Rabu, 20 Maret 2013

Langit 2 : Teman Baru

Matahari bersinar terik di angkasa. Awan-awan putih yang tersebar seperti kapas-kapas putih di tengah langit biru menghiasi siang itu. Meski terik matahari siang itu sungguh menyengat kulit, Clara dan beberapa temannya dengan semangat bermain basket di kala jam pelajaran Olahraga mereka. Begitulah akibat ulah manusia, suhu Bumi terus meningkat, panas matahari semakin membakar hari-hari di Bumi. Clara sangat kesal akan hal itu, tetapi ia juga mengakui bahwa dirinya bagian dari penyumbang pemanasan global itu.

Dirinya merasa lelah. Pelipisnya telah dialiri oleh peluh keringat. Napasnya terengah-engah. Kedua matanya terus menyipit akibat tersengat silau sinar sang raja siang. Namun, sebagian dari dirinya masih merengek belum mau berhenti bermain karena dengan bermain basket, benaknya kembali berjalan mundur mengingat masa lalu. Masa lalu, masa-masa SMP. 

"Ra!" Bola melambung tinggi berkat lemparan Jane ke arah Clara. Clara menangkap dan segera men-dribble bola tersebut ke arah ring. Dua orang dari tim musuh langsung mengahadangnya. Gadis itu melirik ke kiri dan kanan, mencari seorang teman, lalu matanya menangkap keberadaan Tasha yang berlari agak jauh di sampingnya, di belakang musuh. "Sha!" Clara mengoper bola ke arah Tasha. Dengan gesit Tasha membawa bola itu menuju ring dan mencetak skor untuk timnya. Clara tersenyum dan bersorak untuk teman baiknya itu. 

Satu menit lagi. Waktu bermain hanya tersisa satu menit lagi. Waktu yang singkat.

Ketika dirinya men-dribble bola hasil rebutan dari musuhnya, beberapa gambar masa lalu  muncul di benaknya secara tiba-tiba dan membuyarkan fokus Clara. Gadis itu senang sekaligus sedih untuk membiarkan gambaran-gambaran masa lalu itu bermunculan di benaknya. Ia masih ingat dan samar-samar bisa mendengar suara tawa Max yang terus menghantui pikirannya selama mereka belum pernah bertemu lagi. Suara tawa itu, suara yang menggembirakan dan ringan. Ia masih ingat betul raut wajah Max saat tersenyum. Bagaimana cowok itu berlari men-dribble bola basket, melompat, dan memasukkan bola yang melambung tinggi itu ke ring, semuanya masih segar di dalam ingatannya seperti baru terjadi kemarin. Ia senang tidak melupakan temannya yang sangat berarti di dalam hidupnya itu, tetapi ia juga sedih tidak bisa menghilangkan bayang-bayang cowok itu dari pikirannya.

Peluit dibunyikan. Waktu bermain telah selesai.

Anak-anak perempuan yang telah letih bermain itu berjalan ke arah tempat duduk di pinggir lapangan. Mereka meneguk minum mereka masing-masing dengan nikmatnya. Keringat membasahi tubuh dan kepala mereka. Beberapa dari mereka berkeringat berlebihan, seperti Clara dan Tasha yang dialiri oleh peluh keringat dari dahi hingga dagu. Clara duduk di samping Tasha, lalu mereka mulai mengobrol.

"Aduh dunia, siang ini panas banget!" gerutu Clara.

"Memang, nih! Serasa kebakar."

"Ini nih, efek pemanasan global semakin parah. Angin yang bertiup pun membawa debu-debu jalanan. Lengkap sudah, berkeringat, bau, dan debu-debu menempel di kulit yang lembap. Semakin dekil deh, kita! Hitam!"

Tasha hanya tertawa mendengar ocehan sahabatnya itu. "Tidak apa-apa. Hitam itu seksi, Ra!"

Clara tertawa sedikit, lalu ia menghela napas dan terdiam. Tasha mulai mengobrol dengan Anna yang duduk di sebelahnya. Karena tidak sedang ingin berceloteh ria bersama teman-temannya, Clara memutuskan untuk diam seraya menonton permainan futsal anak laki-laki di lapangan sebelah para anak perempuan duduk-duduk.

Bagaimana dengan nilai-nilainya? Baik, cukup baik dan stabil. Tak jarang ia menjadi guru bagi teman-temannya. Ia sangat mengerti bahwa ia harus menjaga nilai-nilainya agar tetap baik dan stabil untuk membanggakan orang tuanya dan memupuk rasa tanggung jawab dalam dirinya sendiri. Gadis itu telah diberi kecerdasan dan kemampuan oleh Tuhan, ia tidak berhak menyia-nyiakannya begitu saja. Hanya kemalasan yang harus dilawannya. Bagaimana dengan mimpinya? Impiannya? Cita-citanya? Lumayan. Bagi remaja seumurnya, Clara tergolong sebagai anak yang sudah mengetahui apa yang ingin dia lakukan di masa depan nanti secara terperinci, menjadi apa, untuk apa dan siapa, dan berniat mencari tahu serta menelusuri mimpinya itu lebih lanjut. Bagaimana dengan keluarganya? Baik. Cukup baik. Tidak ada masalah besar sepertinya, karena gadis itu selalu melihat ke arah keluarga Max yang ia tahu, cukup mengkhawatirkan. Clara sudah sangat bersyukur akan keadaan keluarganya sekarang yang berkecukupan, jarang bertengkar serius antarsatu sama lain, dan hanya ada sedikit cekcok pandangan antara dia dengan orang tuanya. Bagaimana dengan... Clara berusaha menghindari topik itu dari pemikirannya. Namun, tetap saja bisikan-bisikan kecil hatinya merambat ke benaknya.

Bagaimana dengan kehidupan cintanya? Jujur saja, Clara sangat ingin memiliki seorang pacar di SMA ini. Seseorang yang dicintainya dan mencintainya apa adanya. Bah! Cinta? Apakah benar dia telah mengerti tentang cinta? Seberapa dalamkah anak SMA mengerti soal cinta? Mungkin hanya tahu, tetapi tidak mengenal apa sebenarnya 'cinta' itu. Clara tersenyum sedikit. Senyum yang mengolok-olok dirinya sendiri. Apa tahumu soal cinta, Clara? Kau hanya suka memimpikan hal yang manis tanpa ingin mengambil yang pahit untuk dilalui. Padahal, kau lebih sering tercemplung ke dalam hal yang pahit. Cinta? Masih jauh! Mungkin kau akan menemukan dan mendapatkan cinta sejatimu pada saat kuliah nanti, atau mungkin saat kerja nanti. Bersabarlah, Clara. Hanya bukan sekarang, kurasa. Clara berbicara di dalam hati.

"Ra! Mau main lagi, gak?" ajak Vina yang dengan semangat bangkit berdiri untuk menyambut ronde kedua. Clara, gadis berambut hitam selengan itu hanya menggeleng pelan. Entah mengapa, ia merasa sangat lelah pada hari itu. Beberapa siswi bergabung bermain futsal bersama beberapa siswa, sementara sebagian siswi lainnya menonton dan bersorak meramaikan suasana. Sekali-sekali Clara berteriak, hanya untuk meluapkan rasa sesak hatinya.

-----

"Ma? Kita ini mau ke mana? Tidak pulang?"

Melihat mamanya mengambil belokan yang berbeda dari jalan mereka pulang biasanya, Clara ingin tahu ke mana mereka akan pergi.

Hari itu sudah cukup melelahkan bagi gadis itu. Sekujur tubuhnya terasa sakit sehabis berolahraga dua hari yang lalu. Ketika ia bangun pagi tadi, tiba-tiba saja otot-otot di tangan dan kakinya terasa kaku dan sakit semua. Ia sangat mengesali hal-hal seperti itu.

Hari itu juga diperparah dengan Jason yang melupakan mengerjakan tugasnya di kelompok tugas. Clara sekelompok dengan orang itu dan ketiga temannya yang lain, lalu dengan terburu-buru, hanya dengan waktu 10 menit, mereka harus menyelesaikan tugas Jason. Cowok itu sendiri malah bercanda ria dengan Yoel, teman baiknya, dan tidak terlalu peduli dengan tugasnya sendiri. Alhasil, Clara dan ketiga anggota kelompok lainnya yang harus menyelesaikan tugas mencari artikel dan membuat slide presentasi mereka secepat kilat. Untung saja, presentasi mereka berjalan dengan lancar dan bagus.

Clara sangat kesal dengan perilaku Jason yang seperti itu. Ia tidak mengerti lagi akan perasaannya terhadap cowok itu. Sejujurnya, ia tidak jarang merasa perilaku cowok itu konyol dan tidak penting. Namun, tetap ada saat ketika suara hangat dan senyuman cowok berambut acak-acakan itu menggetarkan hatinya. Mungkin, yang Clara kagumi dari Jayson bukan karakter cowok itu sepenuhnya, melainkan penampilan dan sikap cowok itu pada saat-saat tertentu saja.

Dalam perjalanan pulang sekarang, mamanya berbelok ke arah jalan lain yang belum pernah mereka lewati sebelumnya. Clara melihat sisi kiri dan kanan jalan yang mulai ditumbuhi rerumputan hijau dan pepohonan rindang. Gadis itu menikmati pemandangan di luar mobilnya, ia menyukai jalan raya dengan pinggir yang asri seperti itu.

"Kita mau ke mana, Ma?" tanyanya sekali lagi.

"Oh, ya. Kita mau ke sebuah sanatorium," jawab mamanya tenang. "Sebentar saja, kok! Nanti kamu juga ikut turun menemani Mama, ya."

Sanatorium? Hal itu merupakan hal yang baru bagi Clara. Ia tidak pernah mendatangi sebuah sanatorium sebelumnya. Ia hanya tahu bahwa tempat itu seperti rumah sakit, tetapi lebih khusus, asri, dan sehat untuk tempat tinggal para pasien yang butuh lingkungan khusus untuk bertahan hidup di tengah-tengah penyakitnya.

"Sanatorium? Siapa yang sakit, Ma?"

"Teman lama, Mama. Tak apa kan, menemani Mama sebentar? Besok kamu banyak tugas, tidak?"

"Tak apa. Ayo-ayo saja, Ma. Aku penasaran bagaimana lingkungan sanatorium itu. Teman Mama sakit apa?"

"Paru-paru. Karena tidak ingin merepotkan keluarganya, ia memilih untuk tinggal di sana selama beberapa bulan, entah sampai kapan. Setiap akhir minggu, keluarganya menjenguknya."

"Umur berapa, Ma? Anaknya umur berapa?"

"Oh, dia senior Mama sewaktu kuliah dulu. Kalau tidak salah ingat, dia lebih tua lima tahun dari Mama. Dia menikah muda. Makadari itu, kedua anaknya sudah berkeluarga."

"Oh...  Ketika di sanatorium nanti, apa aku boleh berkeliling-keliling?"

"Sendirian?"

Clara menarik napas. "Ya, tak apa. Aku sudah besar kok, Ma. Aku ingin menelusuri seperti apa tempat yang dinamakan sanatorium itu. Aku ingin melihat sebanyak mungkin orang yang tinggal di sana. Mama bisa tetap mengobrol-ngobrol dengan teman Mama itu, tak usah hiraukan aku."

Mamanya menangguk-angguk. "Oke, setelah kau bertemu dan menyapa dengan teman Mama, kau boleh berkeliaran sendiri. Jangan sampai mengganggu orang-orang di sana."

Clara tersenyum senang, lalu mengecup pipi Mamanya. "Oke, deh! Thanks, Mom!"

Mobil mereka terus melaju dengan kecepatan normal, menyusuri jalan raya yang lebar dan tenang itu.

Sanatorium itu sangat luas dan asri. Semuanya tertata rapi. Bangunan putihnya terlihat megah, tetapi juga mengandur unsur kesederhanaan dan kekeluargaan. Dinding lobby sanatorium itu dilapisi marmer berwarna dark grey, lantai marmernya berwarna yellow cream, dan setiap balkon lantai atasnya cukup tinggi untuk memastikan tidak ada orang yang sanggup naik dan duduk di atas balkon. Taman di luar gedung sanatorium itu sangat luas dan penuh dengan rerumputan hijau serta pepohonan rindang. Bunga-bunga bougenville liar menghiasi beberapa titik di tengah taman. Masih ada lagi sejumlah jenis bunga lain yang ditanam di taman itu, seperti bunga anggrek, alamanda, kamboja, dan terompet. Terdapat jalan trotoar selebar 3 meter yang meliak-liuk menyusuri taman seluas 2 hektar itu, seperti jalan setapak. Dedaunan pohon-pohon menaungi hingga membentuk bayangan hampir berbentuk bulat mengelilingi setiap pohon. Ada juga beberapa jenis tanaman bonsai yang disusun rapi di sisi kiri dan kanan jalan setapak. Sejumlah bangku taman ditempatkan di bawah pohon-pohon yang besar dan rindang, atau di dekat danau buatan di tengah taman. Terdapat juga beberapa meja bulat untuk 4 orang beserta bangku-bangkunya di tengah taman. 

Clara sangat menyukai suasana di sanatorium itu. Beberapa orang terlihat sedang berjalan-jalan sore menikmati segarnya udara di taman sanatorium itu. Ada sepasang kakek dan nenek yang sedang duduk membaca buku di salah satu kursi dekat danau. Di dalam gedungnya sendiri pun, sanatorium itu terlihat damai dan menenangkan. Para perawat atau suster tersenyum ketika bertemu pandang dengan beberapa pengunjung atau pasien. Semuanya relatif terlihat ramah dan bersahabat, meski ada beberapa orang yang berwajah lesu atau lemas.

Clara dan mamanya sampai di depan sebuah kamar yang terletak di lantai 1 dan dekat dengan pintu keluar menuju taman. Setelah mamanya mengetuk pintu kamar itu lima kali, mereka masuk. Langsung saja, teriakan gembira menyambut mereka. Teriakan gembira, menyebut nama mama Clara, Lucy.

"Lucy!" panggil wanita yang berusia pertengahan 50 tahun itu kepada mama Clary. Wanita itu terlihat anggun dan segar dengan balutan baju terusan biru cerahnya yang bermotif kelopak bunga sakura yang berguguran. Senyumnya memperlihatkan lesung pipit di pipinya dan menambah kesan ceria di wajahnya. Mata birunya bersinar seraya memandang Lucy yang melangkah masuk ke kamarnya. Kedua teman lama itu berpelukan.

"Meg! Bagaimana kabarmu?" tanya Lucy dengan riang sambil memeluk teman lamanya dengan erat. Clara dapat melihat bagaimana lega wajah mamanya ketika melihat keceriaan di wajah wanita yang dipanggil 'Meg' itu. Tanpa sadar, gadis SMA itu juga ikut tersenyum melihat aksi kedua wanita itu saling melepas rindu masing-masing dengan berpelukan.

Meg melepaskan pelukannya, begitu juga dengan Lucy. "Mengapa kau bisa datang ke sini? Dari mana kau tahu aku di sini?" Suara riang Meg memenuhi ruangan seraya wanita itu menuntun teman lamanya untuk duduk di salah satu sofa di kamar itu. Lucy belum sempat menjawab pertanyaan Meg, ketika wanita keturunan Canada itu bertanya lagi. "Lucy, inikah, anakmu yang manis itu? Oh!!!"

Clara tak tahu harus berespon apa. Maka, ia hanya tersenyum dan menyahut perkataan Meg dengan sapaan lembut. "Selamat sore, Tante." Gadis itu berjalan menuju sofa tempat mamanya duduk. "Aku Clara."

Meg mengangguk-angguk pelan. "Mamamu mengirimkan foto bayimu kepadaku setelah beberapa minggu dia melahirkanmu. Ketika ulang tahunmu yang ke-5, dia juga mengirimkan foto dirimu berbalutkan gaun merah polkadot putih itu."

Clara menoleh ke arah mamanya dengan mulut bulat menganga, lalu disambut dengan tawa dari Lucy. "Kau itu masih ingat saja, Meg! Iya, ini anakku satu-satunya. Bagaimana dengan anakmu?"

"Sekarang Clara kelas berapa? Kau tumbuh menjadi cantik dan mirip dengan mamamu sewaktu muda dulu."

Clara berdeham, dia tidak ingin terlihat canggung di hadapan teman lama mamanya itu. "Kelas SMA 2, Tante. Oh, ya? Mama sewaktu muda seperti apa, Tante?"

"Mamamu itu perempuan yang penuh semangat, ibarat seekor burung kolibri yang selalu terbang ke sana kemari, maju-mundur, naik-turun, mengisap nektar bunga-bunga."

Clara tertawa, sepertinya ia akan menyukai teman mamanya yang satu ini. "Burung kolibri?"

"Ya, ya. Ah! Jangan burung kolibri kalau begitu. Kupu-kupu. Ya, kupu-kupu yang memiliki corak sayap yang indah dan..."

"Meg, kau ini ada-ada saja. Aku tidak secantik itu," sela Lucy sambil tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Bruce?"

"Bruce? Oh, dia sudah kembali ke Australia. Kami sudah tidak lagi bersama semenjak 3 tahun yang lalu. Kami bercerai."

Lucy terdiam, begitu juga dengan Clara. "Oh, maaf." Suara mama Clara terdengar sangat pelan dan penuh penyesalan karena telah menanyakan hal yang pahit kepada teman lamanya.

"Tak apa, kok! Hal itu seperti itu memang sudah biasa." sahut Meg santai. "Beruntung Fray dan Freddie telah dewasa. Jadi, mereka dengan mudah menerima perceraian kami."

"Oh ya, bagaimana dengan keadaan kedua anakmu?"

"Kau harus melihat kelima cucuku, Lucy! Mereka amat menggemaskan. Fray memiliki dua anak, sementara Freddy tiga. Jarak umur mereka tidak terlalu jauh. Cucuku yang paling besar berusia 7 tahun,  dan yang paling kecil 2 tahun. Kalau semua berkumpul di sini, bayangkan betapa ramainya kamar ini!"

Clara bermaksud untuk keluar dari kamar bernuansa hijau cerah itu. Ranjang yang ditata rapi di pojok ruangan, meja dan lemari yang terletak di samping ranjang bersandar ke tembok, jendela yang menunjukan pemandangan taman, semuanya begitu sederhana dan nyaman. Namun, ia lebih ingin keluar dan berjalan-jalan di sanatorium itu. Setelah meminta izin kepada mamanya dan Meg, gadis remaja itu berjalan ke arah pintu.

"Clara!" panggil Meg sebelum anak semata wayang temannya itu keluar. "Cobalah, berbicara dengan orang-orang di sanatorium ini! Selain tempatnya yang menyegarkan, mereka pun menyenangkan! Mungkin kau bisa berkenalan dengan seseorang setidaknya, dan menjadi temannya." Meg mengedipkan sebelah matanya tanda bersahabat kepada Clara. Dengan senyuman dan anggukan mantap, Clara menyahut, "Baik, Tante Meg! Hal itu pasti akan kulakukan."

Ia berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia ingin berkeliling-keliling di taman sanatorium itu terlebih dahulu. Menurutnya, tiada yang lebih menyegarkan di tempat ini selain berjalan-jalan kecil menyusuri jalan setapak taman luas itu. Ia menyenangi rumput halus dan bunga-bunga di taman itu. Terdapat berbagai macam bunga anggrek yang diatata rapi pada beberapa bagian di taman itu. Clara menyusuri taman itu dengan tenang dan senyuman, menyatakan betapa ingin dirinya mengenal orang--orang di sanatorium ini.

Seorang nenek terlihat sedang kesusahan berdiri dari kursi bangku taman itu. Seluruh beban tubuhnya, ia tumpukan pada tongkat di tangan kanannya itu. Clara bergegas mendatangi nenek itu dan membantu wanita tua itu berdiri, lalu berjalan. "Mari, Nek, biar kubantu!" katanya lembut.

"Terima kasih, gadis muda." Suara nenek itu pelan, sedikit serak, dan terdengar riang. Clara tersenyum melihat keriput-keriput wajah di bawah mata dan pipi nenek itu. Hal itu mengingatkannya kepada neneknya yang sudah tiada.

"Nenek mau ke mana?" tanyanya seceria mungkin.

"Ah, aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar lagi. Kemudian, aku akan kembali ke kamar dan membaca buku harianku sewaktu muda dulu." Nenek itu tertawa kecil. "Mengingat diriku yang sudah tua begini, ingin rasanya aku kembali muda seperti dulu."

"Mengapa?" Clara masih memegangi lengan nenek itu, membantu nenek itu berhati-hati dalam berjalan.

"Aku ingin melakukan hal-hal gila yang sewaktu muda belum sempat kulakukan. Tepatnya, aku kurang berani. Aku kurang mengikuti apa kata hatiku. Padahal, hal-hal itu tidak buruk, loh!"

"Hal-hal seperti apa itu, Nek?"

"Hmm... Seperti mengeriting rambutku, mengecatnya menjadi warna coklat biru gelap, bermain di pantai hingga larut malam, berselancar, menyelam... Ya. Aku ingin mencoba semua hal itu." Mata nenek itu menerawang ke depan dan untuk beberapa detik terpejam ketika berbicara mengenai mimpi-mimpinya yang belum tercapai.

Mereka memasuki pintu masuk gedung, meninggalkan taman yang diramaikan oleh suara kicauan burung di kala sore.

"Hal-hal itu terdengar menyenangkan. Kenapa dulu Nenek tidak berani?" Clara takut rasa keingintahuannya dianggap berlebihan, tetapi semasa nenek di sampingnya itu ingin berbicara, dia rasa tak ada salahnya bertanya seperti itu.

"Siapa namamu, gadis muda?"

"Clara. Nenek?"

"Panggil saja aku, Rain."

"Nenek Rain."

Nenek Rain menghela napas. "Dulu aku sangat ingin terlihat seperti gadis yang berpendidikan tinggi dan anggun. Maka, aku menghindari hal-hal yang terkesan sporty seperti itu." Dia terdiam. Langkahnya yang pelan-pelan telah membawanya sampai ke depan kamarnya. Clara pun mengetahui hal tersebut ketika Nenek Rain mengeluarkan kunci dari saku jaket yang dipakainya. Pintu terbuka. Mereka berdua masuk.

"Kau mau biskuit?" tanya Nenek Rain ramah. Clara menggelengkan kepalanya. "Terima kasih. Tidak usah, Nek."

Nenek Rain berjalan menuju ranjangnya. Ia duduk di tepi ranjang lalu mengisyaratkan Clara untuk duduk di sofa di samping ranjangnya. "Nah, Clara." Suaranya terdengar ceria dan menginginkan sesuatu. "Ceritakan padaku soal kehidupanmu akhir-akhir ini."

Pada awalnya, gadis remaja yang masih memakai seragam itu kebingungan. Ia tidak tahu harus memakai kata-kata apa, mulai dari mana, dan apa yang mau dikatakannya. Kemudian, matanya menangkap suatu lukisan di ruangan itu. Lukisan siluet dua tangan yang sedang bergandengan dilatarbelakangi matahari terbenam di lautan. Lukisan yang indah dan menggerakan hatinya seketika. Clara memutuskan untuk mulai dari situ.

"Aku ingin bergandengan tangan dengan orang yang kusukai." Entah bagaimana, hati Clara merasa terhibur melihat senyuman Nenek Rain yang mengembang.

Ceritanya berlanjut dan Clara tak menyadari betapa jauh ia telah bercerita sampai handphone-nya bergetar. Ia sangat menikmati saat-saat ini bersama Nenek Rain. Wanita setengah baya yang ternyata sangat hangat dan ramah itu telah menenangkan hatinya hingga ia dapat bercerita sebanyak mungkin. Mereka tertawa dan saling berbagi cerita. Clara tak menyangka ia dapat mengenal orang asing secepat ini. Namun, mamanya telah memanggil dari jauh sana melalui teleponnya.

"Maaf, Nek. Aku harus pergi sekarang." Clara sangat menyayangkan kepergiannya, dan ia berharap tak lama nanti ia bisa bertemu lagi dengan Nenek Rain. Mereka saling mengucapkan terima kasih, lalu Clara melangkah keluar ruangan.

Ketika ia keluar dari kamar Nenek Rain, ketika ia sedang menutup pintu itu, matanya menangkap sosok seorang cowok muda yang juga baru keluar dari kamar di seberang kamar Nenek Rain. Mereka berbalik badan bersamaan dan berhadapan untuk sesaat. Clara terkejut betapa mudanya dan tampannya cowok itu. Ketampanan yang menyiratkan suatu ketenangan di balik sebuah kelemahan. Tanpa disangkanya, cowok itu tersenyum memandang Clara. Gadis itu tersentak. Ia yakin usia cowok itu tidak jauh darinya. Apakah cowok muda ini adalah salah satu dari pasien di sini?

Clara membalas senyuman itu dengan sebuah pertanyaan. "Kau sering datang ke tempat ini?"

Cowok itu berdeham pelan, lalu melangkah bersamaan dengan Clara yang juga mulai melangkah. Keduanya berjalan berdampingan.

"Tidak. Kau?" Suaranya berat dan sedikit serak, tetapi juga lembut dan tenang.

"Baru pertama kali."

"Bagaimana menurutmu?"

"Aku sangat menyukai tempat ini."

Cowok itu hanya menangguk-angguk kecil. Pandangannya menerawang ke depan.

"Dan aku ingin sekali sering-sering datang ke tempat ini. Aku bertemu teman baru di sini, Nenek Rain. Dia orang yang baik dan menyenangkan." Clara bersuara, memancing cowok itu untuk berbicara lagi.

"Ya, dia orang yang ramah dan lembut. Aku juga senang berteman dengannya."

Clara menoleh ke arah cowok berkaus abu-abu lengan panjang dan bercelana jeans itu. "Kau juga berteman dengannya? Bukankah, katamu tadi, kau tidak sering datang ke tempat ini?"

"Kau sendiri, baru pertama kali datang dan bisa menyebutnya sebagai temanmu, kan?" Cowok itu menatap Clara dengan mata coklatnya yang sayu. Sekilas, gadis itu melihat kerinduan terpancar di mata cowok bertubuh jangkung yang berjalan di sampingnya sekarang ini.

"Tapi kurasa, dari nada suaramu, kau telah mengenal Nenek Rain cukup lama."

"Kau itu banyak berpikir, ya?" tanya cowok itu dengan tawa kecil.

Clara tak tahu harus menjawab apa. Baru kali ini ada orang asing yang mengatakan hal itu padanya. Mengatakan sekaligus menyatakan salah satu karakter dirinya. Banyak berpikir.

"Aku tinggal di sini."

Pernyataan cowok muda itu membuat jantung Clara berdegup lebih kencang. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasakan rangsangan itu. Rangsangan yang menyetrum dirinya dan membangkitkan sejuta pertanyaan di benaknya mengenai orang asing yang baru ia temui selama 5 menit itu.



4 komentar:

  1. endingnya bagus ui. merangsang orang buat baca yang berikutnya cis
    tapi alurnya emang lu buat lambat itu kah cis?

    BalasHapus
  2. thanks Jass :) kelambatan yah? mungkin hrs bgtu. bngung jg hehehe jdi boring ya?

    BalasHapus
  3. di awal sih agak hehe. tp kan penulis pencipta :P semuanya ada di tangan penulis aja

    BalasHapus
  4. "penulis pencipta" cool one. hehehe pengelola dan pengembang itu komentar (kritik & saran) dri teman yg membaca ;) thankss

    BalasHapus