Sabtu, 30 Maret 2013

Langkah Dua Kaki di Ibukota

Setiap kali dua kaki ini melangkah di pinggir jalan raya di tengah kota Jakarta, beberapa pikiran berkelebat di benak manusia itu. Setiap kali dua kaki ini menapak di tengah-tengah keramaian kota Jakarta, beberapa bisikan memenuhi hati insan itu. Setiap kali dua kaki ini berjalan, begitu juga dengan pikiranku yang mengalir tiada henti.

Mungkin memang melelahkan berjalan di kota yang panas dan hiruk-pikuk ini. Mungkin segala pemandangan yang mewarnai Kota Metropolitan ini sudah biasa hingga tersisihkan maknanya. Mungkin hanya panas terik matahari yang paling sering kita keluhkan ketika berjalan di ibukota pada siang hari. Namun, ketika berjalan pada malam hari di ibukota, apa arti yang didapat?

Lampu-lampu begemerlap-gemerlip menyinari kota. Lampu jalanan, lampu mobil, lampu gedung-gedung. Semuanya menerangi jalan ibukota di kala malam turun. Suara klakson mobil, derung mesin kendaraan bermotor, suara obrolan orang-orang di pinggir jalan, suara masakan para pedagang kaki lima, suara gesekan kaki-kaki yang melangkah di trotoar. Semuanya menyatu ibarat melodi malam ibukota. Semua bersatu melukiskan pemandangan malam di salah satu daerah bagian ibukota.

Tak jauh dari daerah sederhana nan pas-pasan itu, orang-orang berkecukupan duduk di sofa menikmati sejuk dan terangnya ruangan, serta menyantap hidangan makan malam mereka. Berbeda sekali dengan orang-orang yang sedang kulewati satu persatu sekarang, pikirku. Mereka menikmati malam seadanya. Mereka duduk di lantai depan gedung-gedung yang sudah terbengkalai. Merokok dan mengobrol, menjajakan dagangan mereka, dan menikmati semilir angin malam. Tak sedikit yang hanya duduk melamun dan memandangi orang berlalu-lalang. Mungkin, mereka pun memerhatikanku dan keluargaku. Apa yang mereka pikirkan melewati beratnya hari-hari di Jakarta? Sesekali aku mendengar samar-samar obrolan mereka. Apa yang mereka pikirkan mengenai kami ketika melihat kami menyusuri kawasan ini? Ataukah mereka tak peduli sama sekali karena sudah sangat terbiasa dengan pemandangan ini?

Mobil-mobil parkir di depan gedung. Para pemilik mobil itu sedang duduk di sofa empuk dan kursi bagus sambil menikmati hidangan di ruangan ber-AC. Mengobrol juga. Beberapa dari mereka merokok juga. Dan mungkin ditambah dengan rasa beruntung. Hidup serba berkecukupan. Setidaknya, kebutuhan primer dan sekunder tercukupi.  Mungkin, aku pun termasuk orang-orang yang serba berkecukupan itu. Walaupun begitu kelihatannya, aku yakin masing-masing mereka memiliki kesusahan dan pergumulan yang harus dihadapi. Namun, mereka sudah dilihat jauh lebih beruntung oleh orang-orang yang hidup serba minim dan sederhana.

Seorang pelayan menyapu dan membereskan sisa-sisa makanan di salah satu meja di restoran itu. Tak jauh dari restoran itu, duduklah orang-orang yang menikmati suasana malam kota seadanya. Apa yang dipikirkan pelayan itu sekarang? Aku bertanya-tanya. Ketika ia bekerja, melayani orang-orang membeli makanan di restoran itu, apa yang ia pikirkan? Setiap hari, sang pelayan harus melihat orang-orang membeli makanan seharga jatah uang satu harinya dan melahap habis makanan itu selama beberapa menit. Apakah setiap malam, ia juga harus melihat kesenjangan ekonomi yang begitu gamblang di kota ini?

Beberapa gadis muda, pramuniagawati dari sebuah merk rokok, menawarkan sekotak rokok putih kepada beberapa pemuda di pinggir jalan. Aku bergidik. Mereka, gadis-gadis molek itu, sangat berani, menurutku. Kalau aku, pasti aku takut dan tak mau menawarkan dagangan itu malam-malam di daerah seperti ini. Seram. Daerah ini bukan daerah baik-baik pada malam hari. Mungkin mereka takut terjadi sesuatu yang buruk, tetapi mereka tetap melangkah dan melakukan kewajiban yang sekaligus resiko mereka sebagai pramuniagawati rokok itu. Mereka mengalahkan rasa takut itu dan mengambil resiko itu. Itulah yang membuat mereka kucap berani.

Melihat itu semua pun, aku jadi berpikir. Aku yang sedang berjalan meyusuri kawasan ini, melihat mereka yang di sana dan mereka yang di sini. Apakah di sana, orang-orang yang sedang duduk di restoran-restoran itu, menghiraukan pemandangan di sini yang penuh dengan kesederhanaan? Apa respon mereka di sana? Apakah di sini, orang-orang yang sedang duduk di pinggiran jalan serta menghirup debu kendaraan dan asap rokok, menghiraukan mereka yang di sana? Mungkin, tetap ada sedikit rasa kerinduan di lubuk hati kecil itu, tetapi semua sudah terbiasa hingga merasa nyaman-nyaman saja.

Begitu bertumpuk-tumpuk seluruh ungkapan di ibukota ini. Hal itu membuatku terus bertanya-tanya. Akan jadi seperti apa dan siapa, aku, ketika dewasa nanti? Kira-kira aku akan menjadi yang mana di antara mereka semua yang mewarnai kota ini? Tentu saja, aku ingin tetap menjadi diriku sendiri. Namun, siapa dan apa itu 'diriku sendiri'? Itulah beberapa hal yang kupikirkan ketika kedua kakiku menyusuri kehidupan di ibukota. 

Aku sangat bersyukur dengan hidupku yang sekarang ini. Namun, apakah aku mampu mencapai hidup seperti ini kelak ketika aku dewasa dan sudah berkeluarga? Akankah aku mampu menjadi lebih baik dari ini hingga membanggakan kedua orang tuaku? Akankah aku bisa membawa kedua orang tuaku ke jenjang kehidupan yang lebih baik? Akankah aku menjalankan peran yang sudah direncanakan sebaik dan setulus yang kubayangkan? Apakah dua kaki ini akan terus mampu melangkah dan berdiri teguh menyusuri lembah kehidupan di ibukota Tanah Air ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar