis yang malas berkenalan dengan orang baru. Maka, aku pun tidak memulai pembicaraan sama sekali terhadapanya. Begitu juga dengan dia. Aku hanya mengetahuinya sebatas penampilan luarnya saja.

Singkat cerita, ketika aku kelas SMP 3, aku sering mengunjungi sekolah adikku yang berbeda sekolah denganku. Sekolah di mana ia berada akan menjadi sekolah baruku pada masa SMA nanti. Aku sendiri yang memutuskan untuk pindah dari sekolah yang telah kutempati selama 12 tahun, sejak TK hingga SMP. Aku mengharapkan sesuatu yang lebih baru di SMA. Beda suasana, beda lingkungan, dan beda teman-teman. Setelah beberapa saat bergumul, aku memutuskan untuk pindah ke sekolah di mana adikku mengenyam pendidikan SMP-nya. Maka, dengan tujuan mengenal sekolah baruku, aku sering ikut mama menjemput adikku.

Pada saat itulah, aku bertemu dengannya dan dapat mengenalnya lebih lanjut. Dia satu sekolah dengan adikku. Waktu itu kami sudah berada di pertengahan tahun ketiga SMP kami. Kami yang sudah menginjak usia remaja ternyata sudah lebih bebas dalam perkenalan dengan orang baru. Tidak ada kecanggungan atau malu-malu lagi. Ternyata, dia adalah anak yang ceria dan supel. Dengan senyuman dan ajakan ramah, dia menemaniku berkeliling-keliling mengenal sekolah itu. Dia juga memperkenalkanku kepada beberapa anak yang nantinya akan menjadi teman SMA-ku.

Tak lama kemudian, kami berteman. Kami menjadi teman baik.

Selama di SMA, kami saling menemukan siapa diri kami masing-masing. Setidaknya, kami menemukan langkah awal untuk menggali impian dan cita-cita kami. Kami menemukan ketertarikan kami masing-masing dan kesamaan dari ketertarikan kami adalah semua itu berputar di dalam bidang sosial. Dia adalah salah satu orang yang menyadarkanku bahwa aku ini mencintai hal-hal yang berbau sosial, bukan ilmu pasti yang selama SMP kugeluti dan kuagung-agungkan.

Aku tidak pernah menyangka pada awalnya, bahwa dia adalah teman yang menginspirasiku untuk benar-benar menunjukkan dan membuka diriku kepada dunia ini. Mungkin dia tidak percaya, tetapi dirinya membuahkan pengaruh-pengaruh yang baik bagiku. Banyak kegemaran baik yang selama SMP kupendam, lalu sekarang dapat kukembangkan ketika aku bertemu dengannya. Salah satunya, secara tidak langsung, dia mendorongku untuk terus menulis dan mengembangkan kegemaranku yang telah tertanam lama di jiwaku ini. Selain itu, dia termasuk salah satu orang yang memotivasiku untuk terus memupuk dan membangun impianku dalam berkecimpung di dalam hal-hal sosial. Dia adalah salah satu orang terpenting yang menginspirasiku untuk mengepakkan sayap kebebasanku di angkasa.

Bersama, kami suka berdiskusi mengenai pemikiran-pemikiran kami, dan pilihan-pilihan kami. Bersama, kami saling bertukar pikiran. Bersama, kami sering saling berbagi tentang mimpi, impian, dan cita-cita kami. Bersama, kami mendisikusikan opini-opini kami mengenai berbagai hal. Bersama, kami menemukan bahwa kami dapat mendukung satu sama lain untuk mencapai setiap butir impian yang telah kami tanam dan pupuk.

Kami berdua sama-sama menyukai petualangan, kerja sosial, dan alam. Kami sering menertawakan dan memimpikan suatu hal bersama-sama. Kami saling berbagi informasi dan tak ada kompetisi di antara kami. Kami bersama-sama ingin maju dengan saling bahu-membahu.

Meskipun terdapat beberapa perbedaan di antara kami, satu hal yang pasti, ada satu hal yang mendasar di dalam kedua diri kami tak dapat diobrak-abrik. Hal itu adalah persahabatan. Semakin lama kami berteman, semakin banyak kami menemukan kesamaan sekaligus perbedaan di antara kami. Persahabatan itu terukir begitu jelas hingga perbedaan yang ada malah semakin melengkapi kesamaan yang kami miliki.

Dia adalah anak yang menyenangkan dan jujur, asyik dan bebas dengan tahu batas.

Aku sangat bersyukur memiliki seorang teman baik seperti dia.
Dengannya, aku dapat berbicara mengenai apapun.
Dengannya, aku dapat membuka pikiranku seluas-luasnya.
Aku harap, dia pun begitu.
Aku harap, tak akan ada kata 'dimakan waktu' atau 'diruntuhkan oleh emosi' di dalam persahabatan ini.
Aku harap persahabatan ini tak akan pernah pudar.

Kami bersama-sama bertekad untuk mencapai mimpi-mimpi kami.
Kami percaya pada iman dan kerja keras.
Kami percaya bahwa pada suatu hari nanti, kami akan dapat memijakan kaki di Bumi ini, di bawah langit yang cerah dan jernih dalam memaparkan gemerlap cahaya bintang-bintang.

Terima kasih, Teman.
Terima kasih, Sahabat.


Kamis, 28 Februari 2013

Dia dan yang Lain

Dia itu berbeda.
Dia adalah satu-satunya sosok yang sampai sekarang belum tergantikan di dalam hati kecil ini.
Dia itu menakjubkan, sekaligus payah.
Dia adalah satu-satunya langit yang memiliki kecerahan dan kemendungan yang membaur menjadi suatu citra kehidupan yang manis dan pahit.
Dia adalah 'dia' yang selalu bisa menggali hal-hal mendasar di dunia ini, mengacak-acakan kehidupan seseorang, mencerahkan dan menggelapkan hati ini, dan menyuarakan hidup yang penuh pertanyaan.

Ibarat langit, dia memiliki awan putih dan warna murninya sendiri.
Ibarat sebuah bintang, dia memiliki cahaya dan ledakannya sendiri.
Ibarat sebuah planet, dia memiliki atmosfernya sendiri yang menyesakkan sekaligus melindungi dirinya.
Ibarat sebuah tata surya, dia memiliki pusat yang disenangi galaksi yang ditempatinya.
Ibarat sebuah galaksi, dia memiliki bentuk dan pendarannya sendiri.

Semua tentang dia itu serba unik. Ada yang menyenangkan, tetapi juga menyedihkan. Ada yang mengagumkan, tetapi juga memilukan. Ada yang manis, tetapi juga pahit. Tidak ada yang lain seperti dia. Mirip pun tidak.

Kami menggali dan menggarap.
Kami tersenyum dan menangis.
Kami tertawa dan membisu.
Kami terkait dan berselisih.
Kami dekat dan jauh.

Terhadap yang lain, aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Hanya terhadap dia. Hanya kepadanya seorang.
Kepadanya, kurasakan sebuah kekaguman dan keengganan.

Dengan yang lain, aku tidak pernah memiliki berbagai hal ini. Hanya dengan dia. Hanya bersamanya seorang.
Bersamanya, aku bisa memikirkan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Bersamanya, aku bisa mengutarakan segala pikiran yang pada umumnya tidak dipikirkan manusia seumuran kami.
Bersamanya, aku belajar berbagai hal baru mengenai pahit dan manisnya kehidupan.
Bersamanya, aku bisa memiliki sebutir debu yang kuanggap lebih berharga daripada sebongkah berlian.

Dia adalah kekaburan yang tak tergantikan, dan yang lain adalah ketegasan biasa.


Minggu, 26 Februari 2012

Semuanya Akan Baik-Baik Saja



 Selasa, Pukul 13:15

Aku berjalan menyusuri lorong kelas dan melihat dia sedang duduk di kelas bersama teman-temannya, tertawa sambil mengerjakan Mading. Ya, dia begitu manis dan lembut. Ia pintar dalam bidang seni dan olahraga. Rambutnya terurai panjang sepinggang dan sedikit bergelombang, matanya biru bagaikan dalamnya laut, bibirnya merah bagaikan mawar, dan perkataanya lembut seperti seorang putri. Mungkin aku memang puitis yang jelek dan tidak berkelas, namun dia selalu menghargaiku. Aku selalu senang dan bisa tersenyum saat bersamanya, tidak merasa sendirian, dan percaya bahwa cintaku padanya tidak akan penah berubah.
            ”Sherline!” panggil Keny padanya dan dia pun menoleh, lalu tersenyum. ”Sudah selesai ya, akan kukirimkan melalui pos. Semoga mereka segera mendapatkan ini semua,” ucapnya lembut dan membuatku ingin menghampirinya, memberi tahu padanya bahwa aku tidak akan pergi meninggalkannya.
            Sherline melihat ke arah pintu dan matanya memandangku, namun ia tidak tersenyum sama sekali. Wajahnya malah menunjukan rasa tegang, kesedihan yang mendalam, kekhawatiran, dan ketakutan. Semua ekspresi itu bisa kulihat dari tatapan wajahnya sekarang ini. Aku sudah lama mengenalnya dan tahu betul tentang dirinya, tapi mengapa ia melihatku seperti itu? Aku langsung pergi berlalu.
           

Selasa, Pukul 13:30

”Sher, kau kenapa? Ingat akan dia lagi?” tanya Liz pada Sherline. Sherline menggelengkan kepala dan tanpa sadar air matanya menetes di karton Mading. ”Aku... Aku masih ingin memilikinya,” jawabnya pelan lalu mengusap matanya. ”Sherline sayang, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah,” hibur Sally sambil memeluknya. Sherline adalah gadis yang halus dan perasa, namun ia cukup hebat dalam bidang olahraga. Sifatnya yang halus dan perasa, tidak menjadikan ia gadis remaja yang lemah dan cepat cemburu. Ia akan mencari akar dari suatu permasalahan dan memberikan solusi yang tepat untuk dilakukan.
Sherline mengambil tasnya, lalu menghampiri Erick. ”Rick, aku ingin pulang sekarang. Maukah kau mengantarku menuju tempatnya?” tanyanya dengan wajah memelas. ”Aku akan mengantarmu. Tenang saja,” jawab Erick dengan senyuman. ”Sherline, janganlah terlalu menyiksa dirimu. Kami akan bilang kau sakit dan terpaksa pulang. Tenang saja,” ujar Liz lalu memberikan kotak makan siang Sherline. ”Hampir ketinggalan, nih.”
Sherline berjalan keluar kelas disusul dengan Erick. ”Bikin alasan yang bagus buat Erick! Jangan lupa, Bro!” teriak pria itu pada teman-temannya dan berlari menyusul Sherline. ”Sher, lu masih suka sama dia ya?” tanya Erick pada Sherline selagi berjalan. Sherline mengusap keningnya dan mengehela napas. ”Aku tidak bisa mengeluarkan dirinya dari pikiranku,” jawabnya pelan dan Erick pun terdiam.




Selasa, Pukul 23:00

Hari ini aneh dan aku tidak menyukainya. Semuanya tampak tidak melihatku, bahkan orang yang duduk di sebelahku tidak mengajakku berbicara sama sekali. Aku mengusap-usap wajahku dan memutuskan untuk tidur. Tiba-tiba pintu dibuka dan masuklah ibu dengan mata sembab habis menangis, ia menhampiriku dan mengelus bantal kepalaku. ”Seth, mama sudah mengganti sarung bantal ini dengan yang baru. Apakah kamu sudah merasakannya?” tanyanya sambil melihat ke arahku, tapi tatapan matanya kosong. ”Terima kasih, Ma. Biasa saja,” jawabku gugup. Tidak biasanya Ibu ke kamarku larut malam seperti ini.
Ia berdiri lalu keluar kamar. Sebelumnya, ia menutup tirai jendela kamar yang belum kututup dan mengucapkan selamat tidur padaku. Ini aneh, pikirku. Ibu tidak biasanya seperti ini. Biasanya ia sudah tidur dan tidak mengucapkan selamat tidur padaku. Aku duduk terdiam di atas ranjang.
Ibu  pasti menangis karena soal Ayah. Baru 5 bulan yang lalu mereka bercerai dan aku memutuskan untuk ikut Ibu karena Ayah lah yang berselingkuh dengan wanita lain. Aku kesal dengan ayah yang tidak bertanggung jawab akan keluarganya, tidak peduli akan anaknya sendiri dan juga istrinya, dan yang terpenting ia malah menyusahkan keluarga. Akhir-akhir ini aku dan Ibu sering bertengkar dan terakhir kali pertengkaran kami sungguh hebat, tapi aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya dan aku tidak peduli. Aku melihat langit-langit kamar dan terlesat di pikiranku tentang Sherline. Aku sudah berpacaran dengannya selama 2 bulan dan sekarang aku melupakan hari ulang tahunnya. Ya! Dua hari yang adalah hari ulang tahunnya. Betapa bodohnya aku sampai-sampai bisa melupakan hari ulang tahun orang yang kusayangi. ”Aaaahh! Aku gusar!” teriakku, tidak peduli Ibu mendengarnya atau tidak.


Rabu, Pukul 15:00

Sherline sedang duduk di taman dan aku menghampirinya. ”Sher, maafkan aku. Kemarin aku lupa...” ”Kau jahat! Aku tidak mengerti! Kenapa, Seth? Mengapa? Seth, aku sangat ingin kau ada saat itu,” isak Sherline menunduk. Aku terkejut saat mendengar Sherline menangis seperti ini. Ia terlihat lebih lemah daripada gadis-gadis lainnya. Setahuku, Sherline adalah gadis yang kuat dan tidak takut pada apapun.
”Mengapa kau, melakukan itu? Mengapa? Serasa kau lupa bahwa itu adalah hari ulang tahunku. Aku ingin kau, untuk selamanya jangan lupakan aku, Seth! Aku tidak bisa melewati hari-hariku tanpamu. Seth, mengapa seperti ini?” Sherline terus terisak dan tangisnya tidak bisa berhenti. Aku merangkul dan memeluknya. ”Maafkan aku, Sher. Aku tidak bermaksud untuk melupakanmu,” bisikku pelan dan mencium puncak kepalanya. Entah kenapa, Sherline tiba-tiba berdiri dan mengambil tasnya. Ia pergi meninggalkanku begitu saja. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak mungkin ia sebegitu marahnya terhadapku. Ini semua benar-benar membingungkan.




Rabu, Pukul 16:00

Erick melempar bola basketnya kepada Jodi, lalu Jodi berlari men-dribble bola dan memasukan bola basket hitam itu ke ring. ”Wew! Baguslah, kita akan siap untuk pertandingan besok,” ujar Erick sambil mengusap keningnya. Keringat membasahi sekujur tubuhnya dan napasnya tersenggal-senggal. Jodi menepuk bahu Erick dan berkata, ”Good luck, Bro!”
Jodi pergi meninggalkan Erick yang masih di lapangan. Aku berjalan mendekatinya dan bermaksud untuk bermain bersamanya, namun mimik wajahnya membuatku merasa aneh. Ia mencengkeram botol minum Aqua-nya dan giginya bergemeletuk cukup keras. Matanya menunjukan tatapan amarah dan kebencian. ”Hoi, apa yang terjadi dengan lu?” tanyaku dan menepuk bahunya.
”Lu bego, Seth! Bisa-bisanya kau meninggalkan kami semua. Kami butuh engkau untuk bermain di pertandingan, tidak apa jika engkau tidak ingin bergabung dengan tim lagi, tapi setidaknya bermainlah bersama kami. Kau lupa akan Sherline yang sangat begitu menyayangimu. Kau lupa semua itu!” amarah Erick tertumpah padaku. Dia marah padaku? Kenapa?
“Baiklah, Rick! Maafin gue. Yuk, kita main!”
“Lu bilang akan selalu ada untuk Sherline, tapi mana? Seth, trakhir kali satu hal yang lu bilang tentang Sherline adalah gue harus menjaga dia kalau-kalau lu gak ada. Bagaimana aku bisa menjaganya? Ia selalu teringat akan dirimu, Seth! Tidak ada yang bisa menggantikan dirimu di dalam hatinya.”
Aku terkejut akan perkataanya. Aku menggeleng dan ingin berteriak padanya bahwa aku akan selalu ada untuk Sherline. Tiba-tiba Sherline datang dan menghampiri Erick. Ia duduk di samping Erick tanpa menyapaku sama sekali, sungguh membuatku kesal. Biasanya ia memelukku dan tersenyum padaku.
Sherline mengusap wajahnya dan memijit pelipisnya.
“Aku masih bisa merasakannya. Ia masih ada, Rick!”
“Apa maksudmu? Sherline, kau jangan gila.”
“Aku merasakannya memelukku dan mencium puncak kepalaku. Ya, sungguh seperti benar-benar terjadi. Aku bisa merasakannya. Kumohon, percayalah padaku. Aku masih bisa merasakan kehangatan tangannya. Erick, apakah kau tidak merasakan kehadirannya? Aku mohon, percayalah. Aku masih bisa merasakannya.”
Erick menggeleng-gelengkan kepalanya Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan dan segera bangkit berdiri. Aku sudah muak dicuekin seperti ini. ”Apa, sih, yang sedang kalian bicarakan? Aku tidak mengerti!” tanyaku kesal.
Tiba-tiba Erick berdiri dan berlutut di depan Sherline. Apa yang akan ia lakukan? Aku ada di sini dan ia berani melakukan itu di depanku? Tanyaku dalam hati.
”Sher, tolong, kau gila. Dengarkan aku. Dia sudah tidak ada. Mulai sekarang kita harus hidup tanpa dia. Kita semua harus belajar untuk bisa melupakannya. Aku tidak bisa menangis lagi karena dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Kami berteman sejak kecil dan telah menjalin persahabatan dalam waktu yang begitu lama. Aku menyayanginya seperti bagian dari keluargaku, tapi mulai sekarang dia sudah tiada. Belajarlah untuk menghadapi fakta, Sher!”
”Enggak! Aku bisa merasakannya, Rick! Masakah kau tidak mengerti? Kau pasti juga bisa merasakannya kan?” Sherline terisak dan mulai menangis histeris. Ia memandang mata Erick dan air mata terus mengaliri pipinya. Erick menggelengkan kepalanya dan mulai menangis. ”Aku menangis dan jujur bahwa aku bisa merasakannya, ia menepuk pundakku,” sahutnya pelan. Aku tidak mengerti sama sekali dan mencoba untuk bertanya, tapi suasana serasa sudah hanyut oleh kesedihan mereka berdua.
”Erick, dia masih di sini dan...” ”Sher! Seth sudah tiada! Ia sudah meninggal sejak tiga hari yang lalu, tepat di hari ulang tahunmu!!” Erick berteriak dan menggenggam tangan Sherline. Aku terbelalak dan tidak percaya akan hal itu. Apa yang dikatakan Erick tidak mungkin benar. Aku mengguncang tubuh mereka berdua, namun... Tanganku menembus badan mereka. ”Hah?” aku tidak mengerti, padahal tadi aku masih baik-baik saja. Aku tidak bisa mnerima ini.
Sherline terus menangis histeris, sementara Erick berlutut dan menggenggam tangannya. Hujan pun turun.
Waktuku sudah habis dan ingatanku mulai pulih. Ya, pagi itu aku bertengkar hebat dengan Ibuku. Aku keluar rumah dan membanting pintu, lalu menyeberang jalan tanpa lihat kiri kanan dan... Truk itu menabrakku. Sungguh kacau dan bodoh. Aku meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku ingat saat aku mendengar samar-samar tangisan histeris Ibuku dan ternyata, tadi malam itu Ibu bukan menangisi Ayah, melainkan aku. Ibu menangis karena aku. Ibu merindukanku.
Aku melihat ke arah Sherline dan Erick. Mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah kupunya. Aku menyayangi mereka semua. Sekarang semuanya sudah terlambat, aku belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun pada Sherline. Aku belum sempat bermain basket lagi bersama Erick. Maafkan aku semuanya, tapi mungkin dalam mimpi kalian, dalam tidur kalian, aku akan datang di lain hari. Tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal bahagia pada kalian semua. Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada kedua orang yang kusayangi. Aku percaya Erick akan menjaga Sherline sebaik mungkin, lalu aku melangkah menuju cahaya itu.


ZZZ



Malam itu, Sherline bermimpi melihat Seth datang menghampirinya. Mimpi yang indah dan diakhiri dengan tangisan bahagia.
“Sher, aku akan selalu melindungimu. Aku akan selalu melihat dan memerhatikanmu dari sana. Percayalah, sekarang aku sudah bahagia dan aku juga ingin kau merasa bahagia. Jangan bersedih lagi atas kematianku, semuanya akan baik-baik saja. Aku mencintaimu, Sherline. Rasa sayangku tidak akan pernah berubah.”
”Seth? Seth! Jangan tinggalkan aku!”
“Aku akan selalu memerhatikanmu, Sherline. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Aku akan selalu menjagamu agar tetap aman. Kau adalah gadis yang kuat, aku percaya padamu. Aku ingin kau mewujudkan cita-citamu yang pernah kau katakan padaku waktu itu. Aku yakin kau bisa, Sher. Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk setiap ulang tahunmu. Aku akan selalu bersamamu. Jadi, janganlah bersedih lagi. Tolong sampaikan pesanku kepada yang lainnya juga, bahwa aku menyayangi mereka semua. Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. ”
”Seth, aku ingin kau ada di hari-hariku lagi. Aku susah melewati semuanya tanpamu, Seth! Kalau waktu bisa diputar kembali, aku ingin mulai lagi dari awal kita bertemu. Aku terus mengingatnya, Seth. Aku tidak bisa melupakan semua itu.”
"Aku juga tidak akan pernah melupakanmu. Aku tidak akan pernah membiarkanmu sendirian. Ingat saat-sat kita memandang bintang di langit malam, mengaitkan jari-jemari kita, berbisik kata-kata manis dengan tawa kecil, dan membicarakan soal masa depan kita? Soal cita-cita, harapan, mimpi, dan...akhir?"
"Kau bohong. Kau....Kau tidak ada lagi di sini...di sampingku, di hari-hariku..."
”Sherline, percayalah! Kau kuat dan aku percaya padamu. Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan selalu bersamamu. Jangan biarkan suatu hal menghalangi impianmu! Bukankah waktu itu kau bertekad mau menjadi seorang astronot, menggapai bintang yang kita sukai?”
Sherline mengusap air matanya. Ia tersenyum dan mengangguk.
”Seth, benar ya? Kau akan selalu bersamaku.”
”Ya, aku akan selalu berada di hatimu.”
Seth menghilang dengan senyumannya. Sherline terbangun dan tersenyum.
Semuanya akan baik-baik saja.


"Leaving you, my love, doesn't mean I won't stay by your side anymore. I'll stay in your heart forever and always..."