Ketenangan di balik sebuah kelemahan.
Daniel. Rambutnya hitam acak-acakan. Tubuhnya jangkung dan sedikit kurus, seperti cowok-cowok Jepang di komik. Jari-jemarinya panjang seperti seorang pianis. Kulitnya putih pucat. Matanya berwarna coklat dan menyorotkan sinar kehidupan di ambang keraguan. Air mukanya tenang dengan sedikit unsur mencari sebuah sukacita. Senyumnya pun terlihat seperti mencari celah akan keceriaan yang murni dapat ia akui. Suaranya sedikit serak dan berat, tetapi terdengar lembut dan menenangkan. Warna suaranya mewakili setiap warna peralihan dari gelap ke terang. Gaya berjalannya tegap, tetapi langkahnya terkesan sedikit berat menandakan keraguan. Ketika sedang berjalan sambil berpikir, kepalanya sedikit tertunduk.
"Dongeng apa yang paling kau suka ketika kecil dulu?"
Clara menyunggingkan senyumnya ketika mendengar pertanyaan pemuda yang 2 tahun lebih muda di sampingnya itu. Pandangan matanya masih tertuju kepada langit yang dihiasi oleh awan-awan putih yang bergumpal, berkumpul seperti permen kapas. Benaknya kembali memutar peristiwa masa kecilnya ketika dia berlutut dan berdoa agar Tuhan mengabulkan permintaannya yang menginginkan seorang peri kecil.
"Peter Pan."
"Anak cowok yang bisa terbang dan tak pernah menua itu?"
"Ya. Tak jarang ketika malam sebelum aku tidur, aku mencari bintang yang paling berkilau di langit. Aku sangat berharap Peter Pan akan datang dan membawaku ke Neverland." Jeda sejenak, Clara menggigit bibirnya. "Sewaktu kecil, aku sangat ingin bisa terbang. Aku sempat percaya pada keajaiban peri. Debu peri yang memampukanmu terbang hanya dengan menaburkannya ke tubuhmu, lalu pikirkan hal-hal manis yang menyenangkan... Ya, aku sangat mengharapkan hal itu nyata."
"Hal bodoh apa yang kau lakukan karena itu?" Nada suara Daniel sedikit mengejek, tetapi sepenuhnya bercanda. Gadis yang berbaring di sampingnya pun tertawa kecil dan tersipu malu.
"Ada satu yang paling bodoh. Aku menggambar seorang peri kecil, mungil seperti Tinker Bell. Kemudian, aku berlutut dan berdoa hingga mengucurkan air mata, memohon kepada Tuhan untuk menghidupkan peri itu." Tawanya meledak. "Oh, aku merasa bodoh sekali."
Tawa Clara pun diiringi dengan tawa Daniel yang menunjukkan suatu perasaan tidak percaya, tetapi juga tak heran dengan ulah anak kecil yang telah termakan oleh dongeng dan imajinasi.
"Jujur, deh! Aku ingin sekali terbang menuju langit. Aku ingin menembus awan-awan itu, merasakan lapisan tipis udara itu menerpa kulitku. Bahkan, aku pernah beberapa kali mimpi bisa terbang hanya karena meloncat-loncat tinggi beberapa kali. Mimpi itu terasa begitu nyata dan merupakan salah satu dari mimpi terindahku. Menyedihkannya, aku hanya bisa terbang di halaman rumahku, tak lebih tinggi dari pohon palem di sana. Bahkan, tak melewati atap rumahku sama sekali."
Daniel melunakkan tawanya. Ia tersenyum seraya berkata, "Aku juga ingin terbang."
Mereka berdua terdiam. Ditaungi oleh rindangnya pohon, mereka berbaring di rerumputan pada sore hari, merasakan halusnya rumput-rumput kecil yang biasa dipijak banyak orang, memandang langit sore yang bernuansa biru bebercak ungu dan merah muda bercampur jingga, serta menikmati kicauan suara burung gereja di kala sinar matahari menyurut menyilakan bulan mengambil alih langit malam. Betapa menenangkan dan menyenangkan bagi kedua jiwa yang mulai mengenali satu sama lain itu.
"Daniel, boleh aku bertanya sesuatu yang lebih pribadi?" Suara Clara terdengar berhati-hati.
"Boleh. Sesuai perjanjian kita tadi, aku akan menjawab apapun pertanyaanmu itu sejujur-jujurnya."
Clara berdeham. Mendengar suara cowok muda yang berhati lembut di sampingnya itu, ia memantapkan suaranya. "Hal apa yang paling kau takuti sejak kecil?"
Daniel terdiam untuk beberapa saat. Matanya yang memantulkan pemandangan langit sore itu menutup. Ia memejamkan matanya untuk sesaat, menarik napas, membuka matanya kembali, lalu menjawab, "Aku takut tidur. Aku takut tertidur."
Serentak, Clara menoleh ke arah cowok di sampingnya itu. Entah mengapa, pikirannya langsung tertuju kepada kematian, bukan monster atau hantu yang biasanya anak kecil takuti ketika mau tidur. Dengan suara pelan dan hati-hati, Clara bertanya, "Apakah kau takut sesuatu merenggut jiwamu?"
"Aku takut tidak bernapas lagi ketika aku tidur dan untuk seterusnya." Jeda sejenak. "Aku takut kalau aku tak akan bangun lagi." Daniel mengangguk, pandangannya masih tertuju kepada langit sore yang telah berubah menjadi merah kejinggaan. "Ya, aku takut sesuatu merenggut jiwaku. Aku takut kematian mendatangiku sebelum aku meraih langit."
Hati Clara langsung menyiut, ia tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak ingin memulai alunan melodi yang telah sarat oleh luka pada sore hari seperti ini. Kata-katanya langsung tenggelam seribu meter di tengah lautan. Perasaannya tenangnya tadi langsung bercampur aduk dengan kesedihan, penyesalan, dan khawatir setelah mendengar jawaban Daniel. Tanpa keraguan, Clara menggerakkan tangan kanannya dari atas perut menuju tangan Daniel yang berbaring di sebelah kanannya. Ia menaruh jari jemarinya di atas telapak tangan cowok muda itu. Dengan lembut, ia menggenggam tangan Daniel. Kedua tangan mereka merasakan belaian rumput-rumput kecil taman sanatorium itu.
Di luar dugaan Clara, Daniel membalikkan tangannya, lalu cowok itu menautkan jari-jemarinya dengan jari-jemari Clara, menggenggam tangan gadis itu erat-erat. Kemudian, secara bersamaan mereka menoleh kepada satu sama lain. Mata Clara menyiratkan suatu penyesalan, kekhawatiran, dan kesedihan, sementara mata Daniel menyorotkan suatu kehangatan dan ketenangan di balik kekhawatirannya. Keduanya berpandangan selama beberapa saat.
"Tak apa." Suara Daniel terdengar pelan dan bertujuan menentramkan hati gadis di sampingnya itu. Clara tersenyum sedikit, benaknya kembali pada lukisan yang ia lihat di kamar Nenek Rain seminggu yang lalu. Kedua tangan yang bergandengan dilatarbelakangi matahari terbenam.
-----
Pertemuan pertama mereka itu tak akan ia lupakan seumur hidupnya. Clara sangat yakin akan hal itu. Bahkan, ia masih ingat percakapan awal mereka yang berujung pada mengetahui nama satu sama lain. Semuanya begitu tak terduga. Hari itu adalah hari yang memoleskan warna baru, warna asing di kanvas kehidupannya.
Beginilah, lanjutan dari pertemuan pertama mereka seminggu lalu.
"Aku tinggal di sini."
"Bagaimana perasaanmu?"
"Bosan. Luas. Tenang. Dinamis."
Clara terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Coba saja kau bayangkan, tinggal di tempat ini selama bertahun-tahun. Saat-saat pulang dan tinggal di rumahmu sendiri, kau bisa hitung pakai jari. Ditinggalkan oleh beberapa orang yang telah kau kenal baik menjadi hal yang sudah biasa. Walaupun begitu, kesedihan itu tetap saja melanda dan merengkuh hatimu setiap kali misteri itu datang. Setiap hari, ada saja bunyi gemuruh risau dan tergesa-gesa beberapa perawat menuju seorang pasien. Namun, di samping semuanya itu ada ketenangan dan kesegaran yang tertata rapi di tempat ini."
Mereka telah sampai di depan kamar Tante Meg. Clara ingin undur diri, tetapi timbul suatu keinginan untuk dapat berbicara dengan cowok yang baru ditemuinya itu lebih lama lagi.
"Maaf, aku..."
Tiba-tiba pintu kamar seberang terbuka, seorang kakek keluar dengan tatapan tertuju kepada cowok di hadapan Clara. "Daniel! Mari, masuk! Kita main catur, ya?"
Segera saja cowok itu menoleh, Clara hadapannya langsung mengetahui nama cowok jangkung di hadapannya itu. Daniel.
"Oh, oke, Pa Joe. Tunggu sebentar, ya." Suaranya begitu santai dengan senyuman menyambut ajakan kakek yang dipanggilnya 'Pa' itu. Tanpa disangka gadis itu, Daniel menoleh ke arahnya. Mata yang tajam itu menatap ke arah mata hitam bening Clara. "Aku pergi dulu." Ia menghela napas. "Semoga, kita bisa bertemu lagi." Mata Clara membulat, ia tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut pemuda berwajah langit abu-abu itu.
Clara mengangguk pelan. "Ya, aku juga." Tiba-tiba, pintu kamar Tante Meg terbuka. "Clara? Mengapa tidak masuk?" Suara mamanya terdengar bertanya-tanya, mungkin karena melihat seorang pemuda bersama gadis itu. Clara menoleh dan menemukan mamanya telah membawa tas, bersiap-siap mengucapkan selamat tinggal kepada teman lamanya. Tante Meg berdiri di belakang mamanya dan tersenyum sopan kepada Daniel.
Daniel memandang kedua wanita itu, lalu membungkuk sedikit menandakan rasa hormat. Kemudian, tatapannya beralih ke Clara untuk sesaat. Mata mereka bertemu. Tak lama setelah itu, Daniel sudah melangkah pergi menuju kamar Pa Joe.
Clara tak ingin pergi dari tempat itu.
-----
Semenjak pertemuan mereka hari itu, Clara memutuskan untuk sering-sering mengunjungi sanatorium. Ia meminta izin dan memohon kepada mamanya dengan air muka yang menyiratkan kesungguhan dan kerinduan. "Aku mohon, Ma. Izinkan aku kembali lagi ke sanatorium itu. Aku menyukai tempat itu. Aku menghargai tempat itu. Aku ingin mengenal mereka lebih lanjut. Aku tak ingin kehilangan teman yang tak akan pernah kutemukan lagi di lain hari nanti. Kumohon, Ma."
Dari sorot mata Clara pun, Lucy bisa melihat kesungguhan anaknya itu. Ia dapat melihat Clara yang dengan sepenuh hati mengartikan setiap kata yang diucapkan gadis berumur 16 tahun itu. "Apa jaminannya? Apa yang harus mama pegang dari permintaanmu itu?"
"Aku janji Ma, keinginanku ini tidak akan mengganggu nilai-nilai mata pelajaran di sekolah sama sekali. Aku janji tidak akan pulang hingga larut malam. Aku mohon. Aku tidak akan ke mana-mana selain ke sanatorium."
Setelah beberapa jam berlalu, setelah beberapa pertimbangan dipikirkan, Lucy mengizinkan anaknya itu untuk pergi ke sanatorium paling banyak tiga kali selama lima hari sekolah. Baginya, tidak ada salahnya jika anak gadis itu belajar mengetahui kehidupan di lingkungan yang selama ini tak pernah didiaminya. Sanatorium itu pun bukan lingkungan baru yang buruk bagi Clara. Bahkan, Lucy yakin dan berharap agar anaknya itu dapat belajar banyak mengenai kehidupan di tengah-tengah orang yang tidak sesehat dirinya itu.
"Clara, jangan lupa. Alasan utama mama memperbolehkanmu sering-sering mengunjungi sanatorium itu adalah agar kau dapat belajar lebih banyak soal hidup. Mama ingin kamu melihat beragam ekspresi dan pemikiran mereka untuk bertahan. Mama ingin kamu belajar lebih menghargai hidup. Menurut mama, keinginanmu tidak buruk." Senyum Lucy mengembang, mengartikan sesuatu. "Pergi ke sanatorium? Mama rasa, jarang ada seorang gadis remaja yang ingin mengenal mereka lebih dalam lagi."
-----
Pertemuan kedua dan ketiga dirinya dengan Daniel begitu merombak semua hal yang dibayangkan Clara selama ini. Ibarat sebuah bibit kecil yang baru ditanam di dalam tanah dan diberi pupuk, itulah pertemuan kedua mereka. Ibarat sebuah bibit yang bertunas, lalu berakar, akar itu tubuh menjalar dan merambat dengan cepat, itulah pertemuan ketiga mereka.
Pada kali kedua Clara mengunjungi sanatorium, dirinya sangat senang sekaligus bingung. Ia sangat senang bisa menghirup keasrian tempat itu, bertemu dengan Tante Meg, Nenek Rain, dan Daniel. Namun, ia juga bingung untuk memulai percakapan dengan teman-teman barunya itu, terutama dengan Daniel. Sejujurnya, pemuda itulah yang paling mendorongnya untuk segera mengunjungi sanatorium itu lagi.
Dengan Nenek Rain, ia bercakap-cakap.
"Nek, kurasa aku akan sering-sering datang ke tempat ini."
"Benarkah? Kau senang dengan tempat ini?"
"Sangat. Aku sangat menyukai keadaan di sini. Namun kurasa, itu karena aku baru mengenali ketenangan dan kesegarannya saja. Selain itu, mengenal Nenek yang begitu ceria dan ramah, aku juga sangat menikmatinya. Kau seperti Nenekku."
Nenek Rain terkekeh pelan. "Ada-ada saja kau. Terima kasih, cantik. Menurutku, kau akan memperoleh yang sangat berharga dari mengenal tempat ini."
Clara mengangguk mantap. "Ya, aku yakin begitu. Aku harap begitu. Tapi..."
"Aku tahu. Bukan itu saja, kan? Kau memiliki alasan lain yang mendorongmu ingin datang ke tempat ini lagi."
Gadis muda itu terdiam, ia memandangi bunga-bunga bougenville yang bergoyang kecil tertiup hembusan angin. "Ya. Ada."
"Siapa dia?"
Clara tersipu malu. Mengingat wajah serius Daniel, ia tersenyum. "Nenek tahu?"
"Daniel adalah pemuda yang baik. Hatinya lembut. Dia dapat membuat orang lain merasa tenang dan senang. Namun, ada keraguan dan kekhawatiran di dalam dirinya sendiri. Dia memang berbeda. Tak ada salahnya kalau kau ingin mengenalnya lebih jauh. Kusarankan, kau harus."
Perkataan Nenek Rain didengarnya dengan serius. Hatinya terhibur oleh senyum wanita berumur genap 70 tahun itu yang menuruhnya pergi menemui Daniel setelah mereka berbicara sekitar setengah jam.
Pintu itu tertutup rapat. Kamar Daniel tepat berada di seberang kamar Nenek Rain. Clara menarik napas dalam-dalam. Ia memberanikan diri mengetuk pintu itu.
"Masuk." Terdengar suara dari dalam ruangan. Suara Daniel, ujar Clara dalam hati.
Pintu dibukanya, tampaklah Daniel yang sedang duduk di dekat jendela memandang taman sanatorium. Sinar matahari menyinari rambut hitamnya, dan sebagian wajahnya. "Hai, Daniel," sapa Clara setenang mungkin.
Daniel terkejut. Matanya membelalak, lalu ia menoleh ke arah pintu. Melihat Clara, gadis muda yang ditemuinya tempo hari, membuatnya bangkit dari duduknya dan berjalan mendatangi sosok yang sedang berdiri dan tersenyum ragu-ragu di ambang pintu itu.
"Kau... Kau datang?" tanya Daniel tidak percaya.
Clara menunduk, ia berusaha keras menyembunyikan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya ingin... Aku kira..." Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Aku senang sekali. Aku sudah menunggumu."
Perkataan itu mengejutkan hati Clara. Sekali lagi, dirinya kembali serasa tersetrum oleh kata-kata Daniel yang singkat dan padat itu. Hatinya berdebar-debar. Ia mendongak dan melihat Daniel yang tertunduk menatapnya. Mata cowok itu memandangnya dengan lembut. Senyum manis terpampang di wajah berkulit putih pucat itu. Di hadapannya, cowok itu terlihat lebih tinggi dari sebelumnya. Tinggi Clara hanya sedada Daniel. Gadis itu menelan ludah.
"Selamat sore."
Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Clara. Selanjutnya, Daniel lah yang mengajaknya masuk dan memulai perbincangan mereka. Tak lama kemudian, cowok itu mengajak gadis yang telah menjadi temannya itu berjalan-jalan di taman. Sekali-kali mereka saling terdiam menikmati kesunyian di antara dua jiwa muda itu. Tak jarang mereka tersenyum ketika berbicara pada satu sama lain.
Pertemuan kedua itu menandakan hal yang baik untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya. Bibit yang tertanam itu dengan cepat bertunas, berakar, dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang mengarah pada matahari.
-----
Daniel berbaring sendirian sendirian di kamar itu, kamar yang telah ditempatinya selama dua tahun terakhir. Matanya memandang langit-langit ruangan, ia telah berbaring selama 2 jam tanpa bisa tahan memejamkan mata lebih dari 10 menit. Kemudian, ia menoleh ke arah jendela, memandang langit malam. Ia telah memaksakan dirinya untuk tidur, tetapi tidak bisa. Ia takut.
Setiap sebulan hingga dua bulan sekali, kakek-neneknya mengunjungi dirinya dengan membawakan buah-buahan dari hasil kebun mereka. Daniel sangat senang ketika hari-hari itu datang, di mana ia bisa berkumpul kembali bersama sepasang suami istri yang telah dengan sabar, setia, dan penuh kasih sayang merawatnya semenjak dirinya berusia 9 tahun. Mereka berbincang-bincang, bercerita-cerita, berbagi tawa dan keluh kesah serta harapan. Namun, sebahagia apapun saat-saat itu, Daniel masih belum bisa menemukan langit biru nan cerah yang hilang semenjak kepergian kedua orang tuanya.
Awan gelap yang menggulung di hatinya itu telah lama memudar selama lima tahun terakhir, tetapi tetap saja langit itu tak kembali cerah. Langit itu tetap mendung dan sesekali menurunkan hujan, yaitu ketika Daniel tak kuasa menahan kekhawatiran dan kesedihan yang membebani hatinya. Ia mulai menangis pada saat-saat itu. Tentu saja, ia menangis sendirian di kamarnya di kala malam menidurkan orang-orang di sanatorium. Meski sudah sangat jarang ia menangis terisak, beban di hatinya tetap terasa sama beratnya ketika ia hanya meneteskan air mata. Ia sangat berharap untuk menemukan dan mendapatkan langit cerah itu. Ia sangat ingin menemukan dan merasakan kehangatan langit itu lagi.
Semenjak tiga hari yang lalu, Daniel mulai susah tidur. Ia takut. Ketakutan itu kembali datang, tetapi kali ini dengan alasan yang berbeda. Ia takut kalau tiba-tiba ketika ia tidur, kelemahan yang menggerogoti kesehatannya itu kambuh dan menarik jiwanya lebih dekat menuju kematian. Ia takut dirinya tidak akan bangun lagi. Kali ini, ketakutan itu bukan muncul karena ia tidak ingin mati sebelum menemukan dan merasakan langit itu lagi. Kali ini, alasannya berbeda. Ia takut karena ia telah menemukan langit itu. Ia takut karena ia sangat ingin tetap hidup untuk mengenal, merasakan, dan memiliki langit yang telah ditemukannya kembali itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar