Kau dan aku sedang bergejolak.
Ada gejolak yang tidak kita mengerti di antara kita berdua. Sebagai kedua insan yang saling bertemu, kita telah merajut begitu banyak cerita. Seluruh emosi dan karakterku telah tertumpah ruah padamu. Kukira, begitu juga sebaliknya. Setiap kepingan-kepingan momen emosional selama ini memperdalam pengenalan kita akan karakter satu sama lain. Namun kali ini, kau samasekali tidak dapat kugapai, apalagi kukenal.
Kau bilang, kau sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dirimu. Biar kukatakan begini setelah pemikiran dan pemahamanku akhir-akhir ini: kau itu normal dan aku yang aneh. Kau hanya bersikap selayaknya manusia normal yang telah menyusuri jalan percintaan selama hampir dua tahun bersama pasangannya. Aku ini yang..."pengecualian"? Asal kau tahu, meskipun sudah dua tahun berlalu, aku tidak akan merasa bosan sebelum kau merasa bosan. Aku tidak akan merasa sendirian jika kau tidak berubah menjadi dingin dan semakin jauh. Aku tetap akan mencintaimu dengan menggebu-gebu hari-hari demi hari dari hal-hal kecil meski jarak memisahkan. Aku tidak mengerti mengapa meski 707 hari telah berlalu, aku masih suka mengingat-ingat momen demi momen kita berdua sebelum dan sesudah pacaran. Namun, aku harap kau tahu... Senyumku kini bukan senyum bahagia, melainkan senyum tipis penuh kesedihan, pertanyaan, dan harapan yang hampir sirna. Kesedihan akan terbangnya momen-momen itu begitu saja di matamu. Pertanyaan seputar "Was everything truly 'real'?" Harapan akan kembalinya kita berdua.
Kata orang, kau hanya bersikap normal dengan merasa bosan akan semua cerita kita, penat dengan jarak yang ada—karena a relationship needs to meet—dan sikapku yang berbeda dari dirimu hingga katamu, perasaan sayang itu telah memudar meski tetap "ada". Kata orang, "Don't dictate your relationship by your feelings." Ketika kita membicarakan peihal relasi, itu melampaui perasaan. Relasi adalah yang seluruh perasaan yang telah tertumpah-ruah, pengenalan kita akan satu sama lain selama ini, seluruh cerita yang telah kita tulis, dan segala masa depan yang telah kita rancang selama ini. Relasi juga meliputi kepercayaan dan komitmen yang telah kita buat. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar berelasi selama ini? Atau kita hanya seperti remaja, pemuda-pemudi pada umumnya yang sempat tergila-gila akan satu sama lain seiring perasaan itu menggiring kita ke lembah penuh mimpi? Kuharap tidak karena itu akan sangat menyakitkan.
Asal kau tahu, setiap malam aku berharap kau segera kembali esok paginya. Kembali dari perjalananmu ke negeri antah-berantah yang kau sendiri tidak sadari. Kembali dari ruang sesak dan penat yang memenjarakanmu dan menghalangiku untuk mengetuk pintu hatimu lagi. Kembali dari pelarianmu. Kembali dari ketidakmengertianmu terhadap kita berdua dan misteri dua jiwa yang terpaut menjadi satu. Kembali dari tempat di mana kau berada sekarang ke sisiku lagi.
Atau mungkin aku yang sudah terlalu lama berkelana di dunia mimpi. Sedari awal sampai beberapa waktu lalu, kau hanya berusaha menyesuaikan diri dengan dunia idealku. Namun, sekarang kau tidak tahan lagi dan membuka jendela, pintu lebar-lebar agar mataku terbuka.
Aku merindukanmu. Merindukan bagaimana kau mengutarakan bagaimana kau mencintaiku, menicintai kita berdua dengan segala kalimat, baik tertulis maupun ujaran, ataupun tindakan. Merindukan bagaimana kita terus-menerus berjanji untuk tetap bersama melewati lika-liku hidup ini. Merindukan bagaimana kau memandangku dan tersenyum tulus. Merindukan bagaimana kita tertawa dan bercanda satu sama lain. Merindukan bagaimana kita tidak lagi takut untuk membuka dan berbagi kebodohan masing-masing. Merindukan bagaimana kita memikirkan dan membicarakan tentang masa depan kita kelak yang seharusnya, memang kita rajut bersama.
Aku merindukan kesederhanaan kita yang membuat kita merasa memiliki semuanya.
Kuharap kau tahu, aku masih di sini menunggumu, mengharapkanmu.
Aku harap kau tahu, ingat, dan mengerti ketika aku mengatakan bahwa pencarianku sudah selesai. Aku harap kau kembali.
Padaku.
Maaf jika aku sangat egois pada akhirnya.
Mungkin, aku telah melupakan ajaran lama itu. Aku telah melupakan bagaimana mencintai tanpa harus memiliki. Aku telah melupakan hal itu ketika kau bertanya padaku untuk merajut kita berdua bersamaku. Jujur saja, aku tidak ingin lagi mencintai tanpa harus memiliki.
Namun, di satu sisi... Aku juga ingin kau bahagia.
Mungkin, yang harus kupahami sekarang adalah seandainya kebahagiaanmu itu tidak bersamaku.
Ada gejolak yang tidak kita mengerti di antara kita berdua. Sebagai kedua insan yang saling bertemu, kita telah merajut begitu banyak cerita. Seluruh emosi dan karakterku telah tertumpah ruah padamu. Kukira, begitu juga sebaliknya. Setiap kepingan-kepingan momen emosional selama ini memperdalam pengenalan kita akan karakter satu sama lain. Namun kali ini, kau samasekali tidak dapat kugapai, apalagi kukenal.
Kau bilang, kau sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dirimu. Biar kukatakan begini setelah pemikiran dan pemahamanku akhir-akhir ini: kau itu normal dan aku yang aneh. Kau hanya bersikap selayaknya manusia normal yang telah menyusuri jalan percintaan selama hampir dua tahun bersama pasangannya. Aku ini yang..."pengecualian"? Asal kau tahu, meskipun sudah dua tahun berlalu, aku tidak akan merasa bosan sebelum kau merasa bosan. Aku tidak akan merasa sendirian jika kau tidak berubah menjadi dingin dan semakin jauh. Aku tetap akan mencintaimu dengan menggebu-gebu hari-hari demi hari dari hal-hal kecil meski jarak memisahkan. Aku tidak mengerti mengapa meski 707 hari telah berlalu, aku masih suka mengingat-ingat momen demi momen kita berdua sebelum dan sesudah pacaran. Namun, aku harap kau tahu... Senyumku kini bukan senyum bahagia, melainkan senyum tipis penuh kesedihan, pertanyaan, dan harapan yang hampir sirna. Kesedihan akan terbangnya momen-momen itu begitu saja di matamu. Pertanyaan seputar "Was everything truly 'real'?" Harapan akan kembalinya kita berdua.
Kata orang, kau hanya bersikap normal dengan merasa bosan akan semua cerita kita, penat dengan jarak yang ada—karena a relationship needs to meet—dan sikapku yang berbeda dari dirimu hingga katamu, perasaan sayang itu telah memudar meski tetap "ada". Kata orang, "Don't dictate your relationship by your feelings." Ketika kita membicarakan peihal relasi, itu melampaui perasaan. Relasi adalah yang seluruh perasaan yang telah tertumpah-ruah, pengenalan kita akan satu sama lain selama ini, seluruh cerita yang telah kita tulis, dan segala masa depan yang telah kita rancang selama ini. Relasi juga meliputi kepercayaan dan komitmen yang telah kita buat. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar berelasi selama ini? Atau kita hanya seperti remaja, pemuda-pemudi pada umumnya yang sempat tergila-gila akan satu sama lain seiring perasaan itu menggiring kita ke lembah penuh mimpi? Kuharap tidak karena itu akan sangat menyakitkan.
Asal kau tahu, setiap malam aku berharap kau segera kembali esok paginya. Kembali dari perjalananmu ke negeri antah-berantah yang kau sendiri tidak sadari. Kembali dari ruang sesak dan penat yang memenjarakanmu dan menghalangiku untuk mengetuk pintu hatimu lagi. Kembali dari pelarianmu. Kembali dari ketidakmengertianmu terhadap kita berdua dan misteri dua jiwa yang terpaut menjadi satu. Kembali dari tempat di mana kau berada sekarang ke sisiku lagi.
Atau mungkin aku yang sudah terlalu lama berkelana di dunia mimpi. Sedari awal sampai beberapa waktu lalu, kau hanya berusaha menyesuaikan diri dengan dunia idealku. Namun, sekarang kau tidak tahan lagi dan membuka jendela, pintu lebar-lebar agar mataku terbuka.
Aku merindukanmu. Merindukan bagaimana kau mengutarakan bagaimana kau mencintaiku, menicintai kita berdua dengan segala kalimat, baik tertulis maupun ujaran, ataupun tindakan. Merindukan bagaimana kita terus-menerus berjanji untuk tetap bersama melewati lika-liku hidup ini. Merindukan bagaimana kau memandangku dan tersenyum tulus. Merindukan bagaimana kita tertawa dan bercanda satu sama lain. Merindukan bagaimana kita tidak lagi takut untuk membuka dan berbagi kebodohan masing-masing. Merindukan bagaimana kita memikirkan dan membicarakan tentang masa depan kita kelak yang seharusnya, memang kita rajut bersama.
Aku merindukan kesederhanaan kita yang membuat kita merasa memiliki semuanya.
Kuharap kau tahu, aku masih di sini menunggumu, mengharapkanmu.
Aku harap kau tahu, ingat, dan mengerti ketika aku mengatakan bahwa pencarianku sudah selesai. Aku harap kau kembali.
Padaku.
Maaf jika aku sangat egois pada akhirnya.
Mungkin, aku telah melupakan ajaran lama itu. Aku telah melupakan bagaimana mencintai tanpa harus memiliki. Aku telah melupakan hal itu ketika kau bertanya padaku untuk merajut kita berdua bersamaku. Jujur saja, aku tidak ingin lagi mencintai tanpa harus memiliki.
Namun, di satu sisi... Aku juga ingin kau bahagia.
Mungkin, yang harus kupahami sekarang adalah seandainya kebahagiaanmu itu tidak bersamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar