Selasa, 19 Maret 2013

Langit 1 : Pembicaraan Hati

Entah sejak kapan perasaan suka itu mulai tumbuh. 

Clara telah bertekad bahwa selama menempuh pendidikan SMA, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta lagi. Namun, dirinya tidak menyangka bahwa perasaan kagum itu berubah menjadi perasaan suka, lalu tanpa tersadar, ia telah jatuh cinta. Hatinya sudah terpikat oleh ketampanan dan keceriaan wajah cowok bersenyum manis itu. Sungguh, Clara tidak menyangka kalau dirinya akan jatuh hati kepada Jason.

"Jason! Bangun!" teriak seorang guru Sosiologi yang sedang mengajar di depan kelas. Semua mata tertuju kepada cowok SMA yang sedang menidurkan kepalanya di kedua lengannya yang ditaruh di atas meja. Jason, dengan mata masih mengantuk, segera mendongak dan duduk tegap memandang guru perempuan itu dengan serius. "Maaf, Bu," katanya pelan. "Saya boleh cuci muka?" Guru itu membolak-balik buku yang dipegangnya  seraya menjawab pertanyaan Jason, "Jangan malah tidur, kamu, di toilet!"

Jason segera bangkit berdiri dan berlari keluar kelas diiringi dengan tawa kecil teman-temannya. Clara hanya menoleh ke arah cowok itu sebentar ketika badannya yang jangkung berdiri dari kursi. Jujur saja, Clara kurang menyukai sifat Jason yang mudah jatuh tertidur di kelas ketika cowok itu merasa bosan. Namun, di satu sisi, sikap Jason yang seperti itu mengingatkannya kepada Max. Max, teman semasa SMP-nya yang asyik, lucu, suka malas-malasan ketika pelajaran, cukup nakal, tetapi memiliki pemikiran yang tajam dan mendalam. Bagi Clara, dirinya telah salah karena telah mencampur adukkan Jason dan Max. Namun, pemikiran itu tak bisa ia hindari. Clara cenderung mengaitkan Jason dengan Max.

"Ra! Si Bu Shirley lagi menjelaskan apa, sih?" tanya Tasha, teman sebangku Clara. Clara yang sedang tidak terlalu memerhatikan pelajaran hanya menjawab seadanya. "Tentang pemikiran si Emile Durkheim. Lihat aja di halaman 127. Dia lagi bahas bagian itu daritadi." Dengan setengah mengantuk, Tasha mencari halaman 127 di bukunya.

Pikiran Clara mulai melayang kepada Max, satu-satunya cowok di masa SMP-nya yang telah mengunci hatinya. Pada saat awal Clara masuk SMA pun, hatinya masih terkunci untuk Max seorang. Gadis itu pun sendiri tidak tahu berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk melupakan Max, cowok yang ia cintai sepenuh hati, tetapi tidak bisa ia miliki. Dirinya mengerti bahwa hubungannya dengan Max tidak akan lebih dari sebatas teman baik. Baginya, bisa mengobrol bersama Max itu sudah cukup. Apalagi dengan situasi mereka sekarang yang tidak lagi satu sekolah. Masih dapat berkomunikasi dengan Max dan membicarakan banyak hal dengan cowok itu saja sudah lebih dari cukup. Clara telah belajar menerima hal itu, dan ia sudah sangat bersyukur akan hubungannya dengan Max itu ketika mereka berdua masih baik-baik saja.

Berbeda dengan masa awal masuk SMA, sekarang, di pertengahan SMA ini mereka sudah tidak pernah lagi berhubungan. Clara pun tidak mengerti apa yang membuat Max menjauh darinya. Sudah selama 2 tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Clara sangat ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Clara sangat ingin bisa berbicara dan mengobrol bersama cowok berpikiran luas dan arif itu. Namun, ia tetap mengurungkan niatnya itu semasa ia masih bisa memantau Max dan melihat cowok itu bahagia. Ia takut mengganggu kebahagiaan Max. Kadang-kadang, Clara mencari tahu keadaan Max lewat situ-situs jejaring sosial, melihat foto-foto Max, dan menyimpulkan bahwa Max baik-baik saja bersama pacarnya dan teman-teman sekolahnya. Meskipun pada awalnya sangat meyakitkan bagi Clara untuk mengetahui Max yang mulai berpacaran dengan seorang siswi lain, meskipun menerima segala curahan hati Max mengenai pacar cowok itu sangat melukai hati Clara, gadis itu tetap bertahan dan berhasil menyembunyikan perasaannya itu hingga ia benar-benar belajar dan mengerti apa arti dari 'mencintai tanpa harus memiliki'. Asalkan Max bahagia, Clara merasa sudah sangat bersyukur. Namun, tetap tak bisa dipungkiri bahwa tiada hari tanpa Clara memikirkan keadaan Max. Meskipun mereka telah beberapa bulan tidak berhubungan lagi, Clara tetap tidak bisa merelakan kepergian Max dari hari-harinya.

Pintu kelas dibuka, lalu masuklah Jason dengan raut wajah yang lebih segar. Matanya tidak menyipit lagi akibat mengantuk. Air mukanya tidak selemas tadi ketika cowok itu keluar. "Sudah segar?" tanya Bu Shirley kepada Jason sambil menaikkan kacamata di batang hidungnya. "Udah, Bu. Terimakasih!" jawab Jason riang. "Kebiasaan buruk seperti itu jangan terus dipupuk," sahut guru Sosiologi yang berumur 20an itu. "Lanjutkan lagi pelajaran. Semuanya, silahkan baca dulu halaman 130 sampai 142! Saya mau keluar sebentar."

Beberapa anak langsung berbisik-bisik. Ketika guru itu sudah keluar kelas, Jason bersuara keras, "Lama juga gak apa-apa, Bu!" Perkataannya itu dibalas oleh tawa beberapa temannya. Clara hanya menggeleng-gelengkan kepala meresponi tingkah Jason. Ia menunduk memandangi bukunya. Ia paling tidak suka disuruh membaca di kelas seperti ini. Menurutnya, membaca itu tugas di rumah dan di sekolah adalah waktunya mendengarkan penjelasan guru. Clara berusaha membaca, tetapi pikirannya beralih lagi kepada Max.

Bagi Clara, yang terpenting adalah kebahagiaan Max. Jika cowok yang disukainya itu bahagia, ia pun merasa cukup dan senang. Apapun yang cowok itu ingin bicarakan, Clara akan selalu menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun sikap Max kepadanya, Clara akan tetap menyukai cowok berkacamata itu apa adanya. Bahkan, salah satu alasan dirinya menyukai Max adalah karena keburukan dan kelemahan cowok itu. Max sangat berharga bagi Clara. Jika cowok menjauh darinya, tidak mau lagi berbicara dengan Clara, dan hal itu demi kebaikan Max sendiri, gadis itu akan tetap tegar menantikan kembalinya orang yang paling ia kagumi semenjak SMP itu. Jika Max bahagia, begitupun dengan Clara.

Ketika mereka masih sering mengobrol lewat jejaring sosial yang menyediakan layanan chatting, mereka berdua bisa membicarakan tentang apapun. Topik yang paling sering mereka bicarakan adalah kehidupan, kepercayaan, pertemanan, dan keluarga. Clara senang membicarakan hal-hal seperti itu, begitu pula dengan Max. Keduanya pun sering merahasiakan hal-hal yang cowok itu tidak bicarakan kepada pacarnya. Max pernah beberapa kali berkata bahwa hanya Clara-lah satu-satunya orang yang ia bisa ajak bicara mengenai hal-hal rumit itu dan dirinya sangat bersyukur memiliki teman yang berharga seperti Clara. Tidak ada kata lain selain 'bahagia' dan 'bersyukur' yang dapat menjelaskan perasaan gadis itu.

Pemikiran Max amatlah berbeda dengan remaja seumuran mereka. Sejak kelas SMP 1, cowok itu telah berpikir luas, tajam, dan detail. Max bisa mengungkapkan atau menanyakan hal-hal yang tidak para remaja umumnya pikiran mengenai dunia dan kehidupan ini. Semakin hari, dirinya semakin tinggi dalam berpikir. Bahkan, ia sendiri tidak menyadari bahwa apa yang ia tanyakan berhubungan dengan Filsafat. Pikiran-pikirannya sangat menunjukan bahwa ia mencari pengertian. Tidak ada orang lain selain Max yang senang berbicara mengenai hal-hal itu dengan Clara. Hingga saat ini, belum ada orang yang bisa menggantikan Max bagi gadis itu. Hingga saat ini, Clara belum menemukan orang yang berpikir dan bertindak seperti Max.

Clara tahu bahwa tidak mungkin menemukan orang yang sama seperti Max, atau bahkan melebihi cowok keturunan Belanda itu. Dia juga tahu bahwa adalah salah jika dirinya menjadikan Max sebagai titik acuan karakter cowok yang ia impikan. Namun, Clara masih belum bisa melawan kecenderungan hatinya untuk melihat kembali lembaran lama itu ketika mengenal seorang cowok lain. Maka, ia tak menyangka bahwa pada pertengahan SMA ini, hatinya mulai cukup terbuka untuk mengakui bahwa ia telah jatuh hati kepada cowok lain, yaitu Jason.

Apa yang membuat Jason menarik perhatiannya adalah kepribadian cowok itu. Meskipun Clara tetap tidak bisa melupakan cinta lamanya, Max, bukan berarti dirinya tidak bisa tertarik kepada orang lain. Mungkin pada awalnya, Clara berpikir bahwa dia akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan orang yang seperti Max. Namun setelah mengenal Jason, Clara melihat bahwa karakter cowok bermata coklat itu mirip dengan Max. Lama-kelamaan, setelah beberapa lama Clara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri mengapa ia bisa mengagumi Jason, dirinya mencapai sebuah kesimpulan. Jason adalah orang yang menyenangkan, kekanak-kanakan sekaligus dewasa, tahu kapan harus serius dan kapan boleh melawak, terkesan cuek padahal memiliki sisi kepedulian yang amat lembut, cukup berinisiatif, dan menolong tanpa pamrih. Karena semua hal itu, Jason memikat hati Clara.

Clara menghela napas. Ia merasa bodoh karena telah membiarkan dirinya dikacaukan oleh pemikiran-pemikiran asmara  ketika pelajaran di kelas sedang berlangsung. Ia kesal dengan dirinya sendiri yang tak bisa fokus sepenuhnya pada jam-jam pelajaran. Meskipun nilai-nilainya tergolong baik, ia tahu pasti bahwa dirinya dapat mencapai nilai yang lebih tinggi lagi daripada yang ia telah capai sekarang. Hal itu ia yakini karena ia tahu dirinya memiliki kemampuan lebih dari yang ia telah gunakan. Orang tuanya menuntutnya untuk menjadi lebih baik lagi karena memang benar bahwa Clara telah banyak menyia-nyiakan kemampuannya. Seringkali, Clara merasa kesal akan dirinya yang juga cinta kemalasan selain suka berpikiran terlalu banyak.

-----

Bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak langsung berhamburan keluar dari ruang kelas setelah bersama-sama setelah berdoa pulang. Clara masih dengan tenang membereskan barang-barangnya. Ia tidak terlalu bersemangat untuk pulang hari itu. Entahlah, ia sedang merasa kurang semangat untuk segala sesuatu pada hari itu.

Tiba-tiba, sebuah suara yang rendah dan tegas, tetapi juga terdengar ringan, memanggilnya. "Clara!" Tersentak, Clara menoleh dan melihat Jason sedang berjalan menghampirinya. Jantung gadis itu berdegup lebih cepat, dan dirinya mulai berusaha untuk bisa mengendalikan diri. "Kenapa?" tanya Clara dingin kepada Jason yang sudah tiba di hadapannya. Sambil tetap membereskan barang-barangnya, Clara berusaha untuk terkesan cuek di hadapan cowok yang disukainya itu. Entah mengapa, setiap kali bersama Jason, diri Clara cenderung cuek hingga terkesan tidak peduli terhadap cowok itu.

"Rapat OSIS hari ini jadi, gak? Gue sepertinya harus pulang cepat, nih! Sorry banget, ya!" Raut wajah Jason segera berubah. Cowok itu tersenyum, sekaligus mengerutkan alisnya tanda sedikit merasa bersalah.

"Oh. Oke. Yaudah, nanti gue beri tahu lu apa aja yang diomongin hari ini," sahut Clara santai dan dingin. Gadis itu pun berbicara tanpa memandang Jason. Ia berbicara seraya mengambil tas bekalnya yang tergeletak di lantai.

"Oke, deh! Thanks ya, Clar! Gue pergi duluan, ya!"

"Bye, bro!"

Clara mendesah. Itulah yang ia juga tidak sukai dari Jason, diri cowok itu yang kurang bertanggung jawab. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, menghalau rasa kesal itu. Padahal, dulu, Max juga bukan anak yang bertanggung jawab untuk masalah tugas-tugas sekolah. Namun, Clara malah jatuh hati kepada Max karena alasan itu juga. Setelah dipikir-pikir, Clara memang belum bisa menyukai orang lain seperti ia menyukai Max. Masih saja ada hal-hal yang tidak bisa ia terima dari Jason. Masih saja ada hal-hal yang membuatnya meragukan kembali perasaannya kepada Jason. Apakah benar ia menyukainya? Mungkin, ia memang cenderung menyukainya, tetapi hal itu bukan berarti ia benar-benar menyukai Jason, bukan?

Rapat OSIS hari itu berjalan dengan baik. Ia pulang bersama dengan beberapa anak anggota OSIS lainnya. Sebelum menuju rumah masing-masing, mereka mampir di toko buku sebentar untuk melihat-lihat. Clara sangat menikmati waktu kebersamaan dengan teman-temannya di luar pelajaran seperti ini. Ia ingin menghabiskan masa remajanya sebaik mungkin. Bukan bersenang-senang sesuka-sukanya, melainkan sebisanya menyeimbangkan nilai-nilai pelajaran yang baik dengan pergaulan yang baik. Ada waktu untuk belajar, ada waktu untuk berkumpul bersama dengan teman-teman. Clara tahu betul bahwa hal demikian sangat sulit dilakukan karena sebagai remaja atau anak muda, dirinya pasti cenderung lebih ingin bersenang-senang lebih lama. Namun, semua itu dia turut sebisanya kendalikan melalui ikut aktif berorganisasi yang juga ia gemari.

Sesampainya di rumah, Clara belajar untuk ulangan esok harinya. Sebelum tidur, seperti biasa, pikirannya sempat melayang kembali kepada Max. Bagaimana keadaan cowok itu? Clara menepuk-nepuk kepalanya sendiri, mengingatkan bahwa dia harus berhenti memikirkan cowok itu. Kemudian, pikirannya beralih kepada Jason. Sebenarnya, pemikiran Jason itu sedewasa dan sedalam apa? Apakah dirinya bisa mengenal Jason lebih jauh seperti ia mengenal Max dulu? Apakah dia bisa mengobrol dengan Jason sebebas ia mengobrol bersama Max dulu?

"Ya ampun, apa gak ada hal lain, ya, yang bisa gue pikirkan? Gue kesel dan malu sendiri memikirkan hal-hal seperti itu. Padahal, seharusnya gue lebih fokus memikirkan nilai-nilai dan pendidikan masa depan gue nanti!" Clara menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Dia telah mengetahui jurusan apa yang ia akan ambil sewaktu kuliah nanti. Dia sudah yakin dirinya ingin menjadi apa. Dia sudah merencanakan dirinya ingin menjadi seorang yang bagaimana. Namun, semua hal itu masih sangat sulit untuk dicapai dan ia tahu betul bahwa dirinya masih jauh dari menjadi pribadi yang ia impikan. Hal tersebut diperburuk dengan dirinya yang akhir-akhir ini lebih sering memikirkan tentang kedua cowok itu.

"Gue harus bisa mengendalikan pikiran dan emosi gue untuk tidak terlalu banyak memikirkan hal-hal tentang cowok seperti itu. Fokus, Ra! FOKUS!" Clara menggigit bibirnya. "Lu bisa belajar lebih giat daripada yang sekarang lu lakukan, Ra! Jadilah, lebih rajin! Lu itu udah diberi kemampuan yang bagus! Jangan lu sia-siakan! Demi membanggakan orang tua dan masuk kuliah dengan mudah, Ra! Jangan biarkan pikiran lu terlena oleh asmara-asmaraan gak jelas begitu! Malu, La! Bego banget sih, lu! Fookkuuss, Clara! Lebih baik lu memikirkan bagaimana caranya mengatasi kemalasan lu, baca koran, dan lain-lain yang lebih berguna daripada memikirkan cowok! I really hate myself that keeps thinking this way! Why can't I stop thinking about those two boys who have successfully ruined my mind? I'm such an idiot!"

Ia merasa kacau dan malu, sekaligus muak dengan pikirannya yang tak pernah tidak ditempati dengan pemikiran soal Max dan Jason. Senjata andalannya ketika ia sedang berpikir dan sendirian adalah berbicara sendiri. Ya, seperti pada malam ini, ia berbicara sendiri.

"Oh, God. I'm sick of this. I'm sorry." Clara terdiam. Beberapa detik kemudian, ia menghela napas. Tak terasa, setetes air mata telah mengaliri pipinya. "I just really miss Max. I really want him back. I really wish we could be like we used to."

Berbicara sendiri, mengungkapkan apa yang ia telah ia bicarakan dan gumulkan di dalam hati.



4 komentar:

  1. fiksi lah Chen hahaha kok bsa blng gtu?

    BalasHapus
  2. hha ada sedikit lucu2nya kyk dikelas...wkwkwk

    BalasHapus
  3. Oohh iya sih, msukin kjadian shri" kita di kls jg. terinspirasi dri sana jg.hahaha

    BalasHapus