Minggu, 31 Maret 2013

Langit 4 : Matahari dengan Langit

"Ra! Beribu maaf, hari ini gue tidak bisa mengantar lu ke sanatorium, nih!" Suara Laila menyambut Clara seraya gadis itu memasuki kelas. Clara menggigit bibirnya. "Tak apa, kok!" sahutnya tenang dengan senyuman. "Gue sudah banyak merepotkan lu, La. Selama dua minggu terakhir ini lu dengan setia mengantarkan gue ke sanatorium sepulang sekolah. Thank you very much. I owe you a lot."

Laila tertawa kecil mendengar perkataan temannya itu. Ia menepuk bahu Clara seraya berkata, "Apa sih, yang tidak akan gue lakukan untuk membantu teman yang satu ini menemui pujaan hatinya?"

Clara menganga, lalu tertawa. "Apa, sih? Pujaan hati? Ngawur lu!"

"Loh, emang bener kan, Ra?" Suara Tasha meramaikan suasana. "Namanya Daniel, ya, kalo gue gak salah ingat?"

"Iya, Daniel. Dia teman gue di sanatorium. Kalian mau bertemu dia juga?"

"Hanya teman? Kalau lu tidak punya perasaan khusus untuk dia, lu tidak akan mungkin mengunjungi dia sesering itu, Ra! Tiga kali dalam seminggu! Belum lagi setiap Sabtu, lu juga mengunjungi dia, kan? Empat kali dalam seminggu!"

"Sekalian aja lu tinggal di sanatorium, Ra! "

Clara tertawa, untuk sesaat terbersit sebuah pertanyaan di benaknya. Apakah ada perasaan yang murni khusus di dalam diriku untuk Daniel?

"Aduh, kalian itu ada-ada aja, ya. Kalian harus mencoba pergi ke sana, berkenalan dan berteman dengan para pasien di sana..."

"Mungkin aja nanti kita ketemu jodoh juga, La, seperti Clara di sana!"

"Cihhuuyy! Bener tuh, Sha! Gue juga mau, deh! Daniel keren kan, Ra? Ada cowok keren lagi selain dia di sana?"

Clara menarik napas. Ia menimbang-nimbang pertanyaan Laila itu. Pikirannya melayang kepada kehangatan Daniel. Setiap perkataan cowok itu yang menggerakkan hatinya, tatapan cowok itu padanya, dan nada suara pemuda yang tegar itu. Akhirnya, Clara dengan yakin mencapai pada suatu kesimpulan.

"Dia itu mengagumkan."

Tasha dan Laila saling berpandangan. Mereka tak menyangka Clara akan mengatakan hal itu dengan mata berbinar-binar dan senyuman lembut. Semenjak saat itu, mereka mulai mengkhawatirkan kisah  cinta gadis itu dengan seorang pemuda yang bernama Daniel. Bukan karena mereka tidak menyukai Daniel atau tidak menyetujui hal itu. Mereka khawatir akan betapa terlukanya Clara nanti jika pemuda sanatorium itu tak dapat bertahan hingga mereka menginjak usia dewasa. Akan berakhir seperti apa nanti kisah cinta mereka berdua?

"Ra? Lu yakin?" tanya Tasha dengan berat hati.

"Hah? Apaan? Tentang apa?" Dengan wajah polos, Clara bertanya balik kepada sahabatnya.

"Mmmm...." Tasha mengalihkan pandangannya pada Laila. "Begini, Ra..."

"Daniel itu ibarat matahari yang akhirnya telah kutemukan untuk menerangi langitku."

Laila dan Tasha tak bisa berkata-kata lagi. Keduanya hanya tersenyum tipis melihat sorot mata Clara yang begitu tenang dan bahagia.

-----

Istirahat 30 menit. Clara berusaha mengirim SMS kepada Daniel bahwa dirinya hari itu mungkin tak bisa datang. Tak lama kemudian, Daniel membalas SMS gadis itu:

From : Daniel
Gpp. Kali ini aku yg ke sana. Nanti pulang skola, tunggu aku di dpn pintu gerbang skola. Aku akan dtng ke skola km.
Can't wait to see you! :)

Clara duduk di kursinya sambil bersandar pada kaca jendela. Ia segera membalas SMS Daniel. Hatinya berdebar-debar.

To : Daniel
Sriusan km mau dtng ke skola? Gak perlu repot-repot, Dan. Aku bsok pasti ke sana, kok. I really want to see you too. :)

Daniel membuka handphone-nya, melihat ada balasan SMS dari Clara. Ia tersenyum. Kemudian, ia membalasnya lagi:

To : Clara
If you really want to see me, you'll let me to pick you up later. ;) Mulai skrg giliran aku yg dtng ke km. Besok dan utk sterusnya, aku yg akan jmput km di skola. Trus kita bisa pergi ke kemana pun yg km mau. Ok? Trust me, I'll be fine. And I'm dying to see you. I mean it. :)

-----

Beberapa anak berbisik-bisik melihat pemuda jangkung nan tampan di depan sekolah itu. Gaya berdirinya yang cuek dan santai bersandar pada tembok gerbang sekolah, tatapannya yang tajam, dan wajahnya yang serius membuat beberapa gadis tertawa kecil. Mereka menerka-nerka siapa yang dicari cowok itu.

Daniel menghela napas mendengar tawa kecil dan bisikan-bisikan beberapa gadis SMA mengenai dirinya. Dia tahu bahwa mereka sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya. Ia akui, sudah lama dirinya tidak menginjakkan kaki di sekolah seperti sekarang ini. Beberapa dari gadis itu cukup manis, tetapi baginya tidak ada yang semanis Clara.

Ketika gadis itu tersenyum, Daniel merasa seluruh awan gelap menyingkir dan menyilakan cahaya menerangi langitnya. Bahkan, Clara lah langit yang cerah itu. Ketika gadis itu tertawa, Daniel merasakan terjangan lembut di hatinya. Ia terbuai dengan suara Clara di telinganya. Ia menyukai tatapan mata Clara padanya. Ia mengagumi setiap kata yang gadis ceria itu ucapkan. Tiada yang lebih menyempurnakan dirinya daripada Clara.

Dia memasukkan tangan ke saku jaketnya. Kaos putih berkerah yang ia pakai menutupi tulang lehernya. Jaket abu-abu yang ia pakai menyamarkan tubuh kurusnya. Celana jeans kebesaran yang ia pakai menyamankannya. Sepatu kets yang ia beli beberapa bulan lalu, akhirnya dapat ia pakai dengan bangga untuk berjalan-jalan dengan gadis yang ia sukai. Daniel tidak sabar untuk melihat Clara hari ini.

Tak lama kemudian, ia menangkap senyum manis yang ia telah kenal selama beberapa minggu terakhir ini. "Clara," bisiknya pelan. Segera saja bisikan itu berubah menjadi suara lantang yang diresponi dengan langkah gadis itu menuju dirinya.

"Daniel! Kamu serius datang! Maaf, merepotkanmu." Suara Clara terdengar sangat ceria. Tanpa disangkanya, pemuda tampan itu langsung memeluk dirinya erat-erat. Kemudian, Daniel berbisik pelan. "Tak ada kata 'repot' di kamusku untukmu. Tentu saja, aku datang. Semakin hari, aku semakin ingin melihat dirimu setiap hari."

Clara terkejut mendengar perkataan itu. Begitu tulus dan terasa menyenangkan di hatinya. Ia tersenyum bahagia karena ia mengetahui ketulusan hati Daniel. Sekarang, mereka telah melepaskan pelukan itu. Mata mereka saling berpandangan dan Clara bisa melihat kesungguhan di mata pemuda itu. Ia yakin, tidak ada rayuan gombal di dalam setiap tutur kata Daniel pada dirinya. 

"Aku juga." Clara tersenyum, begitu juga dengan Daniel.

Setelah berkenalan dengan Tasha dan Laila, pemuda sanatorium itu menggenggam tangan Clara. Keduanya melangkah pergi meninggalkan area sekolah. Mereka pergi menuju waktu kebersamaan mereka sore itu.

Dari kejauhan, seorang cowok memerhatikan kejadian itu. Ia melihat bagaimana kedua insan itu berpelukan, tersenyum, dan saling memandang. Ia mengepalkan jari-jemari tangannya hingga kuku-kuku itu menusuk telapak tangannya.

-----

"Kau mau ke mana?" tanya Daniel seraya menggandeng tangan gadis di sampingnya. Ia sangat menikmati saat-saat ini, di mana hiruk-pikuk kota menjadi melodi iringan waktu kebersamaan dirinya dengan Clara. Hal ini seperti mereka memiliki sesuatu yang istimewa tersendiri.

Clara berjalan pelan di samping Daniel seraya perasaannya melambung tinggi ke langit. Ia merasa sangat...bahagia. Bersama Daniel, bergandengan tangan dengan orang yang ia cintai, berjalan di tengah keramaian kota di kala sore. Semua itu adalah impiannya selama ini. Mulai detik itu juga, ia tak bisa lagi menyangkali bahwa semenjak ia bertemu dengan Daniel, cowok itu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang membuatnya merasa sangat istimewa dan bahagia.

"Ke mana saja yang kau mau. Ke mana pun itu, asalkan bersama denganmu, aku sudah sangat senang."

"Kau mencuri kata-kataku. Seharusnya itu adalah bagianku." Daniel tertawa kecil.

"Hahaha... Kalau begitu, ucapkan kata-kata itu sekali lagi." Clara dapat merasakan jantungnya berdegup tiga kali lebih kencang. Namun, ia tidak malu atau takut lagi. Baru pertama kali ini, ia berani mengutarakan segala perasaannya kepada orang yang ia sukai. Dan orang itu hanyalah Daniel.

"Ke mana pun kita pergi, asalkan selalu bersama denganmu, aku sudah sangat senang. Aku bahagia."

Tiba-tiba, Clara berhenti melangkah. Ia menoleh kepada Daniel, tatapannya penuh harap dan juga keraguan. "Daniel," panggilnya pelan. "Apakah hal itu cukup?"

Daniel mengerutkan dahinya. Ia mengerti apa maksud gadis itu. Melihat kesungguhan di mata Clara, cowok itu tersenyum lembut. "Ayolah," katanya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada gadis itu. "Kita ke pantai, melihat laut."

Semilir angin sore bertiup menyejukkan diri mereka. Daniel dan Clara sama-sama melepaskan sepatu mereka. Keduanya langsung berlari menuju tepi pantai di mana ombak menerjang kaki mereka dan membasahi kedua insan itu. Mereka bermain air, tertawa, dan saling mencipratkan air laut kepada satu sama lain hingga hampir sekujur tubuh mereka basah.

"Hei! Awas, yah! Nih, rasakan dinginnya air laut..."

"Aaassiinn! Hahaha..."

"Yang paling basah kuyup yang kalah!"

"Yang kalah traktir es krim, yang menang traktir minuman!"

"Minum aja air laut ini!"

"Hahaha... Udah, udah... Aku udah basah! Nih, liat!"

"Gak peduli! Hahaha... Kalau masuk angin, tinggal minum jahe!"

"Kamu yang buatin, ya?"

"Yang kalah yang buatin!"

Angin pantai sore itu bertiup dengan halus menyejukkan jiwa keduanya. Jiwa yang penuh sukacita dan rasa syukur menemukan dan mengenal satu sama lain. Deburan ombak bagaikan alunan musik alam yang mengekspresikan teriakan gembira di hati mereka. Langit sore di mana matahari mengucapkan "sampai jumpa esok hari" menaungi mereka.

Daniel memeluk Clara dari belakang dan mengangkat gadis itu, sehingga kedua kakinya mengayun di udara. Clara berteriak girang dan tertawa. Hatinya merasa amat cerah. Demikian pula dengan Daniel yang tertawa bebas melepas kepenatannya selama ini. Kemudian, gadis yang masih berseragam sekolah itu langsung memercikkan air laut kepada Daniel setelah kakinya kembali menapak pasir. Ombak kecil menerjang pelan kedua pasang kaki itu. Keduanya berlari pelan mengejar satu sama lain, tak peduli seberapa basahnya mereka.

Setelah sejam berlalu, mereka berjalan di atas pasir nan dingin dan lembut. Masing-masing membawa sepatunya. Keduanya berjalan pelan menyusuri pasir basah di tepi laut. Sesekali air laut membasahi kaki mereka. Terdengar suara koakan burung camar di angkasa. Daniel melingkarkan lengan kirinya di bahu Clara, sementara gadis itu melingkarkan tangan kanannya di pinggang Daniel. Mereka berdua berjalan begitu dekat. Tiada jarak di antara mereka. Keduanya melekat dan saling menopang tubuh satu sama lain. Semua itu menjadi iringan elok percakapan mereka.

"Apa yang kau pikirkan ketika menikmati semilir angin seperti ini?"

"Angin tak terlihat, tetapi aku bisa merasakannya. Kau tahu? Angin itu bagaikan desiran peristiwa manis, tetapi juga menggoyahkan di dalam hidup ini." Clara menarik napas. "Entahlah, aku... Aku pikir begitu. Aku menikmati angin, tetapi juga takut jikalau kehidupanku mudah terbawa angin."

Daniel mengangguk-angguk pelan. "Kurasa aku mengerti."

"Kau lebih mengerti dari itu."

Untuk sekian kalinya, Daniel tertawa kecil membenarkan perkataan gadis yang berada di sisinya itu. "Ada yang ingin kau tanyakan padaku?"

"Kau tahu, ternyata."

"Ya, tentu. Aku bisa melihat itu dari matamu. Kau itu... Begitu jujur. Pancaran matamu..."

"Kalau aku menutup mataku, apa yang dapat kau lihat mengenai diriku?"

Daniel menoleh ke arah Clara yang terus berjalan di sampingnya sambil memejamkan mata. Ia menunduk hingga hampir mencium puncak kepala gadis itu. "Ketika aku melihatmu, aku melihat langit biru nan cerah. Langit cerah yang ingin kumiliki seutuhnya dan selamanya. Ketika aku melihatmu, aku melihat sosok yang tak ingin kulepaskan untuk selamanya. Bahkan ketika kau memejamkan matamu, aku dapat melihat bahwa kau tak jauh melihat dan menginginkan hal yang sama terhadapku."

Clara membuka matanya. Kali ini, hatinya sungguh berdebar-debar melebihi apapun yang pernah ia alami. Ia tak percaya, Daniel baru saja mengatakan hal itu kepadanya. Kata-kata itu bagaikan suatu buaian lembut dan sentuhan anggun yang mengambil alih, sekaligus menenangkan seluruh hatinya. Ia menoleh kepada Daniel. Tatapan cowok itu sangat lembut, tetapi terdapat keseriusan dan kerinduan pada air mukanya. Kalimat terkahir yang dikatakan Daniel tadi, tak bisa Clara sangkali. Ia pun menginginkan Daniel sepenuhnya dan hanya untuknya. Ia telah jatuh cinta pada cowok itu sejak pertama kali mereka bertemu.

"Kau adalah matahariku."

Mereka berdua menoleh kepada satu sama lain, lalu saling berpandangan. Daniel tersenyum. Kedamaian tersirat di wajahnya. Bagaikan melodi yang mengalun lembut, gerakan keduanya amat harmonis. Clara berjinjit dan Daniel sedikit menunduk. Keduanya tak berubah posisi, kecuali kedekatan wajah mereka. Tiada jarak lagi yang memisahkan mereka. Bibir keduanya saling bersentuhan. Keduanya merasakan sentuhan lembut nan manis yang tak akan pernah mereka lupakan. Bukan hanya lembut, tetapi juga anggun dan menawan.

Ciuman itu singkat. Mata mereka saling berpandangan. Clara tersenyum halus, begitu juga dengan Daniel. Keduanya tak rela momen itu berakhir singkat begitu saja. Seperti sudah mengerti langkah masing-masing selanjutnya, keduanya bergerak.

Sepatu keduanya terlepas dari genggaman masing-masing. Tangan kiri Clara menggenggam tangan Daniel yang tersampir di bahunya, sementara Daniel sendiri menggenggam tangan Clara yang melingkari pinggangnya agar gadis itu mengeratkan pelukannya. Daniel mengeratkan lengannya pada leher Clara, sehingga bibir mereka lebih menekan satu sama lain. Daniel sedikit memutar kepalanya ke kanan, begitu juga dengan Clara. Semuanya terasa begitu indah dan memukau

Setelah beberapa detik berlalu, mereka menyudahi ciuman pertama mereka itu dengan napas terengah-engah dan tawa kecil. Matahari mulai telah turun hampir menyatu dengan garis horizon. Langit mengiringi terbenamnya matahari dengan berubah warna menjadi biru, merah muda, ungu, dan kejinggaan. Deburan ombak lebih keras terdengar, mengawali angin darat yang akan datang malam nanti. Daniel dan Clara melanjutkan langkah mereka menyusuri tepi pantai sore itu.

-----

Clara berusaha memejamkan matanya untuk tidur. Namun, setiap kali matanya terpejam, gambar-gambar wajah Daniel terpampang semakin jelas di benaknya. Ia merasa ini gila. Ia tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Seperti aliran teriakan riang mengaliri pembulu-pembulu darahnya, sekujur tubuhnya merasa amat bebas. Dipeluknya Trixie, boneka anjing besar kesayangannya, erat-erat.

"Aku tak percaya. Hari ini, hal termanis dan terindah di dalam hidupku terjadi." Suara kecilnya memecah keheningan di kamar itu. Clara menyentuh bibir mungilnya. "Ciuman pertamaku. Aku... dan Daniel..." Ia tersenyum, lalu memejamkan matanya. 

-----

Daniel gusar, tetapi sekaligus senang. Ia tak percaya apa yang telah dikatakan dan dilakukannya hari ini terhadap Clara. Hari ini adalah hari terindah di dalam hidupnya. Ia tak pernah menyangka, pertemuannya dengan gadis itu membawa dirinya kepada saat-saat ini. Saat-saat di mana semuanya menjadi lebih manis dan indah. Warna keabu-abuan itu perlahan-lahan memudar dan diganti dengan warna-warna cerah. Semua itu berkat kehadiran Clara.

Walaupun begitu, dirinya mengerti benar bahwa ia tidak bisa memenuhi seluruh keinginan Clara. Selamanya. Kata itu begitu kuat. Daniel kesal karena ia pun tak bisa mencapai kata itu di dalam hidup ini. Memang tiada manusia yang bisa hidup selamanya, tetapi setidaknya lebih dari apa yang ia kemungkinan besar hanya dapat capai. 

Sudah bertahun-tahun dirinya mengetahui kenyataan pahit itu, tetapi baru sekarang kenyataan itu menjadi sesuatu yang ia amat benci. Dulu sebelum bertemu dengan Clara, kenyataan itu hanya menjadi suatu fakta yang pahit sekaligus menguntungkan baginya. Mengapa? Karena dengan mengetahui hal itu, ia dapat mengira-ngira berapa lama waktu dan kesempatan hidup yang dimilikinya. Ia dapat bersiap-siap, mungkin. Namun, berbeda dengan waktu lalu, sekarang kenyataan itu menjadi suatu penghalang yang memberatkan hatinya untuk berhubungan dengan Clara.

Daniel tidak pernah ingin melukai hati Clara. Ia tahu bahwa ia pasti akan membenci dirinya sendiri jika menyakiti gadis itu. Ia tak ingin senyum gadis itu memudar atau bahkan hilang. Ia tak ingin gadis itu sedih oleh karenanya. Dan dia mengerti betul bahwa pada akhirnya, semua itulah yang akan ia berikan untuk Clara. Pada akhirnya, semua itulah yang dirinya hanya dapat berikan untuk Clara. Atau, apakah benar ia betul-betul mengerti 'pada akhirnya' itu?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar