Minggu, 26 Februari 2012

Semuanya Akan Baik-Baik Saja



 Selasa, Pukul 13:15

Aku berjalan menyusuri lorong kelas dan melihat dia sedang duduk di kelas bersama teman-temannya, tertawa sambil mengerjakan Mading. Ya, dia begitu manis dan lembut. Ia pintar dalam bidang seni dan olahraga. Rambutnya terurai panjang sepinggang dan sedikit bergelombang, matanya biru bagaikan dalamnya laut, bibirnya merah bagaikan mawar, dan perkataanya lembut seperti seorang putri. Mungkin aku memang puitis yang jelek dan tidak berkelas, namun dia selalu menghargaiku. Aku selalu senang dan bisa tersenyum saat bersamanya, tidak merasa sendirian, dan percaya bahwa cintaku padanya tidak akan penah berubah.
            ”Sherline!” panggil Keny padanya dan dia pun menoleh, lalu tersenyum. ”Sudah selesai ya, akan kukirimkan melalui pos. Semoga mereka segera mendapatkan ini semua,” ucapnya lembut dan membuatku ingin menghampirinya, memberi tahu padanya bahwa aku tidak akan pergi meninggalkannya.
            Sherline melihat ke arah pintu dan matanya memandangku, namun ia tidak tersenyum sama sekali. Wajahnya malah menunjukan rasa tegang, kesedihan yang mendalam, kekhawatiran, dan ketakutan. Semua ekspresi itu bisa kulihat dari tatapan wajahnya sekarang ini. Aku sudah lama mengenalnya dan tahu betul tentang dirinya, tapi mengapa ia melihatku seperti itu? Aku langsung pergi berlalu.
           

Selasa, Pukul 13:30

”Sher, kau kenapa? Ingat akan dia lagi?” tanya Liz pada Sherline. Sherline menggelengkan kepala dan tanpa sadar air matanya menetes di karton Mading. ”Aku... Aku masih ingin memilikinya,” jawabnya pelan lalu mengusap matanya. ”Sherline sayang, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah,” hibur Sally sambil memeluknya. Sherline adalah gadis yang halus dan perasa, namun ia cukup hebat dalam bidang olahraga. Sifatnya yang halus dan perasa, tidak menjadikan ia gadis remaja yang lemah dan cepat cemburu. Ia akan mencari akar dari suatu permasalahan dan memberikan solusi yang tepat untuk dilakukan.
Sherline mengambil tasnya, lalu menghampiri Erick. ”Rick, aku ingin pulang sekarang. Maukah kau mengantarku menuju tempatnya?” tanyanya dengan wajah memelas. ”Aku akan mengantarmu. Tenang saja,” jawab Erick dengan senyuman. ”Sherline, janganlah terlalu menyiksa dirimu. Kami akan bilang kau sakit dan terpaksa pulang. Tenang saja,” ujar Liz lalu memberikan kotak makan siang Sherline. ”Hampir ketinggalan, nih.”
Sherline berjalan keluar kelas disusul dengan Erick. ”Bikin alasan yang bagus buat Erick! Jangan lupa, Bro!” teriak pria itu pada teman-temannya dan berlari menyusul Sherline. ”Sher, lu masih suka sama dia ya?” tanya Erick pada Sherline selagi berjalan. Sherline mengusap keningnya dan mengehela napas. ”Aku tidak bisa mengeluarkan dirinya dari pikiranku,” jawabnya pelan dan Erick pun terdiam.




Selasa, Pukul 23:00

Hari ini aneh dan aku tidak menyukainya. Semuanya tampak tidak melihatku, bahkan orang yang duduk di sebelahku tidak mengajakku berbicara sama sekali. Aku mengusap-usap wajahku dan memutuskan untuk tidur. Tiba-tiba pintu dibuka dan masuklah ibu dengan mata sembab habis menangis, ia menhampiriku dan mengelus bantal kepalaku. ”Seth, mama sudah mengganti sarung bantal ini dengan yang baru. Apakah kamu sudah merasakannya?” tanyanya sambil melihat ke arahku, tapi tatapan matanya kosong. ”Terima kasih, Ma. Biasa saja,” jawabku gugup. Tidak biasanya Ibu ke kamarku larut malam seperti ini.
Ia berdiri lalu keluar kamar. Sebelumnya, ia menutup tirai jendela kamar yang belum kututup dan mengucapkan selamat tidur padaku. Ini aneh, pikirku. Ibu tidak biasanya seperti ini. Biasanya ia sudah tidur dan tidak mengucapkan selamat tidur padaku. Aku duduk terdiam di atas ranjang.
Ibu  pasti menangis karena soal Ayah. Baru 5 bulan yang lalu mereka bercerai dan aku memutuskan untuk ikut Ibu karena Ayah lah yang berselingkuh dengan wanita lain. Aku kesal dengan ayah yang tidak bertanggung jawab akan keluarganya, tidak peduli akan anaknya sendiri dan juga istrinya, dan yang terpenting ia malah menyusahkan keluarga. Akhir-akhir ini aku dan Ibu sering bertengkar dan terakhir kali pertengkaran kami sungguh hebat, tapi aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya dan aku tidak peduli. Aku melihat langit-langit kamar dan terlesat di pikiranku tentang Sherline. Aku sudah berpacaran dengannya selama 2 bulan dan sekarang aku melupakan hari ulang tahunnya. Ya! Dua hari yang adalah hari ulang tahunnya. Betapa bodohnya aku sampai-sampai bisa melupakan hari ulang tahun orang yang kusayangi. ”Aaaahh! Aku gusar!” teriakku, tidak peduli Ibu mendengarnya atau tidak.


Rabu, Pukul 15:00

Sherline sedang duduk di taman dan aku menghampirinya. ”Sher, maafkan aku. Kemarin aku lupa...” ”Kau jahat! Aku tidak mengerti! Kenapa, Seth? Mengapa? Seth, aku sangat ingin kau ada saat itu,” isak Sherline menunduk. Aku terkejut saat mendengar Sherline menangis seperti ini. Ia terlihat lebih lemah daripada gadis-gadis lainnya. Setahuku, Sherline adalah gadis yang kuat dan tidak takut pada apapun.
”Mengapa kau, melakukan itu? Mengapa? Serasa kau lupa bahwa itu adalah hari ulang tahunku. Aku ingin kau, untuk selamanya jangan lupakan aku, Seth! Aku tidak bisa melewati hari-hariku tanpamu. Seth, mengapa seperti ini?” Sherline terus terisak dan tangisnya tidak bisa berhenti. Aku merangkul dan memeluknya. ”Maafkan aku, Sher. Aku tidak bermaksud untuk melupakanmu,” bisikku pelan dan mencium puncak kepalanya. Entah kenapa, Sherline tiba-tiba berdiri dan mengambil tasnya. Ia pergi meninggalkanku begitu saja. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak mungkin ia sebegitu marahnya terhadapku. Ini semua benar-benar membingungkan.




Rabu, Pukul 16:00

Erick melempar bola basketnya kepada Jodi, lalu Jodi berlari men-dribble bola dan memasukan bola basket hitam itu ke ring. ”Wew! Baguslah, kita akan siap untuk pertandingan besok,” ujar Erick sambil mengusap keningnya. Keringat membasahi sekujur tubuhnya dan napasnya tersenggal-senggal. Jodi menepuk bahu Erick dan berkata, ”Good luck, Bro!”
Jodi pergi meninggalkan Erick yang masih di lapangan. Aku berjalan mendekatinya dan bermaksud untuk bermain bersamanya, namun mimik wajahnya membuatku merasa aneh. Ia mencengkeram botol minum Aqua-nya dan giginya bergemeletuk cukup keras. Matanya menunjukan tatapan amarah dan kebencian. ”Hoi, apa yang terjadi dengan lu?” tanyaku dan menepuk bahunya.
”Lu bego, Seth! Bisa-bisanya kau meninggalkan kami semua. Kami butuh engkau untuk bermain di pertandingan, tidak apa jika engkau tidak ingin bergabung dengan tim lagi, tapi setidaknya bermainlah bersama kami. Kau lupa akan Sherline yang sangat begitu menyayangimu. Kau lupa semua itu!” amarah Erick tertumpah padaku. Dia marah padaku? Kenapa?
“Baiklah, Rick! Maafin gue. Yuk, kita main!”
“Lu bilang akan selalu ada untuk Sherline, tapi mana? Seth, trakhir kali satu hal yang lu bilang tentang Sherline adalah gue harus menjaga dia kalau-kalau lu gak ada. Bagaimana aku bisa menjaganya? Ia selalu teringat akan dirimu, Seth! Tidak ada yang bisa menggantikan dirimu di dalam hatinya.”
Aku terkejut akan perkataanya. Aku menggeleng dan ingin berteriak padanya bahwa aku akan selalu ada untuk Sherline. Tiba-tiba Sherline datang dan menghampiri Erick. Ia duduk di samping Erick tanpa menyapaku sama sekali, sungguh membuatku kesal. Biasanya ia memelukku dan tersenyum padaku.
Sherline mengusap wajahnya dan memijit pelipisnya.
“Aku masih bisa merasakannya. Ia masih ada, Rick!”
“Apa maksudmu? Sherline, kau jangan gila.”
“Aku merasakannya memelukku dan mencium puncak kepalaku. Ya, sungguh seperti benar-benar terjadi. Aku bisa merasakannya. Kumohon, percayalah padaku. Aku masih bisa merasakan kehangatan tangannya. Erick, apakah kau tidak merasakan kehadirannya? Aku mohon, percayalah. Aku masih bisa merasakannya.”
Erick menggeleng-gelengkan kepalanya Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan dan segera bangkit berdiri. Aku sudah muak dicuekin seperti ini. ”Apa, sih, yang sedang kalian bicarakan? Aku tidak mengerti!” tanyaku kesal.
Tiba-tiba Erick berdiri dan berlutut di depan Sherline. Apa yang akan ia lakukan? Aku ada di sini dan ia berani melakukan itu di depanku? Tanyaku dalam hati.
”Sher, tolong, kau gila. Dengarkan aku. Dia sudah tidak ada. Mulai sekarang kita harus hidup tanpa dia. Kita semua harus belajar untuk bisa melupakannya. Aku tidak bisa menangis lagi karena dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Kami berteman sejak kecil dan telah menjalin persahabatan dalam waktu yang begitu lama. Aku menyayanginya seperti bagian dari keluargaku, tapi mulai sekarang dia sudah tiada. Belajarlah untuk menghadapi fakta, Sher!”
”Enggak! Aku bisa merasakannya, Rick! Masakah kau tidak mengerti? Kau pasti juga bisa merasakannya kan?” Sherline terisak dan mulai menangis histeris. Ia memandang mata Erick dan air mata terus mengaliri pipinya. Erick menggelengkan kepalanya dan mulai menangis. ”Aku menangis dan jujur bahwa aku bisa merasakannya, ia menepuk pundakku,” sahutnya pelan. Aku tidak mengerti sama sekali dan mencoba untuk bertanya, tapi suasana serasa sudah hanyut oleh kesedihan mereka berdua.
”Erick, dia masih di sini dan...” ”Sher! Seth sudah tiada! Ia sudah meninggal sejak tiga hari yang lalu, tepat di hari ulang tahunmu!!” Erick berteriak dan menggenggam tangan Sherline. Aku terbelalak dan tidak percaya akan hal itu. Apa yang dikatakan Erick tidak mungkin benar. Aku mengguncang tubuh mereka berdua, namun... Tanganku menembus badan mereka. ”Hah?” aku tidak mengerti, padahal tadi aku masih baik-baik saja. Aku tidak bisa mnerima ini.
Sherline terus menangis histeris, sementara Erick berlutut dan menggenggam tangannya. Hujan pun turun.
Waktuku sudah habis dan ingatanku mulai pulih. Ya, pagi itu aku bertengkar hebat dengan Ibuku. Aku keluar rumah dan membanting pintu, lalu menyeberang jalan tanpa lihat kiri kanan dan... Truk itu menabrakku. Sungguh kacau dan bodoh. Aku meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku ingat saat aku mendengar samar-samar tangisan histeris Ibuku dan ternyata, tadi malam itu Ibu bukan menangisi Ayah, melainkan aku. Ibu menangis karena aku. Ibu merindukanku.
Aku melihat ke arah Sherline dan Erick. Mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah kupunya. Aku menyayangi mereka semua. Sekarang semuanya sudah terlambat, aku belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun pada Sherline. Aku belum sempat bermain basket lagi bersama Erick. Maafkan aku semuanya, tapi mungkin dalam mimpi kalian, dalam tidur kalian, aku akan datang di lain hari. Tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal bahagia pada kalian semua. Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada kedua orang yang kusayangi. Aku percaya Erick akan menjaga Sherline sebaik mungkin, lalu aku melangkah menuju cahaya itu.


ZZZ



Malam itu, Sherline bermimpi melihat Seth datang menghampirinya. Mimpi yang indah dan diakhiri dengan tangisan bahagia.
“Sher, aku akan selalu melindungimu. Aku akan selalu melihat dan memerhatikanmu dari sana. Percayalah, sekarang aku sudah bahagia dan aku juga ingin kau merasa bahagia. Jangan bersedih lagi atas kematianku, semuanya akan baik-baik saja. Aku mencintaimu, Sherline. Rasa sayangku tidak akan pernah berubah.”
”Seth? Seth! Jangan tinggalkan aku!”
“Aku akan selalu memerhatikanmu, Sherline. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Aku akan selalu menjagamu agar tetap aman. Kau adalah gadis yang kuat, aku percaya padamu. Aku ingin kau mewujudkan cita-citamu yang pernah kau katakan padaku waktu itu. Aku yakin kau bisa, Sher. Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk setiap ulang tahunmu. Aku akan selalu bersamamu. Jadi, janganlah bersedih lagi. Tolong sampaikan pesanku kepada yang lainnya juga, bahwa aku menyayangi mereka semua. Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. ”
”Seth, aku ingin kau ada di hari-hariku lagi. Aku susah melewati semuanya tanpamu, Seth! Kalau waktu bisa diputar kembali, aku ingin mulai lagi dari awal kita bertemu. Aku terus mengingatnya, Seth. Aku tidak bisa melupakan semua itu.”
"Aku juga tidak akan pernah melupakanmu. Aku tidak akan pernah membiarkanmu sendirian. Ingat saat-sat kita memandang bintang di langit malam, mengaitkan jari-jemari kita, berbisik kata-kata manis dengan tawa kecil, dan membicarakan soal masa depan kita? Soal cita-cita, harapan, mimpi, dan...akhir?"
"Kau bohong. Kau....Kau tidak ada lagi di sini...di sampingku, di hari-hariku..."
”Sherline, percayalah! Kau kuat dan aku percaya padamu. Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan selalu bersamamu. Jangan biarkan suatu hal menghalangi impianmu! Bukankah waktu itu kau bertekad mau menjadi seorang astronot, menggapai bintang yang kita sukai?”
Sherline mengusap air matanya. Ia tersenyum dan mengangguk.
”Seth, benar ya? Kau akan selalu bersamaku.”
”Ya, aku akan selalu berada di hatimu.”
Seth menghilang dengan senyumannya. Sherline terbangun dan tersenyum.
Semuanya akan baik-baik saja.


"Leaving you, my love, doesn't mean I won't stay by your side anymore. I'll stay in your heart forever and always..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar