Selasa, 29 April 2014

Takut

Pernahkah...

Engkau sedang terpaut dengan satu hal. Satu hal yang berkomitmen dan kau tahu, akan penuh gejolak dan dinamika. Akan ada derai tawa dan tetes air mata. Akan penuh warna layaknya langit Bumi ini.

Namun, seberapa sering pun kau mengatakan kau 'tahu', kau tetap memiliki ketakutanmu sendiri.

Ketakutan yang merupakan tumpukan dari berbagai kepingan pikiran menerawang penuh keraguan dan kekhawatiran akan tiap inci peristiwa berikutnya. Ketakutan yang kau tahu, jikalau kau pertanyakan sekarang pun, tidak akan ada jawaban yang bisa seratus persen meredakannya. Ketakutan yang kau tahu, tak akan bisa tuntas dalam waktu dekat karena hanya satu jawaban yang dimilikinya: 'percaya'.

Ketakutan itu kadang menyesakkan hati. Kadang, membuat dirimu gundah-gulana seperti tiada pijakan. Padahal, kau tahu betul di mana kau berpijak dan kepada siapa kau harus berpegang. Padahal, kau tahu jelas siapa yang menuntunmu. Padahal, kau tahu jelas siapa yang selalu akan merengkuhmu erat kapanpun kau membutuhkannya. Kau sadar betul akan hal itu. Namun, rasa takut itu tetap ada.

Apakah, itu karena kurang 'percaya'?

Entahlah. Mungkin. Padahal, kau tahu benar mengapa terkadang Sang Maha Kuasa mengizinkan penderitaan terjadi. Tak pernah ada maksud jahat. Tak pernah. Setitik pun, tak ada.

Mungkin, prinsip bahwa hal buruk itu terkadang malah bisa memperbaiki hal yang baik perlu benar-benar ditanamkan dalam diri yang penuh kerisauan ini.

Dan harus jauh lebih percaya.


Senin, 28 April 2014

Misteri

    Jikalau langit bisa lebih dari sekadar menaungi kita, apa yang akan ia peluk? Jikalau dedaunan bisa lebih dari sekadar bergemerisik, apa yang akan mereka katakan? Jikalau angin bisa lebih dari sekadar berdesir, apa yang akan dihembuskannya? Jikalau air bisa lebih dari sekadar mengucur atau bergemericik, apa yang akan ditenggelamkannya?

   Jikalau aku bisa lebih dari sekadar berdiri mematung mengamatimu dari jauh, apa yang akan kuucapkan padamu? Jikalau kau bisa lebih dari sekadar melihat ke sekelilingmu, apa yang akan kau lihat dari diriku? Jikalau kita bisa saling bergenggaman tangan, apa yang akan kita tempuh bersama?

    "Langitnya biru, ya."

    "Kamu dengar bisikan-bisikan dedaunan itu?"

    "Anginnya cukup kencang, ya. Dingin."

    "Kamu dengar deburan ombak semalam?"

    Engkau memporak-porandakan pikiranku. Meski aku selalu berada di luar lingkaranmu, aku tidak pernah berhenti memimpikanmu. Mendambakanmu itu sudah menjadi kebiasanku. Mengais-ngais udara setiap malam hanya untuk mengingatkan diriku bahwa kau tidak bisa kuraih. Mendengus kesal setiap kali kau terbersit di kepalaku. Itu sering.

    Atau mungkin, kau yang berada di luar lingkaranku.

    Ah, tidak. Buktinya, aku memperhatikanmu. Aku sadar betul akan keberadaanmu.

    Aku saja yang berada di luar lingkaranmu. Selalu. Tak pernah kau sadari, apalagi diperhatikan. Aku ini kasat mata bagimu. Kau dibutakan oleh sekelilingmu.

    Mereka. Apa kau puas dengan 'mereka' semua? Di mana sih, kacamatamu?

  "Tatapan langit begitu tajam. Biru yang cerah, aku suka. Namun, aku tak kuasa membendung kritikannya terhadap manusia. Kita bersalah pada langit."

    "Daunnya begitu hijau. Ada dedaunan yang berwarna ungu, gak, ya?"

    "Ketika angin berhembus pun, alam mengutarakan perasaannya."

    "Ombaknya cukup kencang. Seram. Aku tidak mau dekat-dekat."

    Aku tidak mengerti mengapa kau memikat hatiku. Mungkin pesonamu, atau karena elok rupamu. Aku tak mengerti. Padahal, kau selalu tidak mengerti kata-kata yang aku ucapkan. Tak ada untaian kataku yang dapat memicu langkah benakmu. Apalagi memacu. Aku tidak pernah bisa menarik pelatukmu. Begitu pula dengan kau, bagiku. Padahal, kau tidak pernah ingin membahas apa yang kuujarkan. Tertarik pun, tidak. Padahal, kita terlalu berbeda. Baik dari dunia sendiri, maupun sampai butiran-butiran udara. Apa yang membingkai dirimu tentu tidak akan pernah membingkai diriku. Dekat pun, tidak.

    Selamanya, akan selalu ada jurang di antara kita.

    Apa makna dari misteri ini?

    'Makna' itu ada di luar sana, tersedia di luar sana dan menunggu untuk ditemukan. Hanya saja, kita manusia, terlalu suka dan sering salah mengartikan 'makna'.



Minggu, 06 April 2014

Tanpa Anugerah-Nya, Tak Akan Kumiliki Persahabatan Ini

Sahabat seperti apa yang umumnya kita dambakan untuk miliki selama masa remaja di SMA? Mungkin sahabat yang ada kapanpun dibutuhkan, sahabat yang rela melewati suka-duka kehidupan bersama kita, sahabat yang setia kawan (kalau bisa langgeng sampai tua), atau sahabat yang bisa diajak bicara mengenai apapun tanpa rasa letih atau bosan. Banyak versi. Banyak kriteria: pendengar yang baik, ramah, jujur, setia kawan, asyik, pengertian, dan lain-lain.

Pada kesempatan tulis-menulis (ngetik, sih) ini, aku tidak ingin membicarakan soal keegoisan kita sebagai manusia yang seringkali selalu ingin mendapatkan teman 'terbaik' tanpa menilik diri sendiri terlebih dahulu. Aku tidak akan menceritakan tentang betapa menyenangkannya menemukan seorang sahabat yang bisa tertawa ria bersama meski dalam keadaan ingin menangis atau betapa "adventurous-nya" memiliki seorang sahabat yang selalu menguji kesabaran kita, tetapi juga memberi hal-hal manis pada kita. Aku hanya ingin sharing mengenai betapa bersyukurnya dianugerahkan seorang sahabat sepertumbuhan rohani.

Pada awal SMA, seperti anak remaja biasanya, aku menginginkan seorang sahabat yang menyenangkan: bisa diajak tertawa dan berfoto ria, makan-makan bersama di cafe-cafe anak muda, selera humor yang sama, selera topik pembicaraan yang sama. Aku membayangkan kami akan memiliki dunia sendiri ketika bersama dan menjadi gerombolan kami sendiri tanpa peduli orang lain mau ngomong apa. Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasa persahabatan seperti itu sangat dangkal (tidak bisa memperkaya satu sama lain secara wawasan dan kedewasaan) dan kehidupan suatu individu atau kelompok itu tidak lepas dari lingkungan sekitarnya. Kita tidak bisa main "suka-suka gue" karena sifat individualistis seperti itu mengancam dan bahkan meruntuhkan integrasi masyarakat multikultural. Sederhananya, individu atau kelompok yang baik itu adalah mereka yang memedulikan individu dan kelompok lainnya.

Pada pertengahan SMA, aku mulai menginginkan seorang sahabat yang bisa sama-sama berpikir tajam. Aku menginginkan sahabat yang bisa diajak berdiskusi, berpikir kritis, dan bermimpi besar (idealis, tepatnya). Bagiku, hari-hari yang diwarnai dengan berbagai pemikiran mendalam nan luas itu lebih menantang dan kaya akan petualangan. Mengapa? Karena seluk beluk jiwa dan pikiran manusia itu merupakan suatu misteri. Selain itu, aku juga ingin belajar untuk lebih mengerti orang lain, baik orang yang selaras maupun yang sangat bertolak belakang denganku. Namun, seiring berjalannya waktu, aku kembali menemukan 'kehambaran'. Persahabatan seperti itu...masih belum lengkap. Masih ada sesuatu yang hilang, kurang, entahlah. Meskipun sahabat seperti itu lebih menarik daripada bayangan pertemananku pada awal SMA, tetap saja ada satu titik di mana rasanya kehidupan ini hambar dan malah menambah kepenatan. Mengapa? Baru kutemukan di kemudian hari, bahwa itu karena kami hanya berkutat di 'dunia manusia'. Tidak ada relasi dengan Sang Pencipta. Itulah yang membuatnya kurang.

Jikalau kita hanya berkutat di 'dunia manusia', pasti akan selalu ada rasa 'kosong' di sudut hati kita. Entah kapan rasa kekosongan itu akan menyeruak. Ketika rasa kosong itu telah menghantui hari-hari kita, kembalilah kepada Sang Pencipta. St. Agustinus menyebutkan tempat khusus di sudut hati jiwa terdalam itu sebagai "God-shaped vacuum that only God can fill." Maka, kembalilah kepada Tuhan melalui Yesus Kristus karena hanya Dialah yang bisa mengisi dan memenuhi hati kita dengan sempurna. Melalui Yesus Kristus, relasi kita dengan Allah akan kembali dipulihkan dan dijamin, tak akan lagi ada rasa kekosongan dalam jiwa ini.

Kembali pada topik persahabatan.

Pada penghujung SMA ini, aku mulai sadar bahwa yang paling berharga dari sebuah 'momen persahabatan' adalah ketika kita menemukan seorang sahabat sepertumbuhan rohani. Dalam persahabatan itu, yang kami pikirkan dan bicarakan secara kritis tidak hanya mengenai 'manusia', tetapi juga mengenai relasi pribadi dengan Tuhan. Yang kami pikirkan dan bicarakan tidak hanya mengenai 'ada apa dengan dunia ini', tetapi juga mengenai kerohanian dan pergumulan satu sama lain. Kami saling bertukar pikiran, menguatkan dan mengingatkan, serta bertumbuh di dalam Tuhan. Atas anugerah-Nya, kami melibatkan Tuhan sebagai Aktor Utama dalam hubungan persahabatan kami. Itulah yang terpenting dan terindah. Persahabatan seperti itulah yang begitu berharga. Saling mendewasakan. Saling mengasah, baik secara mental maupun emosi, dan tidak hanya bersandar pada rasio manusia, tetapi bersandar pada Tuhan, satu-satunya sumber pengertian, hikmat, dan kebijaksanaan.

Aku tidak akan menceritakan apa saja pergumulan kami karena bukan itu yang ingin kutekankan (lagipula, maaf, kurasa pembaca tidak perlu mengetahuinya).

Menemukan dan memiliki sahabat sepertumbuhan rohani itu sangat indah dan penting. Indah karena terasa begitu nyata bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita sendiri. Penting karena bisa saling menguatkan dan mengingatkan di dalam pergumulan serta pertumbuhan iman. Tuhan menyediakan orang-orang tertentu di sekitar kita yang peduli dan bisa saling berbagi berkat-Nya. Namun, jangan sampai kita lupa bahwa tidak ada manusia yang bisa dijadikan andalan dan sandaran. Kita tetap harus tahu bahwa sewaktu-waktu orang terdekat kita itu bisa mengecewakan dan meninggalkan kita. Hanya Tuhan Yesus Kristus yang tidak akan pernah meninggalkan ataupun mengecewakan kita. Di dalam Dia kita akan menemukan kepenuhan dan sukacita sejati. Kita tidak akan pernah merasa sendirian jika terus berpegang pada-Nya.

Sangat kusadari (perlu kukatakan, bahwa kesadaran itu tidak lepas dari anugerah-Nya) bahwa relasi antar manusia tanpa didasari oleh relasi pribadi dengan Tuhan akan terasa tidak lengkap, bahkan hambar dan 'kosong'. Hal itu dikarenakan kita tidak akan menemukan 'makna' tanpa kembali kepada Sang Pencipta. Makna yang sesungguhnya, makna yang bertautan dengan Kebenaran Sejati, makna yang terindah dan tak tergantikan.

Aku sangat bersyukur bahwa pada akhir-akhir masa SMA ini, Tuhan menganugerahkanku seorang sahabat yang juga rindu untuk mempererat relasi pribadi dengan Tuhan dan bersandar pada-Nya. Aku sangat bersyukur Tuhan tidak pernah melepaskan tuntunan-Nya dari kami. Aku sangat bersyukur Tuhan terus membimbing kami melewati berbagai pergumulan dan terus memberikan bermacam-macam pergumulan untuk menguji serta menumbuhkan iman kami. Aku sangat bersyukur karena Tuhan telah menyadarkan dan terus menguatkan kami. Di dalam Tuhan, kuyakin, kami akan terus bersama-sama bertumbuh. Kuyakin, kami akan saling mendoakan dan mendoakan orang lain juga. Kuyakin, kami akan terus saling menyemangati untuk membaca Firman Tuhan, mengingat betapa penting Firman-Nya dan doa bagi tiap pribadi orang percaya untuk berelasi dengan Dia. Kuyakin, kerohanian kami akan terus bertumbuh dalam segala hal dengan Kristus sebagai Kepala (Efesus 4:15).

Tanpa anugerah-Nya, tak akan kumiliki persahabatan ini.
Terima kasih, Tuhan.
Sola Gracia. Soli Deo Gloria.