Seperti yang ditegaskan dalam UUD 1945
pasal 31, pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Namun, masih banyak
anak-anak Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan yang sewajarnya
dikarenakan masalah dana, akses, infrastruktur, dan lain-lain. Masalah itu
bukan lagi sesuatu yang asing bagi kita.
Sebagai cara untuk menjawab permasalahan
tersebut, Sekolah Master yang berada di Depok, bersedia mengajari anak-anak
marginal dengan gratis. Dengan semangat untuk memberikan pendidikan kepada
anak-anak kurang mampu, Sekolah Master berdiri dan berkembang.
Nama ‘Master’ sendiri diambil dari ‘masjid terminal’ yang dekat dengan di mana
sekolah itu dibangun. Berawal dari perkumpulan pemuda masjid yang peduli untuk
mengajar anak-anak jalanan di sekitar terminal, Sekolah Master berdiri dan
bertumbuh untuk menjangkau lebih banyak anak marginal. Sekolah ini menerima
siapapun yang ingin belajar, entah itu anak jalanan ataupun anak-anak yang
tidak mampu melanjutkan biaya studi di sekolah negeri. Selama siswa ada kemauan
belajar, Master akan fasilitasi. Kelas TK-SMA ada di Master dan dibuka dari
pagi sampai malam dengan jadwal tertentu.
Meskipun sekolah ini bertujuan mulia, ada
berbagai hambatan yang menjadikan sekolah ini harus bergelut, berjuang
mempertahankan keberadaannya. Hambatan pertama adalah masalah kurang memadainya
infrastruktur yang ada. Namun, hal itu kurang lebih dikarenakan sumber dana yang
minim dan sangat kurangnya dukungan pemerintah. Sumber dana itu pun murni hanya
berasal dari para donatur. Para guru dan staff juga adalah sukarelawan. Kedua, adalah
masalah lingkungan. Anak-anak harus dididik lebih ekstra karena sehari-hari
hidup dekat lingkungan premanisme dan tindak penyimpangan sosial lainnya.
Ketiga, yaitu soal pemerintah kota yang akan menggusur Sekolah Master. Hal itu
dikarenakan menurut tata ruang wilayah kota Depok, daerah itu akan dijadikan
pusat grosir. Meskipun Master telah memilik surat izin sejak tahun 2007 dan
telah diadakannya akomodasi dengan walikota yang diliput media sosial, bagian
SD dan SMP di Master akan tetap terkena gusur. Pemerintah mengatakan akan
memindahkan Sekolah Master, tetapi belum diberi tahu di mana lokasi tepatnya.
Selain itu, hal tersebut juga menjadi kendala karena jikalau pindah tempat,
harus dimulai dari nol lagi dan hal itu sangat sulit. Keempat, yaitu mengenai
perolehan ijazah untuk siswa yang akan lulus. Hal itu disebabkan oleh bayaran
yang sangat minim kepada dinas, ijazah pun dipersulit, entah itu
ditidakluluskan atau nilainya diturunkan. Jika ditinjau ulang, dapat terlihat
bahwa hambatan-hambatan Master berasal dari eksternal. Kalaupun masalah
infrastrukur, hambatan internal, dapat dikatakan bahwa itu pun terkait dengan
masalah eksternal.
Mengetahui fakta-fakta tersebut, saya
pribadi, kecewa dengan perlakuan pemerintah kota, khususnya dinas. Pemerintah
yang seharusnya mengayomi anak-anak yang kurang dan membutuhkan, malah
mempersulit organisasi sosial yang peduli terhadap anak-anak marginal itu. Jikalau
bicara tentang lokasi Master terkait dengan tata ruang wilayah yang ada,
mungkin memang pemerintah ingin merapikan Depok. Namun, seharusnya Sekolah
Master diberi kepastian di mana lokasi selanjutnya untuk bisa tetap menjangkau
anak-anak yang kekurangan dan yang telah belajar di sana. Pemerintah seharusnya
juga memfasilitasi, bukan mempersulit. Dinas yang seharusnya menolong anak-anak
Indonesia untuk memperoleh pendidikan, malah mempersulit ijazah hanya karena
masalah uang atau kurang bayaran.
Sebenarnya masalah serupa tak jarang lagi
terjadi. Banyak juga sekolah di daera-daerah lain di Indonesia yang mendapatkan
kesulitan serupa dari dinas. Mungkin orang-orang pemerintah itu meragukan
kualitas siswa-siswi yang ingin diluluskan, tetapi apakah itu jawaban untuk
keraguannya? Di mana peran mereka yang seharusnya memperjuangkan pendidikan
untuk masyarakat Indonesia terlepas dari apa latar belakang sang siswa?
Fenomena
Sekolah Master ini merupakan satu dari sepersekian ribu sekolah kecil yang ada
di berbagai penjuru di Indonesia. Melihat fenomena sosial yang seperti ini,
akankah kita sebagai penerus generasi muda bangsa tetap berpangku tangan, tidak
terlalu mementingkan pendidikan di Indonesia? Akankah kita tetap memberikan
kritik tanpa melakukan aksi? Akankah kita tetap bersandar penuh pada pemerintah
dan membiarkan pemerintah yang bertanggung jawab, meskipun kita telah tahu
masih bobroknya karakter pemerintahan di Indonesia? Di mana lagi mata yang
celik untuk melihat bahwa pendidikan sangat penting untuk pembangunan Indonesia
jangka panjang? Melihat perlakuan dinas yang seperti itu, apa sebenarnya
kriteria kelulusan untuk anak-anak Indonesia? Apa standar kelulusan untuk
anak-anak bangsa?
Kembali pada persoalan Master. Solusi yang
bisa saya tawarkan sebagai mahasiswa baru yang masih minim dalam berpikir
adalah lebih mengenalkan Master kepada warga-warga sekitar lewat media sosial,
sosialisasi langsung, dan acara-acara pameran karya anak Master. Lewat media
sosial, para pengurus Mater bisa mengedepankan informasi-informasi tentang
Master, kepedulian Master terhadap anak-anak marginal di Depok, share foto-foto kegiatan anak-anak
Master, dan lan-lain. Hal itu bisa dilakukan untuk menarik hati pembaca agar
ikut sadar betapa pentingnya pendidikan dan bahagianya anak-anak itu memperoleh
pendidikan. Tak hanya itu. melalui sosialisasi langsung, para pengurus Master juga
bisa melakukan orasi-orasi singkat untuk mengajak dan menyadarkan masyarakat
tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda dan apa visi misi tujuan
Master yang berkaitan dengan mencerdaskan anak bangsa. Selain itu, Master
seharusnya bisa mengadakan acara pameran karya-karya anak Master. Misalnya,
dalam bidang menulis dan menggambar. Hal itu sebagai bukti dan menunjukkan
kepada warga dan para pendatang bahwa kegiatan yang dilakukan di Master
benar-benar edukatif, serta mengajar anak untuk berkarya. Dengan begitu, berserah kepada Yang Maha Kuasa, semoga ada banyak mahasisa cerdas yang ikut menjadi volunteer sebagai pengajar.
Selamatkan Sekolah Master!