Jumat, 13 Mei 2016

It All Went Down

Where is everything that we had?
Where are they right now?
Where did they go?
Or where did we go until we get here?
In this miserable, ambiguous, troublesome place
Through this path full of thorns with less light

We said: “Time together is never quite enough.”
Now, we’re asking whether we want it or not
The time to be together again
Are we totally long for it?
Are we still holding on to the moments we used to say meaningful?
Or just making less sense of it?

“You are my home.”
It feels like so long time ago
Are you my home and am I yours?
Or maybe, “home” also needs to be considered sometime for a while
I can’t stop asking why we are lost
I can’t stop thinking where I should go home

I still remember the look on your face
When we love that passionately
I still remember how you held me in your arms
Hugged me, kissed me and said that you loved me
So, why did you become this person I barely know?
Never imagined we’d be this way

Sometimes, I recall the smell of the rain
Since we have stories about “us and the rain”
Sometimes, I look through our photos
All the moments we shared, the good and the bad
All that I’m asking now, do you still remember them?
All that I know now, I don’t know how to be something that you miss

I used to look at the blue sky and smile
For I remember what happened between us
Under the bright sky and the smell after rain
The things we talked and laughed about
The way you held me and kissed me
Shouting how much you loved me with your moves

Now, if I look at the blue sky
I’ll turn a sad face and hold my tears
Feel that everything has been torn apart from us
How I miss the memories
And I know is that the sky reminds me of something sweet
Something that I don’t know may happen again or not

The sparks may should not be searched
Just let it be, as we speak
If it’s forced to be there,
We’ll break apart
Responsibility and commitment, as we know
But will we stay together like we used to say?

I don’t where we went and how everything turned out to be this way
I don’t know how to pulled you back up again
I don’t know how to keep you in my arms again
I don’t know how to hold on anymore
I’m falling deeper and further from the ground
And you can’t save me


Sabtu, 26 Maret 2016

Gejolak

Kau dan aku sedang bergejolak.

Ada gejolak yang tidak kita mengerti di antara kita berdua. Sebagai kedua insan yang saling bertemu, kita telah merajut begitu banyak cerita. Seluruh emosi dan karakterku telah tertumpah ruah padamu. Kukira, begitu juga sebaliknya. Setiap kepingan-kepingan momen emosional selama ini memperdalam pengenalan kita akan karakter satu sama lain. Namun kali ini, kau samasekali tidak dapat kugapai, apalagi kukenal.

Kau bilang, kau sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dirimu. Biar kukatakan begini setelah pemikiran dan pemahamanku akhir-akhir ini: kau itu normal dan aku yang aneh. Kau hanya bersikap selayaknya manusia normal yang telah menyusuri jalan percintaan selama hampir dua tahun bersama pasangannya. Aku ini yang..."pengecualian"? Asal kau tahu, meskipun sudah dua tahun berlalu, aku tidak akan merasa bosan sebelum kau merasa bosan. Aku tidak akan merasa sendirian jika kau tidak berubah menjadi dingin dan semakin jauh. Aku tetap akan mencintaimu dengan menggebu-gebu hari-hari demi hari dari hal-hal kecil meski jarak memisahkan. Aku tidak mengerti mengapa meski 707 hari telah berlalu, aku masih suka mengingat-ingat momen demi momen kita berdua sebelum dan sesudah pacaran. Namun, aku harap kau tahu... Senyumku kini bukan senyum bahagia, melainkan senyum tipis penuh kesedihan, pertanyaan, dan harapan yang hampir sirna. Kesedihan akan terbangnya momen-momen itu begitu saja di matamu. Pertanyaan seputar "Was everything truly 'real'?" Harapan akan kembalinya kita berdua.

Kata orang, kau hanya bersikap normal dengan merasa bosan akan semua cerita kita, penat dengan jarak yang adakarena a relationship needs to meetdan sikapku yang berbeda dari dirimu hingga katamu, perasaan sayang itu telah memudar meski tetap "ada". Kata orang, "Don't dictate your relationship by your feelings." Ketika kita membicarakan peihal relasi, itu melampaui perasaan. Relasi adalah yang seluruh perasaan yang telah tertumpah-ruah, pengenalan kita akan satu sama lain selama ini, seluruh cerita yang telah kita tulis, dan segala masa depan yang telah kita rancang selama ini. Relasi juga meliputi kepercayaan dan komitmen yang telah kita buat. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar berelasi selama ini? Atau kita hanya seperti remaja, pemuda-pemudi pada umumnya yang sempat tergila-gila akan satu sama lain seiring perasaan itu menggiring kita ke lembah penuh mimpi? Kuharap tidak karena itu akan sangat menyakitkan.

Asal kau tahu, setiap malam aku berharap kau segera kembali esok paginya. Kembali dari perjalananmu ke negeri antah-berantah yang kau sendiri tidak sadari. Kembali dari ruang sesak dan penat yang memenjarakanmu dan menghalangiku untuk mengetuk pintu hatimu lagi. Kembali dari pelarianmu. Kembali dari ketidakmengertianmu terhadap kita berdua dan misteri dua jiwa yang terpaut menjadi satu. Kembali dari tempat di mana kau berada sekarang ke sisiku lagi.

Atau mungkin aku yang sudah terlalu lama berkelana di dunia mimpi. Sedari awal sampai beberapa waktu lalu, kau hanya berusaha menyesuaikan diri dengan dunia idealku. Namun, sekarang kau tidak tahan lagi dan membuka jendela, pintu lebar-lebar agar mataku terbuka.

Aku merindukanmu. Merindukan bagaimana kau mengutarakan bagaimana kau mencintaiku, menicintai kita berdua dengan segala kalimat, baik tertulis maupun ujaran, ataupun tindakan. Merindukan bagaimana kita terus-menerus berjanji untuk tetap bersama melewati lika-liku hidup ini. Merindukan bagaimana kau memandangku dan tersenyum tulus. Merindukan bagaimana kita tertawa dan bercanda satu sama lain. Merindukan bagaimana kita tidak lagi takut untuk membuka dan berbagi kebodohan masing-masing. Merindukan bagaimana kita memikirkan dan membicarakan tentang masa depan kita kelak yang seharusnya, memang kita rajut bersama.

Aku merindukan kesederhanaan kita yang membuat kita merasa memiliki semuanya.

Kuharap kau tahu, aku masih di sini menunggumu, mengharapkanmu.

Aku harap kau tahu, ingat, dan mengerti ketika aku mengatakan bahwa pencarianku sudah selesai. Aku harap kau kembali.
Padaku.

Maaf jika aku sangat egois pada akhirnya.

Mungkin, aku telah melupakan ajaran lama itu. Aku telah melupakan bagaimana mencintai tanpa harus memiliki. Aku telah melupakan hal itu ketika kau bertanya padaku untuk merajut kita berdua bersamaku. Jujur saja, aku tidak ingin lagi mencintai tanpa harus memiliki.

Namun, di satu sisi... Aku juga ingin kau bahagia.

Mungkin, yang harus kupahami sekarang adalah seandainya kebahagiaanmu itu tidak bersamaku.



Jumat, 01 Januari 2016

A Marker of Time

It's always interesting how these "last" and "first" are special for human-being. Can both are simply meant as a marker of time?

Well, both as one can stand for many things based on its context, but never is apart from time.
It's because human has the concept of time, "last" and "first" define something: a special moment, act or event, etc. Maybe, at a certain place too, since we live in time and space.

Another thing that I can extract from "first" and  "last" is, referring to Claude Levi-Strauss, it's one of an amount of examples about binary opposition that naturally exists in human's mind. We do contrast so many things in the way we see this world, don't we?

Both as one is a marker of time that's related to defining someone or something (an act, natural phenomena, event, etc.), I think.

And how people celebrate the "first" and the "last" are diverse, according to how they interpret the moment and place, I assume. Just like how people celebrate the last day of year 2015 and the first day of year 2016, this year, for example.

In addition, the transition between the "first" and the "last" can be deliberately complicated, yet simple. We can see how every marker of time has a certain process in order to reach it.

Finally, for the last phrase of this absurd writing, I'll say:

HAPPY NEW YEAR 2016!!!



Jumat, 06 Maret 2015

Kataku Padamu

Kau mengungkapkannya dengan kata-kata.
Apakah itu untuk meyakinkan dirinya,
Atau dirimu sendiri?

Senin, 24 November 2014

As We Do

Do you know the feeling of having a sudden shock for missing your purpose?
It’s like one day, you wake up in the morning, brush your teeth, get dress, stare at the mirror, look at your reflection for a moment and suddenly get stung with this question which is actually been dangling in your mind for a while.
Ask yourself: What’s your life’s vision?

Walking down the hallway, taking a glance at some people, having a glimpse about things you want to do in the future, thinking about how today will turn out to be… Did you ever think about those all at once? For me, all of those things happen at the same time, every morning during my walk to campus and class.

It seems like I’m trying so hard to get everything settled without knowing where I am, for sure. I feel so far away from reaching my best. I keep asking myself about what is wrong with me, will I be able to fight my laziness if I keep doing the same pattern, what is my point of doing all those daily activities, have I done my best—which of course, I have not at all—am I going to be the change that I want to be in this world and so on…
Then, I just got stung again with this question that shattered most of my thoughts above.
“Unless I ask the right question to myself, how can I find the right answer?”

Think about this: Why are you doing what you do everyday?
Ask yourself, whether this bustling world—which is made by laborious people—has made you not aware of essential things in life.
No, wait. This is the former question that you have to know the answer, first.
“Do you really know and understand what are the essential things in life?” In your life, to be exact.
Thenceforth, ask yourself again: Have I realized what is the essence of everything that I do or I’ve done? Am I not losing the essence of this life?
Don’t forget to make sure of it.

There’s a simple conclusion related to the things that we do everyday without oppugning much.
We automatically do what we think we have to do.
We feel that we must do it, since it’s like a conformity in the society. We have this mechanic urge to achieve what the world tends to admire or amaze about, or simply, we are afraid to be different. We are shaped by this society which seems so assiduous. ‘Assiduous’ as we may say, but ironically, we’re also like a walking zombie. Don’t you ever feel like walking in void?

Well, let’s end this colloquy—wait, or is this a soliloquy?
I hope this bunch of words can be a straight-out reflection for those who read it.
Well, maybe what is written here is not that obvious, since each of us needs to find our own clarity. I purposely leave all the questions unanswered and no longer recital, so that those who read this can elaborate the questions and answers by their own.

Make your life meaningful.
Lead an awesome life! J



Minggu, 31 Agustus 2014

Aku Selalu

Jikalau kamu berdiri di sini, di hadapanku, dan bertanya seberapa besar aku mencintaimu...
Aku akan meminta kamu untuk menengadah ke atas melihat langit yang membentang luas menaungi kita.
Seraya kamu memandang langit, aku akan mengatakan bahwa sebesar itulah aku mencintaimu.

Jikalau kamu berdiri di sini, di hadapanku, dan bertanya seberapa besar aku merindukanmu...
Aku juga akan meminta kamu untuk menengadah ke atas melihat langit yang membentang luas menaungi kita.
Seraya kamu memandang langit, aku akan mengatakan bahwa sebesar itulah aku merindukanmu.

Aku tahu, langit masih bagian dari dunia ini. Dan apapun yang ada di dunia ini, itu terbatas. Namun, kumohon, jangan lihat dari sisi waktu dan kapasitas.

Lihatlah, dari sisi ini:

Langit. Membentang luas hingga ke berbagai pelosok dan penjuru dunia. Ke manapun dan di manapun, kamu, aku, kita, kalian, mereka akan selalu dinaungi oleh langit. Langit selalu membentang di atas kita di manapun kita berada, ke manapun kita pergi, dan kapanpun kita bertindak.

Itu berarti...
Ke manapun, di manapun, dan kapanpun kita bernapas, selama kita masih diizinkan untuk hidup dan berpetualang, aku akan selalu mencintaimu dan merindukanmu.

Aku selalu mencintaimu dan merindukanmu.


Jumat, 29 Agustus 2014

Cuap-Cuap Santai

Udah lama banget gue gak nge-blog. Kangen, sih... Tapi gak berasa kehilangan banget. Mungkin karena udah terbiasa kali, ya. Awalnya berasa ada yang hilang, tapi lama-lama gak terlalu berpengaruh juga dan malah pudar begitu aja semangat untuk menulis, mengetik lagi.

Yaaa.. Begitulah. Semangat dan kemauan yang kita sendiri tidak jaga, bisa hilang begitu saja kalau kita menuruti kemalasan yang terus bercokol dalam tiap pribadi kita.

Di tulisan kali ini, gue mau santai-santai aja. Liat aja dari bahasa gue yang super acak-kadul.

Oiya, ada kabar gembira yang belum gue kasi tau. (Bukan Mastin si ekstrak kulit manggis, pastinya. Basi banget itu lelucon.)

Sahabat gue dan....gue....hanya oleh karena anugerah Tuhan....DITERIMA di kampus impian kami. Kampus yang telah kami dambakan semenjak duduk di bangku kelas 10. Iya, dari SMA 1. Kampus yang membuat kami selama SMA terus mengembangkan imajinasi kami jikalau berkuliah di sana. Kampus yang khas dengan makara kuningnya. Kampus yang disebut sebagai "Kampus Perjuangan". Satu-satunya kampus yang pakai nama 'Indonesia'.

UNIVERSITAS INDONESIA.

UI ohhh UI ohhh UI!!!
'JAKUN' alias jaket kuning bukan lagi di depan sana untuk diraih, melainkan jakun sekarang ada di depan mata untuk...DIPAKAI. :D

Sesuai dengan harapan gue, gue diizinkan untuk mengenyam pendidikan di UI untuk 4 tahun ke depan. (Amin, kalo 4 tahun dan bisa cum laude. Tapi katanya Antrop lulus lama.. Setiap orang yang gue tanyain, kayak pasrah ato "syukur-syukur lulus" gitu. Kalo yang bisa 4 tahun itu disembah-sembah, rata-rata itu 4,5 tahun.)

Jujur, gue takut. Takut nanti gak mampu. Di satu sisi, gue percaya juga Tuhan pasti akan memapukan. I believe that as long as I keep leaning on Him, knowing that I'm nothing without Him and asking for His help, He will always strengthen me.

Gue juga mau menghidupi kutipan ini dari seorang dosen yang berorasi waktu OKK (acara ospek universitas):
"Jangan cuma numpang pakai brand 'UI'. MILIKI BRAND-MU SENDIRI!"

Terus, kutipan dari ketua BEM FISIP UI tahun ini juga.
"Jadilah bermanfaat!"

Gue sangat berharap teman-teman sefakultas dan gue bisa jadi bermanfaat. Gue gak mau jadi sampah yang cuma mondar-mandir di UI, gak bisa bertanggung jawab atas anugerah yang udah diberikan. Masih banyak banget orang yang di luar sana yang mungkin mau banget masuk FISIP UI, yang mungkin jauh lebih layak masuk UI dibanding gue.

Masuk UI... Senang banget. Sesuai harapan gue, di sini menemukan diversity. Sangat bayak perbedaan. Begitu beragam, begitu berwarna. Karena mahasiswa-mahasiswi di sini berasal dari berbagai latar belakang budaya, keluarga, daerah. Gue menemukan orang-orang dengan kisah yang selama ini cuma ada di imajinasi gue kayak di film-film atau novel. Wew sekaligus Wow! :)

Oiya, ada dua kata yang gue suka banget dari lagu 'Mars FISIP UI' :

"...Mercusuar peradaban..."

Bagus banget, kan? Cahaya yang menuntun kehidupan, zaman... Jadilah cahaya yang menuntun kehidupan masyarakat. Gak cuma menuntun, tapi juga memperlihatkan batas, menjadi penanda. Menjadi penuntun dan penjaga.

Sekian dulu, deh cuap-cuap gue. Random banget, ya? Hahaha

Have a great life!