Sabtu, 09 Maret 2013

Bab 2 --- Lamunan di Kala Subuh

Aku terbangun.

Mimpi itu lagi. Mimpi yang mengalahkan semua momen terbaik hari itu. Mimpi yang menikamku setiap malam. Mimpi yang telah menghantuiku selama tiga tahun belakangan ini. Mimpi yang menyesakan hatiku, menyulitkanku menghirup udara, dan membuatku berkeringat hingga terbangun dengan napas terengah-engah. Mimpi buruk yang terus terulang-ulang di kala tidur malamku.

Sekarang masih pukul 02.30. Tidak biasanya aku memilih untuk bangun, keluar kamar, dan mengambil air. Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil gelas seraya berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun. Aku berjingkat-jingkat melewati kamar papa, lalu dengan hati-hati kubuka pintu dapur, menggeser pintu kaca lemari gelas, dan memencet tombol dispenser. Air mengucur keluar. Kunikmati melodi air bergerimicik dan menyentuh permukaan gelas itu. Meskipun hari masih subuh, aku tidak merasa ingin kembali tidur.

Menikmati tiap melodi kehidupan adalah kesukaanku. Ketika angin berhembus, kurasakan melodi sapuan alam kepada wajahku, kuliku, dan rambutku. Angin yang bersepoi-sepoi itu ibarat melodi yang membisikan kelembutan dan kesejukan alam ini. Ketika matahari sedang bersinar dengan teriknya pada siang hari, kurasakan sengatannya sebagai melodi yang menghangatkan sekaligus memanaskan jiwaku. Sinar matahari itu ibarat melodi yang menggembirakan, menghangatkan, sekaligus mematikan jika terus membiarkan diri ini terbakar di dalamnya. Ketika hujan turun, rintikan suara hujan pada jendela dan atap rumah seperti melodi yang memperingatkan betapa banyaknya peristiwa di dalam kehidupan ini. Peristiwa-peristiwa itu tak terhitung jumlahnya. Ada yang menyakitkan, ada pula yang menyenangkannya. Semua itu menghidupkan diri yang tiada taranya ini, jika dibandingkan dengan luasnya alam semesta.

Sekarang ini, mendengarkan melodi gemericik air yang turun ke dalam gelas, mengingatkanku akan betapa kecilnya diriku dalam seluruh kehidupan alam semesta ini. Aku diturunkan dari atas sana, lalu hidup di dunia ini. Jika aku tidak cukup berhati-hati, satu hempasan dari sebuah badai saja akan mematikanku.

Kesunyian pun memiliki suaranya tersendiri. Kesunyian diibaratkan sebagai perasaan kesepian. Ironinya, ketika kau berdiri di tengah keramaian orang pun, kau bisa merasa kesepian. Itulah hidup.

Aku meneguk habis segelas penuh air itu. Tak tahu apa yang ingin kulakukan, aku berjalan ke arah meja makan, lalu duduk di kursi tempat biasa aku duduk ketika makan bersama papa di meja itu. Tiba-tiba pikiranku melayang kepada peristiwa sore itu. Kemarin sore, tepatnya.

Dia begitu menawan. Senyumnya yang mempesona sanggup memikatku dalam hitungan detik. Tidak, bukan hanya itu. Matanya. Ya, matanya yang amat menawan hati ibarat sebuah magnet yang menarikku kepadanya.  Ketika dia mulai duduk di sampingku, entah mengapa jantungku mulai berdegup tiga kali lebih kencang. Mungkin karena itu juga aku menjadi enggan berbicara banyak pada awal-awalnya. Bukan hanya karena aku sedang berhati-hati, tetapi juga karena aku sudah jauh lebih dulu terpesona kepadanya ketika dia mendekatiku. Jika suara dan penampilannya membuatku bergidik, aku jamin aku pasti akan megusirnya terlebih dahulu bahkan sebelum ia sempat berbicara sepatah katapun.

Nathan. Kuulangi nama itu di benakku beberapa kali. Nathan, Nathan, Nathan.

Beberapa gambar terbersit di benakku. Gambar-gambar yang berisi aku dan dia. Mungkin, kami bisa kembali mengulangi sore itu di mana kami saling mengobrol, tertawa, dan bercanda. Tentunya dengan topik-topik pembicaraan lain. Mungkin, kami bisa berjalan-jalan menyusuri kota kecil ini sambil bercerita-cerita atau saling menanyakan pertanyaan aneh dengan jawaban mengambil salah satu dari berbagai perisitiwa di kehidupan kami. Mungkin, kami bisa kembali duduk berdampingan di bukit itu pada malam hari. Entah untuk bernyanyi, bersama-sama menggila, atau hanya duduk diam merenungi kehidupan masing-masing, lalu tersenyum kepada satu sama lain. Mungkin, kami bisa berbaring berdampingan di atas bukit itu pada malam hari, saling bercerita-cerita seraya melihat bintang-bintang gemerlapan di langit malam yang menaungi kota ini. Gambar-gambar itu terlukis indah dan sangat menggoda diriku.

Aku menghela napas. Hati kecil ini sangat berharap bisa menemuinya lagi sore nanti. Pikiran ini mulai membayangkan hal-hal apa yang dapat kami lakukan bersama. Emosi diri ini mulai menyetirku ke arah yang selama ini aku hindari. Merindukan orang itu. Menyelami pikiran sendiri tentang orang itu. Membayangkan segala hal manis yang dapat dilakukan bersama orang itu. Mengharapkan betapa indahnya jika hari-hari ini dilalui dengan bersamanya.

Jatuh cinta. Tidak, aku belum siap akan hal itu. Aku tidak mau direpotkan oleh hal itu.

Lagipula, dia belum mengetahui nama asliku. Aku belum memberitahunya. Akankah dia marah, jika tahu aku telah membohonginya sejak awal? Aku hanya berbohong soal namaku. Kurasa, itu bukan masalah besar. Kurasa, dia akan mengerti mengapa aku memakai nama palsu untuk berkenalan dengannya. Aku yakin hal sekecil itu dia pasti bisa mengerti.

Tiba-tiba pintu kamar papa terbuka. Suara papa segera membuyarkan lamunanku.

"Alicia? Sedang apa kau sendirian di sana?" Suaranya terdengar serak dan berat. Suara itu semakin pudar dan berat saja rasanya. Mungkin papa sedang flu, pikirku.

Postur badan papa yang tidak setegap dan seyakin dulu, bahu papa yang semakin lama semakin turun, wajahnya yang semakin menyiratkan penyesalan dan kesedihan mendalam, menyadarkanku akan betapa telah menuanya laki-laki yang telah membesarkanku ini. Meskipun awalnya aku sangat takut untuk berhadapan dengannya, dia tidak pernah berhenti membiayakan segala kebutuhanku. Mungkin pada awalnya, semenjak kepergian mama, papa pun tidak tahu harus bagaimana. Kami hampir tidak pernah berbicara selama beberapa bulan. Suasana rumah diwarnai dengan kesunyian, kedinginan antara satu sama lain, amarah, dan kesedihan. Tak lupa dengan penyesalan. Namun, ketika hari-hari kami mulai mencair menjadi suatu lembaran baru yang menanti untuk diwarnai warna-warna cerah, papa mengajakku pergi bertamasya. Beliau mengajakku mendaki gunung di sebuah dataran tinggi, lalu hal itu mendapat respon positif dariku yang sangat menyukai segala petualangan yang berbau alam. Mulai saat itu, sedikit demi sedikit kami mulai berbicara lagi. Butuh waktu beberapa bulan kemudian untuk kami saling berbagi cerita mengenai hari-hari kami. Satu hal yang selama ini tidak pernah kami bahas lagi adalah mengenai ibuku. Sejak kepergiannya hingga aku dan papa mulai saling mengobrol lagi, mama tidak pernah menjadi topik pembahasan kami. Bicarakan tentang cuaca, iklim, masyarakat, pemerintahan, alam, luar negeri, dan lain-lain. Namun, jangan pernah membawa soal 'mama' di antara kami. Hal itu mungkin masih menjadi luka terdalam di hati kami.

Aku berdeham, berusaha menyembunyikan senyumku ketika sedang memikirkan Nathan. Aku berharap papa tidak melihatku melamun sambil tersenyum-senyum seperti orang gila. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, seraya berkata, "Tidak, Pa. Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengambil minum." Dia mengangguk-angguk seperti bisa menebak apa yang kupikirkan sebenarnya, lalu mendatangiku. Ia duduk di seberangku, di sisi lain meja makan tempat biasa ia duduk ketika makan.

Aku memandanginya. Ingin sekali aku bertanya kepadanya akan alasan dia sering memarahi, meneriaki, dan menyakiti mama lima tahun lalu. Ingin sekali aku menanyakannya mengenai semua memori kelam itu. Namun, aku tahu peraturannya. Aku mengerti. Membawa masa lalu yang kelam hanya akan memperburuk saat-saat ini. Aku menghela napas dan membuka mulut untuk bersuara.

"Maaf kalau aku mengganggu tidur Papa. Aku ingin segera kembali ke kamar. Papa mau minum?"

Papa hanya memandangi gelas kosong yang kuletakan di meja makan. Dia terbatuk-batuk untuk beberapa saat. Aku berdiri untuk berjalan ke arahnya, bermaksud untuk menepuk-nepuk punggungnya dan memberinya segelas air. Namun, ia tidak mau aku melakukan semua itu. Dia mengangkat tangannya, membuka telapak tangannya, mengisyaratkanku untuk tetap diam di tempatku.

"Aku baik-baik saja," katanya. "Tak perlu khawatir."

Aku tertegun. Sebenarnya, apa yang selama ini dia sembunyikan dariku selain dari persoalan tentang mama itu? Apakah ada sedikit hal lain? Atau ternyata banyak sekali hal yang tidak kuketahui tentang kehidupannya? Aku penasaran, tetapi tidak berani bertanya. Aku takut mempersulit hatinya, meski aku tahu bahwa jauh di lubuk hatinya yang terdalam, papa tidak akan pernah berhenti menyayangiku.

"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanyanya sambil kembali menatapku.

"Baik, Pa. Semuanya berjalan dengan baik. Bagaimana dengan hari-hari Papa di kantor?"

"Seperti biasa, yang muda mulai mendominasi. Padahal, pengalaman mereka tidak lebih banyak dari sehelai kertas putih yang belum ditorehkan apapun. Yang tua mulai satu persatu, sedikit demi sedikit disingkirkan." Batuk itu datang lagi. Kemudian, dia melanjutkan, "Beruntung aku telah berelasi baik dengan bos besar di perusahaan itu, maka aku tetap akan dipertahankan hingga masa pensiunku nanti."

Aku tersenyum untuk menghibur papa. "Bersyukurlah, Pa," ujarku pelan.

Dia hanya mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, dia berbalik badan untuk kembali berjalan ke kamarnya. Aku menunggunya mengatakan sesuatu karena aku yakin dia tidak akan pergi begitu saja. Dia berjalan pelan menuju kamarnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka, aku membuka mulut bermaksud mengucapkan selamat tidur kembali pada papa. Namun, tiba-tiba suaranya terdengar ketika ia memegang grendel pintu kamar.

"Jangan sering-sering melamun seperti itu. Jangan segan-segan mengatakan perasaanmu yang sejujurnya sebelum kau menyesal. Berhati-hatilah, Anakku."

Kemudian, ia kembali masuk ke kamar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar