Minggu, 31 Agustus 2014

Aku Selalu

Jikalau kamu berdiri di sini, di hadapanku, dan bertanya seberapa besar aku mencintaimu...
Aku akan meminta kamu untuk menengadah ke atas melihat langit yang membentang luas menaungi kita.
Seraya kamu memandang langit, aku akan mengatakan bahwa sebesar itulah aku mencintaimu.

Jikalau kamu berdiri di sini, di hadapanku, dan bertanya seberapa besar aku merindukanmu...
Aku juga akan meminta kamu untuk menengadah ke atas melihat langit yang membentang luas menaungi kita.
Seraya kamu memandang langit, aku akan mengatakan bahwa sebesar itulah aku merindukanmu.

Aku tahu, langit masih bagian dari dunia ini. Dan apapun yang ada di dunia ini, itu terbatas. Namun, kumohon, jangan lihat dari sisi waktu dan kapasitas.

Lihatlah, dari sisi ini:

Langit. Membentang luas hingga ke berbagai pelosok dan penjuru dunia. Ke manapun dan di manapun, kamu, aku, kita, kalian, mereka akan selalu dinaungi oleh langit. Langit selalu membentang di atas kita di manapun kita berada, ke manapun kita pergi, dan kapanpun kita bertindak.

Itu berarti...
Ke manapun, di manapun, dan kapanpun kita bernapas, selama kita masih diizinkan untuk hidup dan berpetualang, aku akan selalu mencintaimu dan merindukanmu.

Aku selalu mencintaimu dan merindukanmu.


Jumat, 29 Agustus 2014

Cuap-Cuap Santai

Udah lama banget gue gak nge-blog. Kangen, sih... Tapi gak berasa kehilangan banget. Mungkin karena udah terbiasa kali, ya. Awalnya berasa ada yang hilang, tapi lama-lama gak terlalu berpengaruh juga dan malah pudar begitu aja semangat untuk menulis, mengetik lagi.

Yaaa.. Begitulah. Semangat dan kemauan yang kita sendiri tidak jaga, bisa hilang begitu saja kalau kita menuruti kemalasan yang terus bercokol dalam tiap pribadi kita.

Di tulisan kali ini, gue mau santai-santai aja. Liat aja dari bahasa gue yang super acak-kadul.

Oiya, ada kabar gembira yang belum gue kasi tau. (Bukan Mastin si ekstrak kulit manggis, pastinya. Basi banget itu lelucon.)

Sahabat gue dan....gue....hanya oleh karena anugerah Tuhan....DITERIMA di kampus impian kami. Kampus yang telah kami dambakan semenjak duduk di bangku kelas 10. Iya, dari SMA 1. Kampus yang membuat kami selama SMA terus mengembangkan imajinasi kami jikalau berkuliah di sana. Kampus yang khas dengan makara kuningnya. Kampus yang disebut sebagai "Kampus Perjuangan". Satu-satunya kampus yang pakai nama 'Indonesia'.

UNIVERSITAS INDONESIA.

UI ohhh UI ohhh UI!!!
'JAKUN' alias jaket kuning bukan lagi di depan sana untuk diraih, melainkan jakun sekarang ada di depan mata untuk...DIPAKAI. :D

Sesuai dengan harapan gue, gue diizinkan untuk mengenyam pendidikan di UI untuk 4 tahun ke depan. (Amin, kalo 4 tahun dan bisa cum laude. Tapi katanya Antrop lulus lama.. Setiap orang yang gue tanyain, kayak pasrah ato "syukur-syukur lulus" gitu. Kalo yang bisa 4 tahun itu disembah-sembah, rata-rata itu 4,5 tahun.)

Jujur, gue takut. Takut nanti gak mampu. Di satu sisi, gue percaya juga Tuhan pasti akan memapukan. I believe that as long as I keep leaning on Him, knowing that I'm nothing without Him and asking for His help, He will always strengthen me.

Gue juga mau menghidupi kutipan ini dari seorang dosen yang berorasi waktu OKK (acara ospek universitas):
"Jangan cuma numpang pakai brand 'UI'. MILIKI BRAND-MU SENDIRI!"

Terus, kutipan dari ketua BEM FISIP UI tahun ini juga.
"Jadilah bermanfaat!"

Gue sangat berharap teman-teman sefakultas dan gue bisa jadi bermanfaat. Gue gak mau jadi sampah yang cuma mondar-mandir di UI, gak bisa bertanggung jawab atas anugerah yang udah diberikan. Masih banyak banget orang yang di luar sana yang mungkin mau banget masuk FISIP UI, yang mungkin jauh lebih layak masuk UI dibanding gue.

Masuk UI... Senang banget. Sesuai harapan gue, di sini menemukan diversity. Sangat bayak perbedaan. Begitu beragam, begitu berwarna. Karena mahasiswa-mahasiswi di sini berasal dari berbagai latar belakang budaya, keluarga, daerah. Gue menemukan orang-orang dengan kisah yang selama ini cuma ada di imajinasi gue kayak di film-film atau novel. Wew sekaligus Wow! :)

Oiya, ada dua kata yang gue suka banget dari lagu 'Mars FISIP UI' :

"...Mercusuar peradaban..."

Bagus banget, kan? Cahaya yang menuntun kehidupan, zaman... Jadilah cahaya yang menuntun kehidupan masyarakat. Gak cuma menuntun, tapi juga memperlihatkan batas, menjadi penanda. Menjadi penuntun dan penjaga.

Sekian dulu, deh cuap-cuap gue. Random banget, ya? Hahaha

Have a great life!


Selasa, 26 Agustus 2014

Perjuangan Mereka yang Melebihi Kepedulian Pemerintah

Seperti yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31, pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Namun, masih banyak anak-anak Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan yang sewajarnya dikarenakan masalah dana, akses, infrastruktur, dan lain-lain. Masalah itu bukan lagi sesuatu yang asing bagi kita.
Sebagai cara untuk menjawab permasalahan tersebut, Sekolah Master yang berada di Depok, bersedia mengajari anak-anak marginal dengan gratis. Dengan semangat untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak kurang mampu, Sekolah Master berdiri dan berkembang.
Nama ‘Master’ sendiri diambil dari  ‘masjid terminal’ yang dekat dengan di mana sekolah itu dibangun. Berawal dari perkumpulan pemuda masjid yang peduli untuk mengajar anak-anak jalanan di sekitar terminal, Sekolah Master berdiri dan bertumbuh untuk menjangkau lebih banyak anak marginal. Sekolah ini menerima siapapun yang ingin belajar, entah itu anak jalanan ataupun anak-anak yang tidak mampu melanjutkan biaya studi di sekolah negeri. Selama siswa ada kemauan belajar, Master akan fasilitasi. Kelas TK-SMA ada di Master dan dibuka dari pagi sampai malam dengan jadwal tertentu.
Meskipun sekolah ini bertujuan mulia, ada berbagai hambatan yang menjadikan sekolah ini harus bergelut, berjuang mempertahankan keberadaannya. Hambatan pertama adalah masalah kurang memadainya infrastruktur yang ada. Namun, hal itu kurang lebih dikarenakan sumber dana yang minim dan sangat kurangnya dukungan pemerintah. Sumber dana itu pun murni hanya berasal dari para donatur. Para guru dan staff juga adalah sukarelawan. Kedua, adalah masalah lingkungan. Anak-anak harus dididik lebih ekstra karena sehari-hari hidup dekat lingkungan premanisme dan tindak penyimpangan sosial lainnya. Ketiga, yaitu soal pemerintah kota yang akan menggusur Sekolah Master. Hal itu dikarenakan menurut tata ruang wilayah kota Depok, daerah itu akan dijadikan pusat grosir. Meskipun Master telah memilik surat izin sejak tahun 2007 dan telah diadakannya akomodasi dengan walikota yang diliput media sosial, bagian SD dan SMP di Master akan tetap terkena gusur. Pemerintah mengatakan akan memindahkan Sekolah Master, tetapi belum diberi tahu di mana lokasi tepatnya. Selain itu, hal tersebut juga menjadi kendala karena jikalau pindah tempat, harus dimulai dari nol lagi dan hal itu sangat sulit. Keempat, yaitu mengenai perolehan ijazah untuk siswa yang akan lulus. Hal itu disebabkan oleh bayaran yang sangat minim kepada dinas, ijazah pun dipersulit, entah itu ditidakluluskan atau nilainya diturunkan. Jika ditinjau ulang, dapat terlihat bahwa hambatan-hambatan Master berasal dari eksternal. Kalaupun masalah infrastrukur, hambatan internal, dapat dikatakan bahwa itu pun terkait dengan masalah eksternal.
Mengetahui fakta-fakta tersebut, saya pribadi, kecewa dengan perlakuan pemerintah kota, khususnya dinas. Pemerintah yang seharusnya mengayomi anak-anak yang kurang dan membutuhkan, malah mempersulit organisasi sosial yang peduli terhadap anak-anak marginal itu. Jikalau bicara tentang lokasi Master terkait dengan tata ruang wilayah yang ada, mungkin memang pemerintah ingin merapikan Depok. Namun, seharusnya Sekolah Master diberi kepastian di mana lokasi selanjutnya untuk bisa tetap menjangkau anak-anak yang kekurangan dan yang telah belajar di sana. Pemerintah seharusnya juga memfasilitasi, bukan mempersulit. Dinas yang seharusnya menolong anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan, malah mempersulit ijazah hanya karena masalah uang atau kurang bayaran.
Sebenarnya masalah serupa tak jarang lagi terjadi. Banyak juga sekolah di daera-daerah lain di Indonesia yang mendapatkan kesulitan serupa dari dinas. Mungkin orang-orang pemerintah itu meragukan kualitas siswa-siswi yang ingin diluluskan, tetapi apakah itu jawaban untuk keraguannya? Di mana peran mereka yang seharusnya memperjuangkan pendidikan untuk masyarakat Indonesia terlepas dari apa latar belakang sang siswa?
            Fenomena Sekolah Master ini merupakan satu dari sepersekian ribu sekolah kecil yang ada di berbagai penjuru di Indonesia. Melihat fenomena sosial yang seperti ini, akankah kita sebagai penerus generasi muda bangsa tetap berpangku tangan, tidak terlalu mementingkan pendidikan di Indonesia? Akankah kita tetap memberikan kritik tanpa melakukan aksi? Akankah kita tetap bersandar penuh pada pemerintah dan membiarkan pemerintah yang bertanggung jawab, meskipun kita telah tahu masih bobroknya karakter pemerintahan di Indonesia? Di mana lagi mata yang celik untuk melihat bahwa pendidikan sangat penting untuk pembangunan Indonesia jangka panjang? Melihat perlakuan dinas yang seperti itu, apa sebenarnya kriteria kelulusan untuk anak-anak Indonesia? Apa standar kelulusan untuk anak-anak bangsa?

Kembali pada persoalan Master. Solusi yang bisa saya tawarkan sebagai mahasiswa baru yang masih minim dalam berpikir adalah lebih mengenalkan Master kepada warga-warga sekitar lewat media sosial, sosialisasi langsung, dan acara-acara pameran karya anak Master. Lewat media sosial, para pengurus Mater bisa mengedepankan informasi-informasi tentang Master, kepedulian Master terhadap anak-anak marginal di Depok, share foto-foto kegiatan anak-anak Master, dan lan-lain. Hal itu bisa dilakukan untuk menarik hati pembaca agar ikut sadar betapa pentingnya pendidikan dan bahagianya anak-anak itu memperoleh pendidikan. Tak hanya itu. melalui sosialisasi langsung, para pengurus Master juga bisa melakukan orasi-orasi singkat untuk mengajak dan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda dan apa visi misi tujuan Master yang berkaitan dengan mencerdaskan anak bangsa. Selain itu, Master seharusnya bisa mengadakan acara pameran karya-karya anak Master. Misalnya, dalam bidang menulis dan menggambar. Hal itu sebagai bukti dan menunjukkan kepada warga dan para pendatang bahwa kegiatan yang dilakukan di Master benar-benar edukatif, serta mengajar anak untuk berkarya. Dengan begitu, berserah kepada Yang Maha Kuasa, semoga ada banyak mahasisa cerdas yang ikut menjadi volunteer sebagai pengajar.
Selamatkan Sekolah Master!