Minggu, 31 Maret 2013

Langit 4 : Matahari dengan Langit

"Ra! Beribu maaf, hari ini gue tidak bisa mengantar lu ke sanatorium, nih!" Suara Laila menyambut Clara seraya gadis itu memasuki kelas. Clara menggigit bibirnya. "Tak apa, kok!" sahutnya tenang dengan senyuman. "Gue sudah banyak merepotkan lu, La. Selama dua minggu terakhir ini lu dengan setia mengantarkan gue ke sanatorium sepulang sekolah. Thank you very much. I owe you a lot."

Laila tertawa kecil mendengar perkataan temannya itu. Ia menepuk bahu Clara seraya berkata, "Apa sih, yang tidak akan gue lakukan untuk membantu teman yang satu ini menemui pujaan hatinya?"

Clara menganga, lalu tertawa. "Apa, sih? Pujaan hati? Ngawur lu!"

"Loh, emang bener kan, Ra?" Suara Tasha meramaikan suasana. "Namanya Daniel, ya, kalo gue gak salah ingat?"

"Iya, Daniel. Dia teman gue di sanatorium. Kalian mau bertemu dia juga?"

"Hanya teman? Kalau lu tidak punya perasaan khusus untuk dia, lu tidak akan mungkin mengunjungi dia sesering itu, Ra! Tiga kali dalam seminggu! Belum lagi setiap Sabtu, lu juga mengunjungi dia, kan? Empat kali dalam seminggu!"

"Sekalian aja lu tinggal di sanatorium, Ra! "

Clara tertawa, untuk sesaat terbersit sebuah pertanyaan di benaknya. Apakah ada perasaan yang murni khusus di dalam diriku untuk Daniel?

"Aduh, kalian itu ada-ada aja, ya. Kalian harus mencoba pergi ke sana, berkenalan dan berteman dengan para pasien di sana..."

"Mungkin aja nanti kita ketemu jodoh juga, La, seperti Clara di sana!"

"Cihhuuyy! Bener tuh, Sha! Gue juga mau, deh! Daniel keren kan, Ra? Ada cowok keren lagi selain dia di sana?"

Clara menarik napas. Ia menimbang-nimbang pertanyaan Laila itu. Pikirannya melayang kepada kehangatan Daniel. Setiap perkataan cowok itu yang menggerakkan hatinya, tatapan cowok itu padanya, dan nada suara pemuda yang tegar itu. Akhirnya, Clara dengan yakin mencapai pada suatu kesimpulan.

"Dia itu mengagumkan."

Tasha dan Laila saling berpandangan. Mereka tak menyangka Clara akan mengatakan hal itu dengan mata berbinar-binar dan senyuman lembut. Semenjak saat itu, mereka mulai mengkhawatirkan kisah  cinta gadis itu dengan seorang pemuda yang bernama Daniel. Bukan karena mereka tidak menyukai Daniel atau tidak menyetujui hal itu. Mereka khawatir akan betapa terlukanya Clara nanti jika pemuda sanatorium itu tak dapat bertahan hingga mereka menginjak usia dewasa. Akan berakhir seperti apa nanti kisah cinta mereka berdua?

"Ra? Lu yakin?" tanya Tasha dengan berat hati.

"Hah? Apaan? Tentang apa?" Dengan wajah polos, Clara bertanya balik kepada sahabatnya.

"Mmmm...." Tasha mengalihkan pandangannya pada Laila. "Begini, Ra..."

"Daniel itu ibarat matahari yang akhirnya telah kutemukan untuk menerangi langitku."

Laila dan Tasha tak bisa berkata-kata lagi. Keduanya hanya tersenyum tipis melihat sorot mata Clara yang begitu tenang dan bahagia.

-----

Istirahat 30 menit. Clara berusaha mengirim SMS kepada Daniel bahwa dirinya hari itu mungkin tak bisa datang. Tak lama kemudian, Daniel membalas SMS gadis itu:

From : Daniel
Gpp. Kali ini aku yg ke sana. Nanti pulang skola, tunggu aku di dpn pintu gerbang skola. Aku akan dtng ke skola km.
Can't wait to see you! :)

Clara duduk di kursinya sambil bersandar pada kaca jendela. Ia segera membalas SMS Daniel. Hatinya berdebar-debar.

To : Daniel
Sriusan km mau dtng ke skola? Gak perlu repot-repot, Dan. Aku bsok pasti ke sana, kok. I really want to see you too. :)

Daniel membuka handphone-nya, melihat ada balasan SMS dari Clara. Ia tersenyum. Kemudian, ia membalasnya lagi:

To : Clara
If you really want to see me, you'll let me to pick you up later. ;) Mulai skrg giliran aku yg dtng ke km. Besok dan utk sterusnya, aku yg akan jmput km di skola. Trus kita bisa pergi ke kemana pun yg km mau. Ok? Trust me, I'll be fine. And I'm dying to see you. I mean it. :)

-----

Beberapa anak berbisik-bisik melihat pemuda jangkung nan tampan di depan sekolah itu. Gaya berdirinya yang cuek dan santai bersandar pada tembok gerbang sekolah, tatapannya yang tajam, dan wajahnya yang serius membuat beberapa gadis tertawa kecil. Mereka menerka-nerka siapa yang dicari cowok itu.

Daniel menghela napas mendengar tawa kecil dan bisikan-bisikan beberapa gadis SMA mengenai dirinya. Dia tahu bahwa mereka sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya. Ia akui, sudah lama dirinya tidak menginjakkan kaki di sekolah seperti sekarang ini. Beberapa dari gadis itu cukup manis, tetapi baginya tidak ada yang semanis Clara.

Ketika gadis itu tersenyum, Daniel merasa seluruh awan gelap menyingkir dan menyilakan cahaya menerangi langitnya. Bahkan, Clara lah langit yang cerah itu. Ketika gadis itu tertawa, Daniel merasakan terjangan lembut di hatinya. Ia terbuai dengan suara Clara di telinganya. Ia menyukai tatapan mata Clara padanya. Ia mengagumi setiap kata yang gadis ceria itu ucapkan. Tiada yang lebih menyempurnakan dirinya daripada Clara.

Dia memasukkan tangan ke saku jaketnya. Kaos putih berkerah yang ia pakai menutupi tulang lehernya. Jaket abu-abu yang ia pakai menyamarkan tubuh kurusnya. Celana jeans kebesaran yang ia pakai menyamankannya. Sepatu kets yang ia beli beberapa bulan lalu, akhirnya dapat ia pakai dengan bangga untuk berjalan-jalan dengan gadis yang ia sukai. Daniel tidak sabar untuk melihat Clara hari ini.

Tak lama kemudian, ia menangkap senyum manis yang ia telah kenal selama beberapa minggu terakhir ini. "Clara," bisiknya pelan. Segera saja bisikan itu berubah menjadi suara lantang yang diresponi dengan langkah gadis itu menuju dirinya.

"Daniel! Kamu serius datang! Maaf, merepotkanmu." Suara Clara terdengar sangat ceria. Tanpa disangkanya, pemuda tampan itu langsung memeluk dirinya erat-erat. Kemudian, Daniel berbisik pelan. "Tak ada kata 'repot' di kamusku untukmu. Tentu saja, aku datang. Semakin hari, aku semakin ingin melihat dirimu setiap hari."

Clara terkejut mendengar perkataan itu. Begitu tulus dan terasa menyenangkan di hatinya. Ia tersenyum bahagia karena ia mengetahui ketulusan hati Daniel. Sekarang, mereka telah melepaskan pelukan itu. Mata mereka saling berpandangan dan Clara bisa melihat kesungguhan di mata pemuda itu. Ia yakin, tidak ada rayuan gombal di dalam setiap tutur kata Daniel pada dirinya. 

"Aku juga." Clara tersenyum, begitu juga dengan Daniel.

Setelah berkenalan dengan Tasha dan Laila, pemuda sanatorium itu menggenggam tangan Clara. Keduanya melangkah pergi meninggalkan area sekolah. Mereka pergi menuju waktu kebersamaan mereka sore itu.

Dari kejauhan, seorang cowok memerhatikan kejadian itu. Ia melihat bagaimana kedua insan itu berpelukan, tersenyum, dan saling memandang. Ia mengepalkan jari-jemari tangannya hingga kuku-kuku itu menusuk telapak tangannya.

-----

"Kau mau ke mana?" tanya Daniel seraya menggandeng tangan gadis di sampingnya. Ia sangat menikmati saat-saat ini, di mana hiruk-pikuk kota menjadi melodi iringan waktu kebersamaan dirinya dengan Clara. Hal ini seperti mereka memiliki sesuatu yang istimewa tersendiri.

Clara berjalan pelan di samping Daniel seraya perasaannya melambung tinggi ke langit. Ia merasa sangat...bahagia. Bersama Daniel, bergandengan tangan dengan orang yang ia cintai, berjalan di tengah keramaian kota di kala sore. Semua itu adalah impiannya selama ini. Mulai detik itu juga, ia tak bisa lagi menyangkali bahwa semenjak ia bertemu dengan Daniel, cowok itu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang membuatnya merasa sangat istimewa dan bahagia.

"Ke mana saja yang kau mau. Ke mana pun itu, asalkan bersama denganmu, aku sudah sangat senang."

"Kau mencuri kata-kataku. Seharusnya itu adalah bagianku." Daniel tertawa kecil.

"Hahaha... Kalau begitu, ucapkan kata-kata itu sekali lagi." Clara dapat merasakan jantungnya berdegup tiga kali lebih kencang. Namun, ia tidak malu atau takut lagi. Baru pertama kali ini, ia berani mengutarakan segala perasaannya kepada orang yang ia sukai. Dan orang itu hanyalah Daniel.

"Ke mana pun kita pergi, asalkan selalu bersama denganmu, aku sudah sangat senang. Aku bahagia."

Tiba-tiba, Clara berhenti melangkah. Ia menoleh kepada Daniel, tatapannya penuh harap dan juga keraguan. "Daniel," panggilnya pelan. "Apakah hal itu cukup?"

Daniel mengerutkan dahinya. Ia mengerti apa maksud gadis itu. Melihat kesungguhan di mata Clara, cowok itu tersenyum lembut. "Ayolah," katanya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada gadis itu. "Kita ke pantai, melihat laut."

Semilir angin sore bertiup menyejukkan diri mereka. Daniel dan Clara sama-sama melepaskan sepatu mereka. Keduanya langsung berlari menuju tepi pantai di mana ombak menerjang kaki mereka dan membasahi kedua insan itu. Mereka bermain air, tertawa, dan saling mencipratkan air laut kepada satu sama lain hingga hampir sekujur tubuh mereka basah.

"Hei! Awas, yah! Nih, rasakan dinginnya air laut..."

"Aaassiinn! Hahaha..."

"Yang paling basah kuyup yang kalah!"

"Yang kalah traktir es krim, yang menang traktir minuman!"

"Minum aja air laut ini!"

"Hahaha... Udah, udah... Aku udah basah! Nih, liat!"

"Gak peduli! Hahaha... Kalau masuk angin, tinggal minum jahe!"

"Kamu yang buatin, ya?"

"Yang kalah yang buatin!"

Angin pantai sore itu bertiup dengan halus menyejukkan jiwa keduanya. Jiwa yang penuh sukacita dan rasa syukur menemukan dan mengenal satu sama lain. Deburan ombak bagaikan alunan musik alam yang mengekspresikan teriakan gembira di hati mereka. Langit sore di mana matahari mengucapkan "sampai jumpa esok hari" menaungi mereka.

Daniel memeluk Clara dari belakang dan mengangkat gadis itu, sehingga kedua kakinya mengayun di udara. Clara berteriak girang dan tertawa. Hatinya merasa amat cerah. Demikian pula dengan Daniel yang tertawa bebas melepas kepenatannya selama ini. Kemudian, gadis yang masih berseragam sekolah itu langsung memercikkan air laut kepada Daniel setelah kakinya kembali menapak pasir. Ombak kecil menerjang pelan kedua pasang kaki itu. Keduanya berlari pelan mengejar satu sama lain, tak peduli seberapa basahnya mereka.

Setelah sejam berlalu, mereka berjalan di atas pasir nan dingin dan lembut. Masing-masing membawa sepatunya. Keduanya berjalan pelan menyusuri pasir basah di tepi laut. Sesekali air laut membasahi kaki mereka. Terdengar suara koakan burung camar di angkasa. Daniel melingkarkan lengan kirinya di bahu Clara, sementara gadis itu melingkarkan tangan kanannya di pinggang Daniel. Mereka berdua berjalan begitu dekat. Tiada jarak di antara mereka. Keduanya melekat dan saling menopang tubuh satu sama lain. Semua itu menjadi iringan elok percakapan mereka.

"Apa yang kau pikirkan ketika menikmati semilir angin seperti ini?"

"Angin tak terlihat, tetapi aku bisa merasakannya. Kau tahu? Angin itu bagaikan desiran peristiwa manis, tetapi juga menggoyahkan di dalam hidup ini." Clara menarik napas. "Entahlah, aku... Aku pikir begitu. Aku menikmati angin, tetapi juga takut jikalau kehidupanku mudah terbawa angin."

Daniel mengangguk-angguk pelan. "Kurasa aku mengerti."

"Kau lebih mengerti dari itu."

Untuk sekian kalinya, Daniel tertawa kecil membenarkan perkataan gadis yang berada di sisinya itu. "Ada yang ingin kau tanyakan padaku?"

"Kau tahu, ternyata."

"Ya, tentu. Aku bisa melihat itu dari matamu. Kau itu... Begitu jujur. Pancaran matamu..."

"Kalau aku menutup mataku, apa yang dapat kau lihat mengenai diriku?"

Daniel menoleh ke arah Clara yang terus berjalan di sampingnya sambil memejamkan mata. Ia menunduk hingga hampir mencium puncak kepala gadis itu. "Ketika aku melihatmu, aku melihat langit biru nan cerah. Langit cerah yang ingin kumiliki seutuhnya dan selamanya. Ketika aku melihatmu, aku melihat sosok yang tak ingin kulepaskan untuk selamanya. Bahkan ketika kau memejamkan matamu, aku dapat melihat bahwa kau tak jauh melihat dan menginginkan hal yang sama terhadapku."

Clara membuka matanya. Kali ini, hatinya sungguh berdebar-debar melebihi apapun yang pernah ia alami. Ia tak percaya, Daniel baru saja mengatakan hal itu kepadanya. Kata-kata itu bagaikan suatu buaian lembut dan sentuhan anggun yang mengambil alih, sekaligus menenangkan seluruh hatinya. Ia menoleh kepada Daniel. Tatapan cowok itu sangat lembut, tetapi terdapat keseriusan dan kerinduan pada air mukanya. Kalimat terkahir yang dikatakan Daniel tadi, tak bisa Clara sangkali. Ia pun menginginkan Daniel sepenuhnya dan hanya untuknya. Ia telah jatuh cinta pada cowok itu sejak pertama kali mereka bertemu.

"Kau adalah matahariku."

Mereka berdua menoleh kepada satu sama lain, lalu saling berpandangan. Daniel tersenyum. Kedamaian tersirat di wajahnya. Bagaikan melodi yang mengalun lembut, gerakan keduanya amat harmonis. Clara berjinjit dan Daniel sedikit menunduk. Keduanya tak berubah posisi, kecuali kedekatan wajah mereka. Tiada jarak lagi yang memisahkan mereka. Bibir keduanya saling bersentuhan. Keduanya merasakan sentuhan lembut nan manis yang tak akan pernah mereka lupakan. Bukan hanya lembut, tetapi juga anggun dan menawan.

Ciuman itu singkat. Mata mereka saling berpandangan. Clara tersenyum halus, begitu juga dengan Daniel. Keduanya tak rela momen itu berakhir singkat begitu saja. Seperti sudah mengerti langkah masing-masing selanjutnya, keduanya bergerak.

Sepatu keduanya terlepas dari genggaman masing-masing. Tangan kiri Clara menggenggam tangan Daniel yang tersampir di bahunya, sementara Daniel sendiri menggenggam tangan Clara yang melingkari pinggangnya agar gadis itu mengeratkan pelukannya. Daniel mengeratkan lengannya pada leher Clara, sehingga bibir mereka lebih menekan satu sama lain. Daniel sedikit memutar kepalanya ke kanan, begitu juga dengan Clara. Semuanya terasa begitu indah dan memukau

Setelah beberapa detik berlalu, mereka menyudahi ciuman pertama mereka itu dengan napas terengah-engah dan tawa kecil. Matahari mulai telah turun hampir menyatu dengan garis horizon. Langit mengiringi terbenamnya matahari dengan berubah warna menjadi biru, merah muda, ungu, dan kejinggaan. Deburan ombak lebih keras terdengar, mengawali angin darat yang akan datang malam nanti. Daniel dan Clara melanjutkan langkah mereka menyusuri tepi pantai sore itu.

-----

Clara berusaha memejamkan matanya untuk tidur. Namun, setiap kali matanya terpejam, gambar-gambar wajah Daniel terpampang semakin jelas di benaknya. Ia merasa ini gila. Ia tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Seperti aliran teriakan riang mengaliri pembulu-pembulu darahnya, sekujur tubuhnya merasa amat bebas. Dipeluknya Trixie, boneka anjing besar kesayangannya, erat-erat.

"Aku tak percaya. Hari ini, hal termanis dan terindah di dalam hidupku terjadi." Suara kecilnya memecah keheningan di kamar itu. Clara menyentuh bibir mungilnya. "Ciuman pertamaku. Aku... dan Daniel..." Ia tersenyum, lalu memejamkan matanya. 

-----

Daniel gusar, tetapi sekaligus senang. Ia tak percaya apa yang telah dikatakan dan dilakukannya hari ini terhadap Clara. Hari ini adalah hari terindah di dalam hidupnya. Ia tak pernah menyangka, pertemuannya dengan gadis itu membawa dirinya kepada saat-saat ini. Saat-saat di mana semuanya menjadi lebih manis dan indah. Warna keabu-abuan itu perlahan-lahan memudar dan diganti dengan warna-warna cerah. Semua itu berkat kehadiran Clara.

Walaupun begitu, dirinya mengerti benar bahwa ia tidak bisa memenuhi seluruh keinginan Clara. Selamanya. Kata itu begitu kuat. Daniel kesal karena ia pun tak bisa mencapai kata itu di dalam hidup ini. Memang tiada manusia yang bisa hidup selamanya, tetapi setidaknya lebih dari apa yang ia kemungkinan besar hanya dapat capai. 

Sudah bertahun-tahun dirinya mengetahui kenyataan pahit itu, tetapi baru sekarang kenyataan itu menjadi sesuatu yang ia amat benci. Dulu sebelum bertemu dengan Clara, kenyataan itu hanya menjadi suatu fakta yang pahit sekaligus menguntungkan baginya. Mengapa? Karena dengan mengetahui hal itu, ia dapat mengira-ngira berapa lama waktu dan kesempatan hidup yang dimilikinya. Ia dapat bersiap-siap, mungkin. Namun, berbeda dengan waktu lalu, sekarang kenyataan itu menjadi suatu penghalang yang memberatkan hatinya untuk berhubungan dengan Clara.

Daniel tidak pernah ingin melukai hati Clara. Ia tahu bahwa ia pasti akan membenci dirinya sendiri jika menyakiti gadis itu. Ia tak ingin senyum gadis itu memudar atau bahkan hilang. Ia tak ingin gadis itu sedih oleh karenanya. Dan dia mengerti betul bahwa pada akhirnya, semua itulah yang akan ia berikan untuk Clara. Pada akhirnya, semua itulah yang dirinya hanya dapat berikan untuk Clara. Atau, apakah benar ia betul-betul mengerti 'pada akhirnya' itu?



Sabtu, 30 Maret 2013

Langkah Dua Kaki di Ibukota

Setiap kali dua kaki ini melangkah di pinggir jalan raya di tengah kota Jakarta, beberapa pikiran berkelebat di benak manusia itu. Setiap kali dua kaki ini menapak di tengah-tengah keramaian kota Jakarta, beberapa bisikan memenuhi hati insan itu. Setiap kali dua kaki ini berjalan, begitu juga dengan pikiranku yang mengalir tiada henti.

Mungkin memang melelahkan berjalan di kota yang panas dan hiruk-pikuk ini. Mungkin segala pemandangan yang mewarnai Kota Metropolitan ini sudah biasa hingga tersisihkan maknanya. Mungkin hanya panas terik matahari yang paling sering kita keluhkan ketika berjalan di ibukota pada siang hari. Namun, ketika berjalan pada malam hari di ibukota, apa arti yang didapat?

Lampu-lampu begemerlap-gemerlip menyinari kota. Lampu jalanan, lampu mobil, lampu gedung-gedung. Semuanya menerangi jalan ibukota di kala malam turun. Suara klakson mobil, derung mesin kendaraan bermotor, suara obrolan orang-orang di pinggir jalan, suara masakan para pedagang kaki lima, suara gesekan kaki-kaki yang melangkah di trotoar. Semuanya menyatu ibarat melodi malam ibukota. Semua bersatu melukiskan pemandangan malam di salah satu daerah bagian ibukota.

Tak jauh dari daerah sederhana nan pas-pasan itu, orang-orang berkecukupan duduk di sofa menikmati sejuk dan terangnya ruangan, serta menyantap hidangan makan malam mereka. Berbeda sekali dengan orang-orang yang sedang kulewati satu persatu sekarang, pikirku. Mereka menikmati malam seadanya. Mereka duduk di lantai depan gedung-gedung yang sudah terbengkalai. Merokok dan mengobrol, menjajakan dagangan mereka, dan menikmati semilir angin malam. Tak sedikit yang hanya duduk melamun dan memandangi orang berlalu-lalang. Mungkin, mereka pun memerhatikanku dan keluargaku. Apa yang mereka pikirkan melewati beratnya hari-hari di Jakarta? Sesekali aku mendengar samar-samar obrolan mereka. Apa yang mereka pikirkan mengenai kami ketika melihat kami menyusuri kawasan ini? Ataukah mereka tak peduli sama sekali karena sudah sangat terbiasa dengan pemandangan ini?

Mobil-mobil parkir di depan gedung. Para pemilik mobil itu sedang duduk di sofa empuk dan kursi bagus sambil menikmati hidangan di ruangan ber-AC. Mengobrol juga. Beberapa dari mereka merokok juga. Dan mungkin ditambah dengan rasa beruntung. Hidup serba berkecukupan. Setidaknya, kebutuhan primer dan sekunder tercukupi.  Mungkin, aku pun termasuk orang-orang yang serba berkecukupan itu. Walaupun begitu kelihatannya, aku yakin masing-masing mereka memiliki kesusahan dan pergumulan yang harus dihadapi. Namun, mereka sudah dilihat jauh lebih beruntung oleh orang-orang yang hidup serba minim dan sederhana.

Seorang pelayan menyapu dan membereskan sisa-sisa makanan di salah satu meja di restoran itu. Tak jauh dari restoran itu, duduklah orang-orang yang menikmati suasana malam kota seadanya. Apa yang dipikirkan pelayan itu sekarang? Aku bertanya-tanya. Ketika ia bekerja, melayani orang-orang membeli makanan di restoran itu, apa yang ia pikirkan? Setiap hari, sang pelayan harus melihat orang-orang membeli makanan seharga jatah uang satu harinya dan melahap habis makanan itu selama beberapa menit. Apakah setiap malam, ia juga harus melihat kesenjangan ekonomi yang begitu gamblang di kota ini?

Beberapa gadis muda, pramuniagawati dari sebuah merk rokok, menawarkan sekotak rokok putih kepada beberapa pemuda di pinggir jalan. Aku bergidik. Mereka, gadis-gadis molek itu, sangat berani, menurutku. Kalau aku, pasti aku takut dan tak mau menawarkan dagangan itu malam-malam di daerah seperti ini. Seram. Daerah ini bukan daerah baik-baik pada malam hari. Mungkin mereka takut terjadi sesuatu yang buruk, tetapi mereka tetap melangkah dan melakukan kewajiban yang sekaligus resiko mereka sebagai pramuniagawati rokok itu. Mereka mengalahkan rasa takut itu dan mengambil resiko itu. Itulah yang membuat mereka kucap berani.

Melihat itu semua pun, aku jadi berpikir. Aku yang sedang berjalan meyusuri kawasan ini, melihat mereka yang di sana dan mereka yang di sini. Apakah di sana, orang-orang yang sedang duduk di restoran-restoran itu, menghiraukan pemandangan di sini yang penuh dengan kesederhanaan? Apa respon mereka di sana? Apakah di sini, orang-orang yang sedang duduk di pinggiran jalan serta menghirup debu kendaraan dan asap rokok, menghiraukan mereka yang di sana? Mungkin, tetap ada sedikit rasa kerinduan di lubuk hati kecil itu, tetapi semua sudah terbiasa hingga merasa nyaman-nyaman saja.

Begitu bertumpuk-tumpuk seluruh ungkapan di ibukota ini. Hal itu membuatku terus bertanya-tanya. Akan jadi seperti apa dan siapa, aku, ketika dewasa nanti? Kira-kira aku akan menjadi yang mana di antara mereka semua yang mewarnai kota ini? Tentu saja, aku ingin tetap menjadi diriku sendiri. Namun, siapa dan apa itu 'diriku sendiri'? Itulah beberapa hal yang kupikirkan ketika kedua kakiku menyusuri kehidupan di ibukota. 

Aku sangat bersyukur dengan hidupku yang sekarang ini. Namun, apakah aku mampu mencapai hidup seperti ini kelak ketika aku dewasa dan sudah berkeluarga? Akankah aku mampu menjadi lebih baik dari ini hingga membanggakan kedua orang tuaku? Akankah aku bisa membawa kedua orang tuaku ke jenjang kehidupan yang lebih baik? Akankah aku menjalankan peran yang sudah direncanakan sebaik dan setulus yang kubayangkan? Apakah dua kaki ini akan terus mampu melangkah dan berdiri teguh menyusuri lembah kehidupan di ibukota Tanah Air ini?


Sabtu, 23 Maret 2013

Rainbow Dust


Who doesn't want to glide on a rainbow?
As I'm learning to dance in the rain
I look up to the sky
Seeing the rain pouring down
Wondering when will the rainbow come
I look down to the ground
Find myself standing on earth for a long time
But still
I haven't found the best of it

I want to travel around the world
To seek others' souls
To see them clearly
To know various heritage
To understand them sincerely
In the midst of all
To seek my own soul

I'll stop 'till I find my rainbow
A rainbow that lays still in the dusk sky
A rainbow that cures all the rain
A rainbow that sows its colourful dust
A rainbow that curves down the clouds
Just where I can glide on



Jumat, 22 Maret 2013

Langit 3 : Menemukan Langit

Ketenangan di balik sebuah kelemahan.

Daniel. Rambutnya hitam acak-acakan. Tubuhnya jangkung dan sedikit kurus, seperti cowok-cowok Jepang di komik. Jari-jemarinya panjang seperti seorang pianis. Kulitnya putih pucat. Matanya berwarna coklat dan menyorotkan sinar kehidupan di ambang keraguan. Air mukanya tenang dengan sedikit unsur mencari sebuah sukacita. Senyumnya pun terlihat seperti mencari celah akan keceriaan yang murni dapat ia akui. Suaranya sedikit serak dan berat, tetapi terdengar lembut dan menenangkan. Warna suaranya mewakili setiap warna peralihan dari gelap ke terang. Gaya berjalannya tegap, tetapi langkahnya terkesan sedikit berat menandakan keraguan. Ketika sedang berjalan sambil berpikir, kepalanya sedikit tertunduk.

"Dongeng apa yang paling kau suka ketika kecil dulu?"

Clara menyunggingkan senyumnya ketika mendengar pertanyaan pemuda yang 2 tahun lebih muda di sampingnya itu. Pandangan matanya masih tertuju kepada langit yang dihiasi oleh awan-awan putih yang bergumpal, berkumpul seperti permen kapas. Benaknya kembali memutar peristiwa masa kecilnya ketika dia berlutut dan berdoa agar Tuhan mengabulkan permintaannya yang menginginkan seorang peri kecil.

"Peter Pan."

"Anak cowok yang bisa terbang dan tak pernah menua itu?"

"Ya. Tak jarang ketika malam sebelum aku tidur, aku mencari bintang yang paling berkilau di langit. Aku sangat berharap Peter Pan akan datang dan membawaku ke Neverland." Jeda sejenak, Clara menggigit bibirnya. "Sewaktu kecil, aku sangat ingin bisa terbang. Aku sempat percaya pada keajaiban peri. Debu peri yang memampukanmu terbang hanya dengan menaburkannya ke tubuhmu, lalu pikirkan hal-hal manis yang menyenangkan... Ya, aku sangat mengharapkan hal itu nyata."

"Hal bodoh apa yang kau lakukan karena itu?" Nada suara Daniel sedikit mengejek, tetapi sepenuhnya bercanda. Gadis yang berbaring di sampingnya pun tertawa kecil dan tersipu malu.

"Ada satu yang paling bodoh. Aku menggambar seorang peri kecil, mungil seperti Tinker Bell. Kemudian, aku berlutut dan berdoa hingga mengucurkan air mata, memohon kepada Tuhan untuk menghidupkan peri itu." Tawanya meledak. "Oh, aku merasa bodoh sekali."

Tawa Clara pun diiringi dengan tawa Daniel yang menunjukkan suatu perasaan tidak percaya, tetapi juga tak heran dengan ulah anak kecil yang telah termakan oleh dongeng dan imajinasi.

"Jujur, deh! Aku ingin sekali terbang menuju langit. Aku ingin menembus awan-awan itu, merasakan lapisan tipis udara itu menerpa kulitku. Bahkan, aku pernah beberapa kali mimpi bisa terbang hanya karena meloncat-loncat tinggi beberapa kali. Mimpi itu terasa begitu nyata dan merupakan salah satu dari mimpi terindahku. Menyedihkannya, aku hanya bisa terbang di halaman rumahku, tak lebih tinggi dari pohon palem di sana. Bahkan, tak melewati atap rumahku sama sekali."

Daniel melunakkan tawanya. Ia tersenyum seraya berkata, "Aku juga ingin terbang."

Mereka berdua terdiam. Ditaungi oleh rindangnya pohon, mereka berbaring di rerumputan pada sore hari, merasakan halusnya rumput-rumput kecil yang biasa dipijak banyak orang, memandang langit sore yang bernuansa biru bebercak ungu dan merah muda bercampur jingga, serta menikmati kicauan suara burung gereja di kala sinar matahari menyurut menyilakan bulan mengambil alih langit malam. Betapa menenangkan dan menyenangkan bagi kedua jiwa yang mulai mengenali satu sama lain itu.

"Daniel, boleh aku bertanya sesuatu yang lebih pribadi?" Suara Clara terdengar berhati-hati.

"Boleh. Sesuai perjanjian kita tadi, aku akan menjawab apapun pertanyaanmu itu sejujur-jujurnya."

Clara berdeham. Mendengar suara cowok muda yang berhati lembut di sampingnya itu, ia memantapkan suaranya. "Hal apa yang paling kau takuti sejak kecil?"

Daniel terdiam untuk beberapa saat. Matanya yang memantulkan pemandangan langit sore itu menutup. Ia memejamkan matanya untuk sesaat, menarik napas, membuka matanya kembali, lalu menjawab, "Aku takut tidur. Aku takut tertidur."

Serentak, Clara menoleh ke arah cowok di sampingnya itu. Entah mengapa, pikirannya langsung tertuju kepada kematian, bukan monster atau hantu yang biasanya anak kecil takuti ketika mau tidur. Dengan suara  pelan dan hati-hati, Clara bertanya, "Apakah kau takut sesuatu merenggut jiwamu?"

"Aku takut tidak bernapas lagi ketika aku tidur dan untuk seterusnya." Jeda sejenak. "Aku takut kalau aku tak akan bangun lagi." Daniel mengangguk, pandangannya masih tertuju kepada langit sore yang telah berubah menjadi merah kejinggaan. "Ya, aku takut sesuatu merenggut jiwaku. Aku takut kematian mendatangiku sebelum aku meraih langit."

Hati Clara langsung menyiut, ia tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak ingin memulai alunan melodi yang telah sarat oleh luka pada sore hari seperti ini. Kata-katanya langsung tenggelam seribu meter di tengah lautan. Perasaannya tenangnya tadi langsung bercampur aduk dengan kesedihan, penyesalan, dan khawatir setelah mendengar jawaban Daniel. Tanpa keraguan, Clara menggerakkan tangan kanannya dari atas perut menuju tangan Daniel yang berbaring di sebelah kanannya. Ia menaruh jari jemarinya di atas telapak tangan cowok muda itu. Dengan lembut, ia menggenggam tangan Daniel. Kedua tangan mereka merasakan belaian rumput-rumput kecil taman sanatorium itu. 

Di luar dugaan Clara, Daniel membalikkan tangannya, lalu cowok itu menautkan jari-jemarinya dengan jari-jemari Clara, menggenggam tangan gadis itu erat-erat. Kemudian, secara bersamaan mereka menoleh kepada satu sama lain. Mata Clara menyiratkan suatu penyesalan, kekhawatiran, dan kesedihan, sementara mata Daniel menyorotkan suatu kehangatan dan ketenangan di balik kekhawatirannya. Keduanya berpandangan selama beberapa saat. 

"Tak apa." Suara Daniel terdengar pelan dan bertujuan menentramkan hati gadis di sampingnya itu. Clara tersenyum sedikit, benaknya kembali pada lukisan yang ia lihat di kamar Nenek Rain seminggu yang lalu. Kedua tangan yang bergandengan dilatarbelakangi matahari terbenam.

-----

Pertemuan pertama mereka itu tak akan ia lupakan seumur hidupnya. Clara sangat yakin akan hal itu. Bahkan, ia masih ingat percakapan awal mereka yang berujung pada mengetahui nama satu sama lain. Semuanya begitu tak terduga. Hari itu adalah hari yang memoleskan warna baru, warna asing di kanvas kehidupannya.

Beginilah, lanjutan dari pertemuan pertama mereka seminggu lalu.

"Aku tinggal di sini."

"Bagaimana perasaanmu?"

"Bosan. Luas. Tenang. Dinamis."

Clara terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Coba saja kau bayangkan, tinggal di tempat ini selama bertahun-tahun. Saat-saat pulang dan tinggal di rumahmu sendiri, kau bisa hitung pakai jari. Ditinggalkan oleh beberapa orang yang telah kau kenal baik menjadi hal yang sudah biasa. Walaupun begitu, kesedihan itu tetap saja melanda dan merengkuh hatimu setiap kali misteri itu datang. Setiap hari, ada saja bunyi gemuruh risau dan tergesa-gesa beberapa perawat menuju seorang pasien. Namun, di samping semuanya itu ada ketenangan dan kesegaran yang tertata rapi di tempat ini."

Mereka telah sampai di depan kamar Tante Meg. Clara ingin undur diri, tetapi timbul suatu keinginan untuk dapat berbicara dengan cowok yang baru ditemuinya itu lebih lama lagi.

"Maaf, aku..."

Tiba-tiba pintu kamar seberang terbuka, seorang kakek keluar dengan tatapan tertuju kepada cowok di hadapan Clara. "Daniel! Mari, masuk! Kita main catur, ya?"

Segera saja cowok itu menoleh, Clara hadapannya langsung mengetahui nama cowok jangkung di hadapannya itu. Daniel.

"Oh, oke, Pa Joe. Tunggu sebentar, ya." Suaranya begitu santai dengan senyuman menyambut ajakan kakek yang dipanggilnya 'Pa' itu. Tanpa disangka gadis itu, Daniel menoleh ke arahnya. Mata yang tajam itu menatap ke arah mata hitam bening Clara. "Aku pergi dulu." Ia menghela napas. "Semoga, kita bisa bertemu lagi." Mata Clara membulat, ia tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut pemuda berwajah langit abu-abu itu.

Clara mengangguk pelan. "Ya, aku juga." Tiba-tiba, pintu kamar Tante Meg terbuka. "Clara? Mengapa tidak masuk?" Suara mamanya terdengar bertanya-tanya, mungkin karena melihat seorang pemuda bersama gadis itu. Clara menoleh dan menemukan mamanya telah membawa tas, bersiap-siap mengucapkan selamat tinggal kepada teman lamanya. Tante Meg berdiri di belakang mamanya dan tersenyum sopan kepada Daniel.

Daniel memandang kedua wanita itu, lalu membungkuk sedikit menandakan rasa hormat. Kemudian, tatapannya beralih ke Clara untuk sesaat. Mata mereka bertemu. Tak lama setelah itu, Daniel sudah melangkah pergi menuju kamar Pa Joe.

Clara tak ingin pergi dari tempat itu.

-----

Semenjak pertemuan mereka hari itu, Clara memutuskan untuk sering-sering mengunjungi sanatorium. Ia meminta izin dan memohon kepada mamanya dengan air muka yang menyiratkan kesungguhan dan kerinduan. "Aku mohon, Ma. Izinkan aku kembali lagi ke sanatorium itu. Aku menyukai tempat itu. Aku menghargai tempat itu. Aku ingin mengenal mereka lebih lanjut. Aku tak ingin kehilangan teman yang tak akan pernah kutemukan lagi di lain hari nanti. Kumohon, Ma."

Dari sorot mata Clara pun, Lucy bisa melihat kesungguhan anaknya itu. Ia dapat melihat Clara yang dengan sepenuh hati mengartikan setiap kata yang diucapkan gadis berumur 16 tahun itu. "Apa jaminannya? Apa yang harus mama pegang dari permintaanmu itu?"

"Aku janji Ma, keinginanku ini tidak akan mengganggu nilai-nilai mata pelajaran di sekolah sama sekali. Aku janji tidak akan pulang hingga larut malam. Aku mohon. Aku tidak akan ke mana-mana selain ke sanatorium."

Setelah beberapa jam berlalu, setelah beberapa pertimbangan dipikirkan, Lucy mengizinkan anaknya itu untuk pergi ke sanatorium paling banyak tiga kali selama lima hari sekolah. Baginya, tidak ada salahnya jika anak gadis itu belajar mengetahui kehidupan di lingkungan yang selama ini tak pernah didiaminya. Sanatorium itu pun bukan lingkungan baru yang buruk bagi Clara. Bahkan, Lucy yakin dan berharap agar anaknya itu dapat belajar banyak mengenai kehidupan di tengah-tengah orang yang tidak sesehat dirinya itu.

"Clara, jangan lupa. Alasan utama mama memperbolehkanmu sering-sering mengunjungi sanatorium itu adalah agar kau dapat belajar lebih banyak soal hidup. Mama ingin kamu melihat beragam ekspresi dan pemikiran mereka untuk bertahan. Mama ingin kamu belajar lebih menghargai hidup. Menurut mama, keinginanmu tidak buruk." Senyum Lucy mengembang, mengartikan sesuatu. "Pergi ke sanatorium? Mama rasa, jarang ada seorang gadis remaja yang ingin mengenal mereka lebih dalam lagi."

-----

Pertemuan kedua dan ketiga dirinya dengan Daniel begitu merombak semua hal yang dibayangkan Clara selama ini. Ibarat sebuah bibit kecil yang baru ditanam di dalam tanah dan diberi pupuk, itulah pertemuan kedua mereka. Ibarat sebuah bibit yang bertunas, lalu berakar, akar itu tubuh menjalar dan merambat dengan cepat, itulah pertemuan ketiga mereka.

Pada kali kedua Clara mengunjungi sanatorium, dirinya sangat senang sekaligus bingung. Ia sangat senang bisa menghirup keasrian tempat itu, bertemu dengan Tante Meg, Nenek Rain, dan Daniel. Namun, ia juga bingung untuk memulai percakapan dengan teman-teman barunya itu, terutama dengan Daniel. Sejujurnya, pemuda itulah yang paling mendorongnya untuk segera mengunjungi sanatorium itu lagi.

Ketika Clara ingin menemui Tante Meg, ia mendengar suara-suara orang berbicara dengan teman mamanya itu. Segera saja ia tahu bahwa keramaian di kamar itu berasal dari anak-anak Tante Meg yang tak biasa berkunjung pada hari kerja itu. Dengan langkah mantap, gadis itu melanjutkan kunjungannya kepada Nenek Rain.


Dengan Nenek Rain, ia bercakap-cakap.

"Nek, kurasa aku akan sering-sering datang ke tempat ini."

"Benarkah? Kau senang dengan tempat ini?"

"Sangat. Aku sangat menyukai keadaan di sini. Namun kurasa, itu karena aku baru mengenali ketenangan dan kesegarannya saja. Selain itu, mengenal Nenek yang begitu ceria dan ramah, aku juga sangat menikmatinya. Kau seperti Nenekku."

Nenek Rain terkekeh pelan. "Ada-ada saja kau. Terima kasih, cantik. Menurutku, kau akan memperoleh yang sangat berharga dari mengenal tempat ini."

Clara mengangguk mantap. "Ya, aku yakin begitu. Aku harap begitu. Tapi..."

"Aku tahu. Bukan itu saja, kan? Kau memiliki alasan lain yang mendorongmu ingin datang ke tempat ini lagi."

Gadis muda itu terdiam, ia memandangi bunga-bunga bougenville yang bergoyang kecil tertiup hembusan angin. "Ya. Ada."

"Siapa dia?"

Clara tersipu malu. Mengingat wajah serius Daniel, ia tersenyum. "Nenek tahu?"

"Daniel adalah pemuda yang baik. Hatinya lembut. Dia dapat membuat orang lain merasa tenang dan senang. Namun, ada keraguan dan kekhawatiran di dalam dirinya sendiri. Dia memang berbeda. Tak ada salahnya kalau kau ingin mengenalnya lebih jauh. Kusarankan, kau harus."

Perkataan Nenek Rain didengarnya dengan serius. Hatinya terhibur oleh senyum wanita berumur genap 70 tahun itu yang menuruhnya pergi menemui Daniel setelah mereka berbicara sekitar setengah jam.

Pintu itu tertutup rapat. Kamar Daniel tepat berada di seberang kamar Nenek Rain. Clara menarik napas dalam-dalam. Ia memberanikan diri mengetuk pintu itu.

"Masuk." Terdengar suara dari dalam ruangan. Suara Daniel, ujar Clara dalam hati.

Pintu dibukanya, tampaklah Daniel yang sedang duduk di dekat jendela memandang taman sanatorium. Sinar matahari menyinari rambut hitamnya, dan sebagian wajahnya. "Hai, Daniel," sapa Clara setenang mungkin.

Daniel terkejut. Matanya membelalak, lalu ia menoleh ke arah pintu. Melihat Clara, gadis muda yang ditemuinya tempo hari, membuatnya bangkit dari duduknya dan berjalan mendatangi sosok yang sedang berdiri dan tersenyum ragu-ragu di ambang pintu itu.

"Kau... Kau datang?" tanya Daniel tidak percaya.

Clara menunduk, ia berusaha keras menyembunyikan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya ingin... Aku kira..." Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"Aku senang sekali. Aku sudah menunggumu."

Perkataan itu mengejutkan hati Clara. Sekali lagi, dirinya kembali serasa tersetrum oleh kata-kata Daniel yang singkat dan padat itu. Hatinya berdebar-debar. Ia mendongak dan melihat Daniel yang tertunduk menatapnya. Mata cowok itu memandangnya dengan lembut. Senyum manis terpampang di wajah berkulit putih pucat itu. Di hadapannya, cowok itu terlihat lebih tinggi dari sebelumnya. Tinggi Clara hanya sedada Daniel. Gadis itu menelan ludah.

"Selamat sore."

Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Clara. Selanjutnya, Daniel lah yang mengajaknya masuk dan memulai perbincangan mereka. Tak lama kemudian, cowok itu mengajak gadis yang telah menjadi temannya itu berjalan-jalan di taman. Sekali-kali mereka saling terdiam menikmati kesunyian di antara dua jiwa muda itu. Tak jarang mereka tersenyum ketika berbicara pada satu sama lain. 

Pertemuan kedua itu menandakan hal yang baik untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya. Bibit yang tertanam itu dengan cepat bertunas, berakar, dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang mengarah pada matahari.

-----

Daniel berbaring sendirian sendirian di kamar itu, kamar yang telah ditempatinya selama dua tahun terakhir.  Matanya memandang langit-langit ruangan, ia telah berbaring selama 2 jam tanpa bisa tahan memejamkan mata lebih dari 10 menit. Kemudian, ia menoleh ke arah jendela, memandang langit malam. Ia telah memaksakan dirinya untuk tidur, tetapi tidak bisa. Ia takut.

Setiap sebulan hingga dua bulan sekali, kakek-neneknya mengunjungi dirinya dengan membawakan buah-buahan dari hasil kebun mereka. Daniel sangat senang ketika hari-hari itu datang, di mana ia bisa berkumpul kembali bersama sepasang suami istri yang telah dengan sabar, setia, dan penuh kasih sayang merawatnya semenjak dirinya berusia 9 tahun. Mereka berbincang-bincang, bercerita-cerita, berbagi tawa dan keluh kesah serta harapan. Namun, sebahagia apapun saat-saat itu, Daniel masih belum bisa menemukan langit biru nan cerah yang hilang semenjak kepergian kedua orang tuanya.

Awan gelap yang menggulung di hatinya itu telah lama memudar selama lima tahun terakhir, tetapi tetap saja langit itu tak kembali cerah. Langit itu tetap mendung dan sesekali menurunkan hujan, yaitu ketika Daniel tak kuasa menahan kekhawatiran dan kesedihan yang membebani hatinya. Ia mulai menangis pada saat-saat itu. Tentu saja, ia menangis sendirian di kamarnya di kala malam menidurkan orang-orang di sanatorium. Meski sudah sangat jarang ia menangis terisak, beban di hatinya tetap terasa sama beratnya ketika ia hanya meneteskan air mata. Ia sangat berharap untuk menemukan dan mendapatkan langit cerah itu. Ia sangat ingin menemukan dan merasakan kehangatan langit itu lagi.

Semenjak tiga hari yang lalu, Daniel mulai susah tidur. Ia takut. Ketakutan itu kembali datang, tetapi kali ini dengan alasan yang berbeda. Ia takut kalau tiba-tiba ketika ia tidur, kelemahan yang menggerogoti kesehatannya itu kambuh dan menarik jiwanya lebih dekat menuju kematian. Ia takut dirinya tidak akan bangun lagi. Kali ini, ketakutan itu bukan muncul karena ia tidak ingin mati sebelum menemukan dan merasakan langit itu lagi. Kali ini, alasannya berbeda. Ia takut karena ia telah menemukan langit itu. Ia takut karena ia sangat ingin tetap hidup untuk mengenal, merasakan, dan memiliki langit yang telah ditemukannya kembali itu.



Rabu, 20 Maret 2013

Langit 2 : Teman Baru

Matahari bersinar terik di angkasa. Awan-awan putih yang tersebar seperti kapas-kapas putih di tengah langit biru menghiasi siang itu. Meski terik matahari siang itu sungguh menyengat kulit, Clara dan beberapa temannya dengan semangat bermain basket di kala jam pelajaran Olahraga mereka. Begitulah akibat ulah manusia, suhu Bumi terus meningkat, panas matahari semakin membakar hari-hari di Bumi. Clara sangat kesal akan hal itu, tetapi ia juga mengakui bahwa dirinya bagian dari penyumbang pemanasan global itu.

Dirinya merasa lelah. Pelipisnya telah dialiri oleh peluh keringat. Napasnya terengah-engah. Kedua matanya terus menyipit akibat tersengat silau sinar sang raja siang. Namun, sebagian dari dirinya masih merengek belum mau berhenti bermain karena dengan bermain basket, benaknya kembali berjalan mundur mengingat masa lalu. Masa lalu, masa-masa SMP. 

"Ra!" Bola melambung tinggi berkat lemparan Jane ke arah Clara. Clara menangkap dan segera men-dribble bola tersebut ke arah ring. Dua orang dari tim musuh langsung mengahadangnya. Gadis itu melirik ke kiri dan kanan, mencari seorang teman, lalu matanya menangkap keberadaan Tasha yang berlari agak jauh di sampingnya, di belakang musuh. "Sha!" Clara mengoper bola ke arah Tasha. Dengan gesit Tasha membawa bola itu menuju ring dan mencetak skor untuk timnya. Clara tersenyum dan bersorak untuk teman baiknya itu. 

Satu menit lagi. Waktu bermain hanya tersisa satu menit lagi. Waktu yang singkat.

Ketika dirinya men-dribble bola hasil rebutan dari musuhnya, beberapa gambar masa lalu  muncul di benaknya secara tiba-tiba dan membuyarkan fokus Clara. Gadis itu senang sekaligus sedih untuk membiarkan gambaran-gambaran masa lalu itu bermunculan di benaknya. Ia masih ingat dan samar-samar bisa mendengar suara tawa Max yang terus menghantui pikirannya selama mereka belum pernah bertemu lagi. Suara tawa itu, suara yang menggembirakan dan ringan. Ia masih ingat betul raut wajah Max saat tersenyum. Bagaimana cowok itu berlari men-dribble bola basket, melompat, dan memasukkan bola yang melambung tinggi itu ke ring, semuanya masih segar di dalam ingatannya seperti baru terjadi kemarin. Ia senang tidak melupakan temannya yang sangat berarti di dalam hidupnya itu, tetapi ia juga sedih tidak bisa menghilangkan bayang-bayang cowok itu dari pikirannya.

Peluit dibunyikan. Waktu bermain telah selesai.

Anak-anak perempuan yang telah letih bermain itu berjalan ke arah tempat duduk di pinggir lapangan. Mereka meneguk minum mereka masing-masing dengan nikmatnya. Keringat membasahi tubuh dan kepala mereka. Beberapa dari mereka berkeringat berlebihan, seperti Clara dan Tasha yang dialiri oleh peluh keringat dari dahi hingga dagu. Clara duduk di samping Tasha, lalu mereka mulai mengobrol.

"Aduh dunia, siang ini panas banget!" gerutu Clara.

"Memang, nih! Serasa kebakar."

"Ini nih, efek pemanasan global semakin parah. Angin yang bertiup pun membawa debu-debu jalanan. Lengkap sudah, berkeringat, bau, dan debu-debu menempel di kulit yang lembap. Semakin dekil deh, kita! Hitam!"

Tasha hanya tertawa mendengar ocehan sahabatnya itu. "Tidak apa-apa. Hitam itu seksi, Ra!"

Clara tertawa sedikit, lalu ia menghela napas dan terdiam. Tasha mulai mengobrol dengan Anna yang duduk di sebelahnya. Karena tidak sedang ingin berceloteh ria bersama teman-temannya, Clara memutuskan untuk diam seraya menonton permainan futsal anak laki-laki di lapangan sebelah para anak perempuan duduk-duduk.

Bagaimana dengan nilai-nilainya? Baik, cukup baik dan stabil. Tak jarang ia menjadi guru bagi teman-temannya. Ia sangat mengerti bahwa ia harus menjaga nilai-nilainya agar tetap baik dan stabil untuk membanggakan orang tuanya dan memupuk rasa tanggung jawab dalam dirinya sendiri. Gadis itu telah diberi kecerdasan dan kemampuan oleh Tuhan, ia tidak berhak menyia-nyiakannya begitu saja. Hanya kemalasan yang harus dilawannya. Bagaimana dengan mimpinya? Impiannya? Cita-citanya? Lumayan. Bagi remaja seumurnya, Clara tergolong sebagai anak yang sudah mengetahui apa yang ingin dia lakukan di masa depan nanti secara terperinci, menjadi apa, untuk apa dan siapa, dan berniat mencari tahu serta menelusuri mimpinya itu lebih lanjut. Bagaimana dengan keluarganya? Baik. Cukup baik. Tidak ada masalah besar sepertinya, karena gadis itu selalu melihat ke arah keluarga Max yang ia tahu, cukup mengkhawatirkan. Clara sudah sangat bersyukur akan keadaan keluarganya sekarang yang berkecukupan, jarang bertengkar serius antarsatu sama lain, dan hanya ada sedikit cekcok pandangan antara dia dengan orang tuanya. Bagaimana dengan... Clara berusaha menghindari topik itu dari pemikirannya. Namun, tetap saja bisikan-bisikan kecil hatinya merambat ke benaknya.

Bagaimana dengan kehidupan cintanya? Jujur saja, Clara sangat ingin memiliki seorang pacar di SMA ini. Seseorang yang dicintainya dan mencintainya apa adanya. Bah! Cinta? Apakah benar dia telah mengerti tentang cinta? Seberapa dalamkah anak SMA mengerti soal cinta? Mungkin hanya tahu, tetapi tidak mengenal apa sebenarnya 'cinta' itu. Clara tersenyum sedikit. Senyum yang mengolok-olok dirinya sendiri. Apa tahumu soal cinta, Clara? Kau hanya suka memimpikan hal yang manis tanpa ingin mengambil yang pahit untuk dilalui. Padahal, kau lebih sering tercemplung ke dalam hal yang pahit. Cinta? Masih jauh! Mungkin kau akan menemukan dan mendapatkan cinta sejatimu pada saat kuliah nanti, atau mungkin saat kerja nanti. Bersabarlah, Clara. Hanya bukan sekarang, kurasa. Clara berbicara di dalam hati.

"Ra! Mau main lagi, gak?" ajak Vina yang dengan semangat bangkit berdiri untuk menyambut ronde kedua. Clara, gadis berambut hitam selengan itu hanya menggeleng pelan. Entah mengapa, ia merasa sangat lelah pada hari itu. Beberapa siswi bergabung bermain futsal bersama beberapa siswa, sementara sebagian siswi lainnya menonton dan bersorak meramaikan suasana. Sekali-sekali Clara berteriak, hanya untuk meluapkan rasa sesak hatinya.

-----

"Ma? Kita ini mau ke mana? Tidak pulang?"

Melihat mamanya mengambil belokan yang berbeda dari jalan mereka pulang biasanya, Clara ingin tahu ke mana mereka akan pergi.

Hari itu sudah cukup melelahkan bagi gadis itu. Sekujur tubuhnya terasa sakit sehabis berolahraga dua hari yang lalu. Ketika ia bangun pagi tadi, tiba-tiba saja otot-otot di tangan dan kakinya terasa kaku dan sakit semua. Ia sangat mengesali hal-hal seperti itu.

Hari itu juga diperparah dengan Jason yang melupakan mengerjakan tugasnya di kelompok tugas. Clara sekelompok dengan orang itu dan ketiga temannya yang lain, lalu dengan terburu-buru, hanya dengan waktu 10 menit, mereka harus menyelesaikan tugas Jason. Cowok itu sendiri malah bercanda ria dengan Yoel, teman baiknya, dan tidak terlalu peduli dengan tugasnya sendiri. Alhasil, Clara dan ketiga anggota kelompok lainnya yang harus menyelesaikan tugas mencari artikel dan membuat slide presentasi mereka secepat kilat. Untung saja, presentasi mereka berjalan dengan lancar dan bagus.

Clara sangat kesal dengan perilaku Jason yang seperti itu. Ia tidak mengerti lagi akan perasaannya terhadap cowok itu. Sejujurnya, ia tidak jarang merasa perilaku cowok itu konyol dan tidak penting. Namun, tetap ada saat ketika suara hangat dan senyuman cowok berambut acak-acakan itu menggetarkan hatinya. Mungkin, yang Clara kagumi dari Jayson bukan karakter cowok itu sepenuhnya, melainkan penampilan dan sikap cowok itu pada saat-saat tertentu saja.

Dalam perjalanan pulang sekarang, mamanya berbelok ke arah jalan lain yang belum pernah mereka lewati sebelumnya. Clara melihat sisi kiri dan kanan jalan yang mulai ditumbuhi rerumputan hijau dan pepohonan rindang. Gadis itu menikmati pemandangan di luar mobilnya, ia menyukai jalan raya dengan pinggir yang asri seperti itu.

"Kita mau ke mana, Ma?" tanyanya sekali lagi.

"Oh, ya. Kita mau ke sebuah sanatorium," jawab mamanya tenang. "Sebentar saja, kok! Nanti kamu juga ikut turun menemani Mama, ya."

Sanatorium? Hal itu merupakan hal yang baru bagi Clara. Ia tidak pernah mendatangi sebuah sanatorium sebelumnya. Ia hanya tahu bahwa tempat itu seperti rumah sakit, tetapi lebih khusus, asri, dan sehat untuk tempat tinggal para pasien yang butuh lingkungan khusus untuk bertahan hidup di tengah-tengah penyakitnya.

"Sanatorium? Siapa yang sakit, Ma?"

"Teman lama, Mama. Tak apa kan, menemani Mama sebentar? Besok kamu banyak tugas, tidak?"

"Tak apa. Ayo-ayo saja, Ma. Aku penasaran bagaimana lingkungan sanatorium itu. Teman Mama sakit apa?"

"Paru-paru. Karena tidak ingin merepotkan keluarganya, ia memilih untuk tinggal di sana selama beberapa bulan, entah sampai kapan. Setiap akhir minggu, keluarganya menjenguknya."

"Umur berapa, Ma? Anaknya umur berapa?"

"Oh, dia senior Mama sewaktu kuliah dulu. Kalau tidak salah ingat, dia lebih tua lima tahun dari Mama. Dia menikah muda. Makadari itu, kedua anaknya sudah berkeluarga."

"Oh...  Ketika di sanatorium nanti, apa aku boleh berkeliling-keliling?"

"Sendirian?"

Clara menarik napas. "Ya, tak apa. Aku sudah besar kok, Ma. Aku ingin menelusuri seperti apa tempat yang dinamakan sanatorium itu. Aku ingin melihat sebanyak mungkin orang yang tinggal di sana. Mama bisa tetap mengobrol-ngobrol dengan teman Mama itu, tak usah hiraukan aku."

Mamanya menangguk-angguk. "Oke, setelah kau bertemu dan menyapa dengan teman Mama, kau boleh berkeliaran sendiri. Jangan sampai mengganggu orang-orang di sana."

Clara tersenyum senang, lalu mengecup pipi Mamanya. "Oke, deh! Thanks, Mom!"

Mobil mereka terus melaju dengan kecepatan normal, menyusuri jalan raya yang lebar dan tenang itu.

Sanatorium itu sangat luas dan asri. Semuanya tertata rapi. Bangunan putihnya terlihat megah, tetapi juga mengandur unsur kesederhanaan dan kekeluargaan. Dinding lobby sanatorium itu dilapisi marmer berwarna dark grey, lantai marmernya berwarna yellow cream, dan setiap balkon lantai atasnya cukup tinggi untuk memastikan tidak ada orang yang sanggup naik dan duduk di atas balkon. Taman di luar gedung sanatorium itu sangat luas dan penuh dengan rerumputan hijau serta pepohonan rindang. Bunga-bunga bougenville liar menghiasi beberapa titik di tengah taman. Masih ada lagi sejumlah jenis bunga lain yang ditanam di taman itu, seperti bunga anggrek, alamanda, kamboja, dan terompet. Terdapat jalan trotoar selebar 3 meter yang meliak-liuk menyusuri taman seluas 2 hektar itu, seperti jalan setapak. Dedaunan pohon-pohon menaungi hingga membentuk bayangan hampir berbentuk bulat mengelilingi setiap pohon. Ada juga beberapa jenis tanaman bonsai yang disusun rapi di sisi kiri dan kanan jalan setapak. Sejumlah bangku taman ditempatkan di bawah pohon-pohon yang besar dan rindang, atau di dekat danau buatan di tengah taman. Terdapat juga beberapa meja bulat untuk 4 orang beserta bangku-bangkunya di tengah taman. 

Clara sangat menyukai suasana di sanatorium itu. Beberapa orang terlihat sedang berjalan-jalan sore menikmati segarnya udara di taman sanatorium itu. Ada sepasang kakek dan nenek yang sedang duduk membaca buku di salah satu kursi dekat danau. Di dalam gedungnya sendiri pun, sanatorium itu terlihat damai dan menenangkan. Para perawat atau suster tersenyum ketika bertemu pandang dengan beberapa pengunjung atau pasien. Semuanya relatif terlihat ramah dan bersahabat, meski ada beberapa orang yang berwajah lesu atau lemas.

Clara dan mamanya sampai di depan sebuah kamar yang terletak di lantai 1 dan dekat dengan pintu keluar menuju taman. Setelah mamanya mengetuk pintu kamar itu lima kali, mereka masuk. Langsung saja, teriakan gembira menyambut mereka. Teriakan gembira, menyebut nama mama Clara, Lucy.

"Lucy!" panggil wanita yang berusia pertengahan 50 tahun itu kepada mama Clary. Wanita itu terlihat anggun dan segar dengan balutan baju terusan biru cerahnya yang bermotif kelopak bunga sakura yang berguguran. Senyumnya memperlihatkan lesung pipit di pipinya dan menambah kesan ceria di wajahnya. Mata birunya bersinar seraya memandang Lucy yang melangkah masuk ke kamarnya. Kedua teman lama itu berpelukan.

"Meg! Bagaimana kabarmu?" tanya Lucy dengan riang sambil memeluk teman lamanya dengan erat. Clara dapat melihat bagaimana lega wajah mamanya ketika melihat keceriaan di wajah wanita yang dipanggil 'Meg' itu. Tanpa sadar, gadis SMA itu juga ikut tersenyum melihat aksi kedua wanita itu saling melepas rindu masing-masing dengan berpelukan.

Meg melepaskan pelukannya, begitu juga dengan Lucy. "Mengapa kau bisa datang ke sini? Dari mana kau tahu aku di sini?" Suara riang Meg memenuhi ruangan seraya wanita itu menuntun teman lamanya untuk duduk di salah satu sofa di kamar itu. Lucy belum sempat menjawab pertanyaan Meg, ketika wanita keturunan Canada itu bertanya lagi. "Lucy, inikah, anakmu yang manis itu? Oh!!!"

Clara tak tahu harus berespon apa. Maka, ia hanya tersenyum dan menyahut perkataan Meg dengan sapaan lembut. "Selamat sore, Tante." Gadis itu berjalan menuju sofa tempat mamanya duduk. "Aku Clara."

Meg mengangguk-angguk pelan. "Mamamu mengirimkan foto bayimu kepadaku setelah beberapa minggu dia melahirkanmu. Ketika ulang tahunmu yang ke-5, dia juga mengirimkan foto dirimu berbalutkan gaun merah polkadot putih itu."

Clara menoleh ke arah mamanya dengan mulut bulat menganga, lalu disambut dengan tawa dari Lucy. "Kau itu masih ingat saja, Meg! Iya, ini anakku satu-satunya. Bagaimana dengan anakmu?"

"Sekarang Clara kelas berapa? Kau tumbuh menjadi cantik dan mirip dengan mamamu sewaktu muda dulu."

Clara berdeham, dia tidak ingin terlihat canggung di hadapan teman lama mamanya itu. "Kelas SMA 2, Tante. Oh, ya? Mama sewaktu muda seperti apa, Tante?"

"Mamamu itu perempuan yang penuh semangat, ibarat seekor burung kolibri yang selalu terbang ke sana kemari, maju-mundur, naik-turun, mengisap nektar bunga-bunga."

Clara tertawa, sepertinya ia akan menyukai teman mamanya yang satu ini. "Burung kolibri?"

"Ya, ya. Ah! Jangan burung kolibri kalau begitu. Kupu-kupu. Ya, kupu-kupu yang memiliki corak sayap yang indah dan..."

"Meg, kau ini ada-ada saja. Aku tidak secantik itu," sela Lucy sambil tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Bruce?"

"Bruce? Oh, dia sudah kembali ke Australia. Kami sudah tidak lagi bersama semenjak 3 tahun yang lalu. Kami bercerai."

Lucy terdiam, begitu juga dengan Clara. "Oh, maaf." Suara mama Clara terdengar sangat pelan dan penuh penyesalan karena telah menanyakan hal yang pahit kepada teman lamanya.

"Tak apa, kok! Hal itu seperti itu memang sudah biasa." sahut Meg santai. "Beruntung Fray dan Freddie telah dewasa. Jadi, mereka dengan mudah menerima perceraian kami."

"Oh ya, bagaimana dengan keadaan kedua anakmu?"

"Kau harus melihat kelima cucuku, Lucy! Mereka amat menggemaskan. Fray memiliki dua anak, sementara Freddy tiga. Jarak umur mereka tidak terlalu jauh. Cucuku yang paling besar berusia 7 tahun,  dan yang paling kecil 2 tahun. Kalau semua berkumpul di sini, bayangkan betapa ramainya kamar ini!"

Clara bermaksud untuk keluar dari kamar bernuansa hijau cerah itu. Ranjang yang ditata rapi di pojok ruangan, meja dan lemari yang terletak di samping ranjang bersandar ke tembok, jendela yang menunjukan pemandangan taman, semuanya begitu sederhana dan nyaman. Namun, ia lebih ingin keluar dan berjalan-jalan di sanatorium itu. Setelah meminta izin kepada mamanya dan Meg, gadis remaja itu berjalan ke arah pintu.

"Clara!" panggil Meg sebelum anak semata wayang temannya itu keluar. "Cobalah, berbicara dengan orang-orang di sanatorium ini! Selain tempatnya yang menyegarkan, mereka pun menyenangkan! Mungkin kau bisa berkenalan dengan seseorang setidaknya, dan menjadi temannya." Meg mengedipkan sebelah matanya tanda bersahabat kepada Clara. Dengan senyuman dan anggukan mantap, Clara menyahut, "Baik, Tante Meg! Hal itu pasti akan kulakukan."

Ia berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia ingin berkeliling-keliling di taman sanatorium itu terlebih dahulu. Menurutnya, tiada yang lebih menyegarkan di tempat ini selain berjalan-jalan kecil menyusuri jalan setapak taman luas itu. Ia menyenangi rumput halus dan bunga-bunga di taman itu. Terdapat berbagai macam bunga anggrek yang diatata rapi pada beberapa bagian di taman itu. Clara menyusuri taman itu dengan tenang dan senyuman, menyatakan betapa ingin dirinya mengenal orang--orang di sanatorium ini.

Seorang nenek terlihat sedang kesusahan berdiri dari kursi bangku taman itu. Seluruh beban tubuhnya, ia tumpukan pada tongkat di tangan kanannya itu. Clara bergegas mendatangi nenek itu dan membantu wanita tua itu berdiri, lalu berjalan. "Mari, Nek, biar kubantu!" katanya lembut.

"Terima kasih, gadis muda." Suara nenek itu pelan, sedikit serak, dan terdengar riang. Clara tersenyum melihat keriput-keriput wajah di bawah mata dan pipi nenek itu. Hal itu mengingatkannya kepada neneknya yang sudah tiada.

"Nenek mau ke mana?" tanyanya seceria mungkin.

"Ah, aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar lagi. Kemudian, aku akan kembali ke kamar dan membaca buku harianku sewaktu muda dulu." Nenek itu tertawa kecil. "Mengingat diriku yang sudah tua begini, ingin rasanya aku kembali muda seperti dulu."

"Mengapa?" Clara masih memegangi lengan nenek itu, membantu nenek itu berhati-hati dalam berjalan.

"Aku ingin melakukan hal-hal gila yang sewaktu muda belum sempat kulakukan. Tepatnya, aku kurang berani. Aku kurang mengikuti apa kata hatiku. Padahal, hal-hal itu tidak buruk, loh!"

"Hal-hal seperti apa itu, Nek?"

"Hmm... Seperti mengeriting rambutku, mengecatnya menjadi warna coklat biru gelap, bermain di pantai hingga larut malam, berselancar, menyelam... Ya. Aku ingin mencoba semua hal itu." Mata nenek itu menerawang ke depan dan untuk beberapa detik terpejam ketika berbicara mengenai mimpi-mimpinya yang belum tercapai.

Mereka memasuki pintu masuk gedung, meninggalkan taman yang diramaikan oleh suara kicauan burung di kala sore.

"Hal-hal itu terdengar menyenangkan. Kenapa dulu Nenek tidak berani?" Clara takut rasa keingintahuannya dianggap berlebihan, tetapi semasa nenek di sampingnya itu ingin berbicara, dia rasa tak ada salahnya bertanya seperti itu.

"Siapa namamu, gadis muda?"

"Clara. Nenek?"

"Panggil saja aku, Rain."

"Nenek Rain."

Nenek Rain menghela napas. "Dulu aku sangat ingin terlihat seperti gadis yang berpendidikan tinggi dan anggun. Maka, aku menghindari hal-hal yang terkesan sporty seperti itu." Dia terdiam. Langkahnya yang pelan-pelan telah membawanya sampai ke depan kamarnya. Clara pun mengetahui hal tersebut ketika Nenek Rain mengeluarkan kunci dari saku jaket yang dipakainya. Pintu terbuka. Mereka berdua masuk.

"Kau mau biskuit?" tanya Nenek Rain ramah. Clara menggelengkan kepalanya. "Terima kasih. Tidak usah, Nek."

Nenek Rain berjalan menuju ranjangnya. Ia duduk di tepi ranjang lalu mengisyaratkan Clara untuk duduk di sofa di samping ranjangnya. "Nah, Clara." Suaranya terdengar ceria dan menginginkan sesuatu. "Ceritakan padaku soal kehidupanmu akhir-akhir ini."

Pada awalnya, gadis remaja yang masih memakai seragam itu kebingungan. Ia tidak tahu harus memakai kata-kata apa, mulai dari mana, dan apa yang mau dikatakannya. Kemudian, matanya menangkap suatu lukisan di ruangan itu. Lukisan siluet dua tangan yang sedang bergandengan dilatarbelakangi matahari terbenam di lautan. Lukisan yang indah dan menggerakan hatinya seketika. Clara memutuskan untuk mulai dari situ.

"Aku ingin bergandengan tangan dengan orang yang kusukai." Entah bagaimana, hati Clara merasa terhibur melihat senyuman Nenek Rain yang mengembang.

Ceritanya berlanjut dan Clara tak menyadari betapa jauh ia telah bercerita sampai handphone-nya bergetar. Ia sangat menikmati saat-saat ini bersama Nenek Rain. Wanita setengah baya yang ternyata sangat hangat dan ramah itu telah menenangkan hatinya hingga ia dapat bercerita sebanyak mungkin. Mereka tertawa dan saling berbagi cerita. Clara tak menyangka ia dapat mengenal orang asing secepat ini. Namun, mamanya telah memanggil dari jauh sana melalui teleponnya.

"Maaf, Nek. Aku harus pergi sekarang." Clara sangat menyayangkan kepergiannya, dan ia berharap tak lama nanti ia bisa bertemu lagi dengan Nenek Rain. Mereka saling mengucapkan terima kasih, lalu Clara melangkah keluar ruangan.

Ketika ia keluar dari kamar Nenek Rain, ketika ia sedang menutup pintu itu, matanya menangkap sosok seorang cowok muda yang juga baru keluar dari kamar di seberang kamar Nenek Rain. Mereka berbalik badan bersamaan dan berhadapan untuk sesaat. Clara terkejut betapa mudanya dan tampannya cowok itu. Ketampanan yang menyiratkan suatu ketenangan di balik sebuah kelemahan. Tanpa disangkanya, cowok itu tersenyum memandang Clara. Gadis itu tersentak. Ia yakin usia cowok itu tidak jauh darinya. Apakah cowok muda ini adalah salah satu dari pasien di sini?

Clara membalas senyuman itu dengan sebuah pertanyaan. "Kau sering datang ke tempat ini?"

Cowok itu berdeham pelan, lalu melangkah bersamaan dengan Clara yang juga mulai melangkah. Keduanya berjalan berdampingan.

"Tidak. Kau?" Suaranya berat dan sedikit serak, tetapi juga lembut dan tenang.

"Baru pertama kali."

"Bagaimana menurutmu?"

"Aku sangat menyukai tempat ini."

Cowok itu hanya menangguk-angguk kecil. Pandangannya menerawang ke depan.

"Dan aku ingin sekali sering-sering datang ke tempat ini. Aku bertemu teman baru di sini, Nenek Rain. Dia orang yang baik dan menyenangkan." Clara bersuara, memancing cowok itu untuk berbicara lagi.

"Ya, dia orang yang ramah dan lembut. Aku juga senang berteman dengannya."

Clara menoleh ke arah cowok berkaus abu-abu lengan panjang dan bercelana jeans itu. "Kau juga berteman dengannya? Bukankah, katamu tadi, kau tidak sering datang ke tempat ini?"

"Kau sendiri, baru pertama kali datang dan bisa menyebutnya sebagai temanmu, kan?" Cowok itu menatap Clara dengan mata coklatnya yang sayu. Sekilas, gadis itu melihat kerinduan terpancar di mata cowok bertubuh jangkung yang berjalan di sampingnya sekarang ini.

"Tapi kurasa, dari nada suaramu, kau telah mengenal Nenek Rain cukup lama."

"Kau itu banyak berpikir, ya?" tanya cowok itu dengan tawa kecil.

Clara tak tahu harus menjawab apa. Baru kali ini ada orang asing yang mengatakan hal itu padanya. Mengatakan sekaligus menyatakan salah satu karakter dirinya. Banyak berpikir.

"Aku tinggal di sini."

Pernyataan cowok muda itu membuat jantung Clara berdegup lebih kencang. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasakan rangsangan itu. Rangsangan yang menyetrum dirinya dan membangkitkan sejuta pertanyaan di benaknya mengenai orang asing yang baru ia temui selama 5 menit itu.



Selasa, 19 Maret 2013

Langit 1 : Pembicaraan Hati

Entah sejak kapan perasaan suka itu mulai tumbuh. 

Clara telah bertekad bahwa selama menempuh pendidikan SMA, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta lagi. Namun, dirinya tidak menyangka bahwa perasaan kagum itu berubah menjadi perasaan suka, lalu tanpa tersadar, ia telah jatuh cinta. Hatinya sudah terpikat oleh ketampanan dan keceriaan wajah cowok bersenyum manis itu. Sungguh, Clara tidak menyangka kalau dirinya akan jatuh hati kepada Jason.

"Jason! Bangun!" teriak seorang guru Sosiologi yang sedang mengajar di depan kelas. Semua mata tertuju kepada cowok SMA yang sedang menidurkan kepalanya di kedua lengannya yang ditaruh di atas meja. Jason, dengan mata masih mengantuk, segera mendongak dan duduk tegap memandang guru perempuan itu dengan serius. "Maaf, Bu," katanya pelan. "Saya boleh cuci muka?" Guru itu membolak-balik buku yang dipegangnya  seraya menjawab pertanyaan Jason, "Jangan malah tidur, kamu, di toilet!"

Jason segera bangkit berdiri dan berlari keluar kelas diiringi dengan tawa kecil teman-temannya. Clara hanya menoleh ke arah cowok itu sebentar ketika badannya yang jangkung berdiri dari kursi. Jujur saja, Clara kurang menyukai sifat Jason yang mudah jatuh tertidur di kelas ketika cowok itu merasa bosan. Namun, di satu sisi, sikap Jason yang seperti itu mengingatkannya kepada Max. Max, teman semasa SMP-nya yang asyik, lucu, suka malas-malasan ketika pelajaran, cukup nakal, tetapi memiliki pemikiran yang tajam dan mendalam. Bagi Clara, dirinya telah salah karena telah mencampur adukkan Jason dan Max. Namun, pemikiran itu tak bisa ia hindari. Clara cenderung mengaitkan Jason dengan Max.

"Ra! Si Bu Shirley lagi menjelaskan apa, sih?" tanya Tasha, teman sebangku Clara. Clara yang sedang tidak terlalu memerhatikan pelajaran hanya menjawab seadanya. "Tentang pemikiran si Emile Durkheim. Lihat aja di halaman 127. Dia lagi bahas bagian itu daritadi." Dengan setengah mengantuk, Tasha mencari halaman 127 di bukunya.

Pikiran Clara mulai melayang kepada Max, satu-satunya cowok di masa SMP-nya yang telah mengunci hatinya. Pada saat awal Clara masuk SMA pun, hatinya masih terkunci untuk Max seorang. Gadis itu pun sendiri tidak tahu berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk melupakan Max, cowok yang ia cintai sepenuh hati, tetapi tidak bisa ia miliki. Dirinya mengerti bahwa hubungannya dengan Max tidak akan lebih dari sebatas teman baik. Baginya, bisa mengobrol bersama Max itu sudah cukup. Apalagi dengan situasi mereka sekarang yang tidak lagi satu sekolah. Masih dapat berkomunikasi dengan Max dan membicarakan banyak hal dengan cowok itu saja sudah lebih dari cukup. Clara telah belajar menerima hal itu, dan ia sudah sangat bersyukur akan hubungannya dengan Max itu ketika mereka berdua masih baik-baik saja.

Berbeda dengan masa awal masuk SMA, sekarang, di pertengahan SMA ini mereka sudah tidak pernah lagi berhubungan. Clara pun tidak mengerti apa yang membuat Max menjauh darinya. Sudah selama 2 tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Clara sangat ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Clara sangat ingin bisa berbicara dan mengobrol bersama cowok berpikiran luas dan arif itu. Namun, ia tetap mengurungkan niatnya itu semasa ia masih bisa memantau Max dan melihat cowok itu bahagia. Ia takut mengganggu kebahagiaan Max. Kadang-kadang, Clara mencari tahu keadaan Max lewat situ-situs jejaring sosial, melihat foto-foto Max, dan menyimpulkan bahwa Max baik-baik saja bersama pacarnya dan teman-teman sekolahnya. Meskipun pada awalnya sangat meyakitkan bagi Clara untuk mengetahui Max yang mulai berpacaran dengan seorang siswi lain, meskipun menerima segala curahan hati Max mengenai pacar cowok itu sangat melukai hati Clara, gadis itu tetap bertahan dan berhasil menyembunyikan perasaannya itu hingga ia benar-benar belajar dan mengerti apa arti dari 'mencintai tanpa harus memiliki'. Asalkan Max bahagia, Clara merasa sudah sangat bersyukur. Namun, tetap tak bisa dipungkiri bahwa tiada hari tanpa Clara memikirkan keadaan Max. Meskipun mereka telah beberapa bulan tidak berhubungan lagi, Clara tetap tidak bisa merelakan kepergian Max dari hari-harinya.

Pintu kelas dibuka, lalu masuklah Jason dengan raut wajah yang lebih segar. Matanya tidak menyipit lagi akibat mengantuk. Air mukanya tidak selemas tadi ketika cowok itu keluar. "Sudah segar?" tanya Bu Shirley kepada Jason sambil menaikkan kacamata di batang hidungnya. "Udah, Bu. Terimakasih!" jawab Jason riang. "Kebiasaan buruk seperti itu jangan terus dipupuk," sahut guru Sosiologi yang berumur 20an itu. "Lanjutkan lagi pelajaran. Semuanya, silahkan baca dulu halaman 130 sampai 142! Saya mau keluar sebentar."

Beberapa anak langsung berbisik-bisik. Ketika guru itu sudah keluar kelas, Jason bersuara keras, "Lama juga gak apa-apa, Bu!" Perkataannya itu dibalas oleh tawa beberapa temannya. Clara hanya menggeleng-gelengkan kepala meresponi tingkah Jason. Ia menunduk memandangi bukunya. Ia paling tidak suka disuruh membaca di kelas seperti ini. Menurutnya, membaca itu tugas di rumah dan di sekolah adalah waktunya mendengarkan penjelasan guru. Clara berusaha membaca, tetapi pikirannya beralih lagi kepada Max.

Bagi Clara, yang terpenting adalah kebahagiaan Max. Jika cowok yang disukainya itu bahagia, ia pun merasa cukup dan senang. Apapun yang cowok itu ingin bicarakan, Clara akan selalu menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun sikap Max kepadanya, Clara akan tetap menyukai cowok berkacamata itu apa adanya. Bahkan, salah satu alasan dirinya menyukai Max adalah karena keburukan dan kelemahan cowok itu. Max sangat berharga bagi Clara. Jika cowok menjauh darinya, tidak mau lagi berbicara dengan Clara, dan hal itu demi kebaikan Max sendiri, gadis itu akan tetap tegar menantikan kembalinya orang yang paling ia kagumi semenjak SMP itu. Jika Max bahagia, begitupun dengan Clara.

Ketika mereka masih sering mengobrol lewat jejaring sosial yang menyediakan layanan chatting, mereka berdua bisa membicarakan tentang apapun. Topik yang paling sering mereka bicarakan adalah kehidupan, kepercayaan, pertemanan, dan keluarga. Clara senang membicarakan hal-hal seperti itu, begitu pula dengan Max. Keduanya pun sering merahasiakan hal-hal yang cowok itu tidak bicarakan kepada pacarnya. Max pernah beberapa kali berkata bahwa hanya Clara-lah satu-satunya orang yang ia bisa ajak bicara mengenai hal-hal rumit itu dan dirinya sangat bersyukur memiliki teman yang berharga seperti Clara. Tidak ada kata lain selain 'bahagia' dan 'bersyukur' yang dapat menjelaskan perasaan gadis itu.

Pemikiran Max amatlah berbeda dengan remaja seumuran mereka. Sejak kelas SMP 1, cowok itu telah berpikir luas, tajam, dan detail. Max bisa mengungkapkan atau menanyakan hal-hal yang tidak para remaja umumnya pikiran mengenai dunia dan kehidupan ini. Semakin hari, dirinya semakin tinggi dalam berpikir. Bahkan, ia sendiri tidak menyadari bahwa apa yang ia tanyakan berhubungan dengan Filsafat. Pikiran-pikirannya sangat menunjukan bahwa ia mencari pengertian. Tidak ada orang lain selain Max yang senang berbicara mengenai hal-hal itu dengan Clara. Hingga saat ini, belum ada orang yang bisa menggantikan Max bagi gadis itu. Hingga saat ini, Clara belum menemukan orang yang berpikir dan bertindak seperti Max.

Clara tahu bahwa tidak mungkin menemukan orang yang sama seperti Max, atau bahkan melebihi cowok keturunan Belanda itu. Dia juga tahu bahwa adalah salah jika dirinya menjadikan Max sebagai titik acuan karakter cowok yang ia impikan. Namun, Clara masih belum bisa melawan kecenderungan hatinya untuk melihat kembali lembaran lama itu ketika mengenal seorang cowok lain. Maka, ia tak menyangka bahwa pada pertengahan SMA ini, hatinya mulai cukup terbuka untuk mengakui bahwa ia telah jatuh hati kepada cowok lain, yaitu Jason.

Apa yang membuat Jason menarik perhatiannya adalah kepribadian cowok itu. Meskipun Clara tetap tidak bisa melupakan cinta lamanya, Max, bukan berarti dirinya tidak bisa tertarik kepada orang lain. Mungkin pada awalnya, Clara berpikir bahwa dia akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan orang yang seperti Max. Namun setelah mengenal Jason, Clara melihat bahwa karakter cowok bermata coklat itu mirip dengan Max. Lama-kelamaan, setelah beberapa lama Clara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri mengapa ia bisa mengagumi Jason, dirinya mencapai sebuah kesimpulan. Jason adalah orang yang menyenangkan, kekanak-kanakan sekaligus dewasa, tahu kapan harus serius dan kapan boleh melawak, terkesan cuek padahal memiliki sisi kepedulian yang amat lembut, cukup berinisiatif, dan menolong tanpa pamrih. Karena semua hal itu, Jason memikat hati Clara.

Clara menghela napas. Ia merasa bodoh karena telah membiarkan dirinya dikacaukan oleh pemikiran-pemikiran asmara  ketika pelajaran di kelas sedang berlangsung. Ia kesal dengan dirinya sendiri yang tak bisa fokus sepenuhnya pada jam-jam pelajaran. Meskipun nilai-nilainya tergolong baik, ia tahu pasti bahwa dirinya dapat mencapai nilai yang lebih tinggi lagi daripada yang ia telah capai sekarang. Hal itu ia yakini karena ia tahu dirinya memiliki kemampuan lebih dari yang ia telah gunakan. Orang tuanya menuntutnya untuk menjadi lebih baik lagi karena memang benar bahwa Clara telah banyak menyia-nyiakan kemampuannya. Seringkali, Clara merasa kesal akan dirinya yang juga cinta kemalasan selain suka berpikiran terlalu banyak.

-----

Bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak langsung berhamburan keluar dari ruang kelas setelah bersama-sama setelah berdoa pulang. Clara masih dengan tenang membereskan barang-barangnya. Ia tidak terlalu bersemangat untuk pulang hari itu. Entahlah, ia sedang merasa kurang semangat untuk segala sesuatu pada hari itu.

Tiba-tiba, sebuah suara yang rendah dan tegas, tetapi juga terdengar ringan, memanggilnya. "Clara!" Tersentak, Clara menoleh dan melihat Jason sedang berjalan menghampirinya. Jantung gadis itu berdegup lebih cepat, dan dirinya mulai berusaha untuk bisa mengendalikan diri. "Kenapa?" tanya Clara dingin kepada Jason yang sudah tiba di hadapannya. Sambil tetap membereskan barang-barangnya, Clara berusaha untuk terkesan cuek di hadapan cowok yang disukainya itu. Entah mengapa, setiap kali bersama Jason, diri Clara cenderung cuek hingga terkesan tidak peduli terhadap cowok itu.

"Rapat OSIS hari ini jadi, gak? Gue sepertinya harus pulang cepat, nih! Sorry banget, ya!" Raut wajah Jason segera berubah. Cowok itu tersenyum, sekaligus mengerutkan alisnya tanda sedikit merasa bersalah.

"Oh. Oke. Yaudah, nanti gue beri tahu lu apa aja yang diomongin hari ini," sahut Clara santai dan dingin. Gadis itu pun berbicara tanpa memandang Jason. Ia berbicara seraya mengambil tas bekalnya yang tergeletak di lantai.

"Oke, deh! Thanks ya, Clar! Gue pergi duluan, ya!"

"Bye, bro!"

Clara mendesah. Itulah yang ia juga tidak sukai dari Jason, diri cowok itu yang kurang bertanggung jawab. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, menghalau rasa kesal itu. Padahal, dulu, Max juga bukan anak yang bertanggung jawab untuk masalah tugas-tugas sekolah. Namun, Clara malah jatuh hati kepada Max karena alasan itu juga. Setelah dipikir-pikir, Clara memang belum bisa menyukai orang lain seperti ia menyukai Max. Masih saja ada hal-hal yang tidak bisa ia terima dari Jason. Masih saja ada hal-hal yang membuatnya meragukan kembali perasaannya kepada Jason. Apakah benar ia menyukainya? Mungkin, ia memang cenderung menyukainya, tetapi hal itu bukan berarti ia benar-benar menyukai Jason, bukan?

Rapat OSIS hari itu berjalan dengan baik. Ia pulang bersama dengan beberapa anak anggota OSIS lainnya. Sebelum menuju rumah masing-masing, mereka mampir di toko buku sebentar untuk melihat-lihat. Clara sangat menikmati waktu kebersamaan dengan teman-temannya di luar pelajaran seperti ini. Ia ingin menghabiskan masa remajanya sebaik mungkin. Bukan bersenang-senang sesuka-sukanya, melainkan sebisanya menyeimbangkan nilai-nilai pelajaran yang baik dengan pergaulan yang baik. Ada waktu untuk belajar, ada waktu untuk berkumpul bersama dengan teman-teman. Clara tahu betul bahwa hal demikian sangat sulit dilakukan karena sebagai remaja atau anak muda, dirinya pasti cenderung lebih ingin bersenang-senang lebih lama. Namun, semua itu dia turut sebisanya kendalikan melalui ikut aktif berorganisasi yang juga ia gemari.

Sesampainya di rumah, Clara belajar untuk ulangan esok harinya. Sebelum tidur, seperti biasa, pikirannya sempat melayang kembali kepada Max. Bagaimana keadaan cowok itu? Clara menepuk-nepuk kepalanya sendiri, mengingatkan bahwa dia harus berhenti memikirkan cowok itu. Kemudian, pikirannya beralih kepada Jason. Sebenarnya, pemikiran Jason itu sedewasa dan sedalam apa? Apakah dirinya bisa mengenal Jason lebih jauh seperti ia mengenal Max dulu? Apakah dia bisa mengobrol dengan Jason sebebas ia mengobrol bersama Max dulu?

"Ya ampun, apa gak ada hal lain, ya, yang bisa gue pikirkan? Gue kesel dan malu sendiri memikirkan hal-hal seperti itu. Padahal, seharusnya gue lebih fokus memikirkan nilai-nilai dan pendidikan masa depan gue nanti!" Clara menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Dia telah mengetahui jurusan apa yang ia akan ambil sewaktu kuliah nanti. Dia sudah yakin dirinya ingin menjadi apa. Dia sudah merencanakan dirinya ingin menjadi seorang yang bagaimana. Namun, semua hal itu masih sangat sulit untuk dicapai dan ia tahu betul bahwa dirinya masih jauh dari menjadi pribadi yang ia impikan. Hal tersebut diperburuk dengan dirinya yang akhir-akhir ini lebih sering memikirkan tentang kedua cowok itu.

"Gue harus bisa mengendalikan pikiran dan emosi gue untuk tidak terlalu banyak memikirkan hal-hal tentang cowok seperti itu. Fokus, Ra! FOKUS!" Clara menggigit bibirnya. "Lu bisa belajar lebih giat daripada yang sekarang lu lakukan, Ra! Jadilah, lebih rajin! Lu itu udah diberi kemampuan yang bagus! Jangan lu sia-siakan! Demi membanggakan orang tua dan masuk kuliah dengan mudah, Ra! Jangan biarkan pikiran lu terlena oleh asmara-asmaraan gak jelas begitu! Malu, La! Bego banget sih, lu! Fookkuuss, Clara! Lebih baik lu memikirkan bagaimana caranya mengatasi kemalasan lu, baca koran, dan lain-lain yang lebih berguna daripada memikirkan cowok! I really hate myself that keeps thinking this way! Why can't I stop thinking about those two boys who have successfully ruined my mind? I'm such an idiot!"

Ia merasa kacau dan malu, sekaligus muak dengan pikirannya yang tak pernah tidak ditempati dengan pemikiran soal Max dan Jason. Senjata andalannya ketika ia sedang berpikir dan sendirian adalah berbicara sendiri. Ya, seperti pada malam ini, ia berbicara sendiri.

"Oh, God. I'm sick of this. I'm sorry." Clara terdiam. Beberapa detik kemudian, ia menghela napas. Tak terasa, setetes air mata telah mengaliri pipinya. "I just really miss Max. I really want him back. I really wish we could be like we used to."

Berbicara sendiri, mengungkapkan apa yang ia telah ia bicarakan dan gumulkan di dalam hati.