Kamis, 07 Maret 2013

Bab 1 --- Pertemuan Sore Itu

Aku tak kuasa menahan kesesakan ini.

Semua memori itu tak pernah bisa kulupakan. Setiap malam, pecahan-pecahan memori itu selalu mengunjungiku di dalam mimpi. Aku ingat bagaimana amarah papa membuat mama menangis. Aku ingat bagaimana aliran air mata mama mendorongnya untuk pergi dari rumah. Aku ingat bagaimana perceraian mereka tak melibatkan sedikitpun komentar dan pendapat dariku. Aku ingat bagaimana papa jatuh cinta lagi kepada wanita karier yang tak lain darinya, yaitu tidak pernah menyediakan waktu untukku. Aku ingat bagaimana rasanya ketika melihat mamaku menggandeng tangan anak lain dan mengecup pipi anak itu dengan penuh sayang. Aku ingat bagaimana mama hanya tersenyum kepadaku, anak kandungnya, di samping pria gagah yang adalah suami barunya itu. Aku ingat bagaimana cepatnya kedua orang tuaku melanjutkan hidup mereka tanpa menanyakan keadaanku samasekali. Aku ingat bagaimana rasanya mengalami semua hal  yang menaungi atap kehidupanku bak awan gelap. Aku ingat bagaimana perasaanku berjalan menyusuri butir-butiran tajam dari hujan itu. Aku ingat bagaimana kakiku kupaksa untuk tetap berdiri dalam badai yang menghujam hatiku itu. Aku ingat bagaimana semuanya terlihat seperti langit abu-abu tanpa setitik awan putih menggantung di udara. Aku ingat bagaimana aku berusaha keras merangkak keluar dari kesedihan dan kekecewaan itu. Aku tak ingin membiarkan masa depanku, impianku, mimpi-mimpiku rusak dan terbengkalai karena ulah kedua orangtuaku. Bahkan hingga saat ini, aku masih harus terus berjuang melawan tekanan itu. Tekanan yang menekan haitku serta menyudutkan mental dan batinku. Tekanan yang menyesakan hatiku. Aku tahu, aku tak boleh membiarkan emosi diri ini mengontrol diriku. Maka, aku tahu dan mengerti betul bahwa seumur hidupku, aku akan terus dihantui oleh semua hal ini dan aku tak boleh berhenti melawannya dengan kekuatanku sendiri.

Akhirnya aku luapkan seluruh emosiku yang sudah kubendung selama lima tahun silam ini dengan satu teriakan keras yang memanjang hingga dua puluh detik. Setengah dari hatiku mengatakan diri ini gila, tetapi yang setengah lain lagi mengatakan bahwa tak apa melakukan hal gila di depan orang yang baru kau temui. Setidaknya, itu sedikit berarti kau mengizinkan orang itu untuk mengintip kehidupanmu dan pribadi dirimu. Begitulah, maka tak segan-segan aku memejamkan mata dan berteriak sekeras mungkin di depan Nathan yang memandangiku dengan tawa.

Nathan. Pemuda ini tak lebih dari dua jam yang lalu berkenalan denganku. Matanya yang memancarkan sinar keceriaan dan ketenangan, air mukanya yang menyenangkan, dan rambut acak-acakannya yang menggambarkan kebebasan, memikat hatiku dalam hitungan menit. Ketika dia mendekatiku yang sedang membaca buku sendiri di bukit ini, suaranya menggetarkan hatiku. Suaranya adalah macam suara yang amat kusuka. Rendah dan tegas, tetapi juga lumayan ringan dan bebas. Warna suaranya cerah seperti langit biru sekaligus dalam setegas lautan. Dimulai dengan kata 'hai', dia berdiri di sampingku dan meminta izin untuk duduk di sampingku. Diawali dengan melihat kakinya yang panjang, aku menengadah menatap wajahnya, lalu mengangguk memperbolehkannya duduk di sampingku. Tak ada salahnya, pikirku, menerima seorang teman bicara pada sore ini.

Awalnya dia hanya bertanya sudah sejak kapan aku rutin mendatangi bukit ini, duduk, dan membaca buku sendiri di bawah pohon tua yang rindang di mana kami duduk sekarang. Aku hanya menjawab sesingkat-singkatnya, menandakan aku cukup berhati-hati kepada orang asing. Namun, pertanyaannya membuahkan pertanyaan di dalam benakku. Sudah berapa lama dia memperhatikanku datang ke bukit ini seorang diri? Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut, hanya menjawab bahwa ruitinitas ini telah menjadi kegemaranku sejak dua tahun lalu. Dia mengangguk, lalu mengenalkan dirinya kepadaku.

"Aku Nathan."

Suaranya terdengar bersahabat, tetapi juga malu-malu. Dengan senyuman, dia menyodorkan tangannya padaku untuk berjabat tangan tanda perkenalan, seperti kebiasaan manusia pada umumnya.

Aku menutup bukuku sebentar, menjabat tangannya sambil mengatakan nama palsu yang segera muncul di kepalaku, "Aku Dianne." Aku tidak bermaksud untuk membohonginya, aku hanya berhati-hati. Bagaimana kalau ternyata dia orang asing yang berbahaya? Dia bisa saja menggunakan namaku untuk melakukan hal-hal buruk, meski aku tidak tahu untuk apa tepatnya. Belum terpikirkan.

Aku kembali membuka bukuku. Dia tetap duduk di sampingku sambil memainkan jari-jarinya. Tangannya ia tumpukan di kedua lututnya yang ditekuk ke atas. Kakinya ditekuk terbuka. Gayanya cukup santai, tetapi juga terlihat waspada. Gaya duduk laki-laki muda yang semangat pada umumnya. Terlihat jelas sekali dari wajahnya, bahwa dia sedang mencari-cari topik untuk memulai pembicaraan. Melihat wajahnya yang takut dianggap aneh itu, aku mencairkan suasana dengan memulai percakapan.

"Kau suka main di daerah sini?"

Nathan menoleh kepadaku seakan-akan tidak menyangka aku akan bertanya tentang dirinya. Dengan senyuman tersungging manis di wajahnya, ia menjawab, "Iya, begitulah. Aku suka menikmati waktu kesendirianku di bukit ini. Kau juga, kan? Sudah beberapa kali aku melihatmu berjalan ke bukit ini seorang diri. Kurasa, kau telah merasa cukup dengan novelmu itu."

Aku tertawa kecil. "Ya, begitulah. Aku juga senang menyendiri di sini, menghabiskan soreku dengan membaca sendiri. Menikmati ketenangan dan terjun ke alam cerita novel yang kubaca. Kurasa ya, cukup."

Dia mengangguk-angguk kecil. Kemudian, kami pun mulai bercakap-cakap. Sekali-kali kami tertawa, tersenyum kepada satu sama lain. Kami bercerita mengenai hal-hal yang tidak pernah kami ceritakan kepada orang asing sebelumnya. Bahkan, mungkin di antara cerita-cerita itu ada yang belum pernah kami ceritakan kepada teman dekat kami. Entahlah. Ada satu-dua ceritaku yang hanya baru pertama kali ini kubagikan kepada orang lain, yaitu dia seorang. Mungkin begitu juga dengan dia. Aku harap begitu.

Entah apa yang menarikku untuk memercayainya, tetapi kurasa, kami bisa menjadi teman akrab. Aku menemukan suatu hal yang menarik diriku untuk lebih dekat kepadanya. Entahlah. Aku tidak mengerti mengapa perasaan ringan dan bebas ini datang begitu tiba-tiba. Tanpa kusangka, aku mengutarakan beberapa pemikiran dan curahan hatiku padanya.

Nathan mendengarkan setiap perkataanku dengan serius, sekali-kali ia berekspresi konyol dan lucu. Namun, tidak jarang matanya menatap serius ke arah mataku. Matanya itu, mata yang tak bisa kutolak untuk kupandang. Mata coklat yang bersinar memantulkan cahaya. Terkadang alisnya mengerut, memunculkan ekspresi prihatin atau bertanya-tanya akan perasaaanku. Tak jarang matanya melebar, lalu menyipit kembali untuk melontarkan sedikit senyuman. Aku menyukai ketegasan dan kelembutan mata itu. Aku tertarik oleh wajah yang terkesan menyambut dan bersahabat itu.

Tanpa dugaan, kami sampai di saat ini. Saat di mana dia memintaku dan memaksaku untuk berteriak sekeras yang aku bisa. Alasannya? Sederhana saja, dia tahu apa yang ingin kulakukan setelah memendam perasaan yang menyesakan selama lima tahun ini. Awalnya aku hanya tertawa dan mengatakan hal itu gila, tetapi sejujurnya selama ini aku memang ingin berteriak dan berharap seseorang akan mendengarkan.

"Tak apa. Ayo, berteriaklah! Silahkan, aku tak akan mengganggumu. Aku akan mendengarkanmu dan mungkin, aku juga akan menyahuti teriakanmu dengan teriakan yang jauh lebih keras lagi."

"Lalu setelah itu kita akan lomba berteriak?" Aku mulai tertawa, menunjukkan betapa menyenangkannya sore hari ini.

"Boleh. Terserah. Apapun yang kau mau."

Melihat mata cerahnya yang tertuju padaku, senyumnya yang mengembang di sore ini, rambutnya yang acak-acakan dan sedikit bergoyang tertiup angin yang bersepoi-sepoi ringan, aku melakukan apa yang ia minta. Aku melakukan apa yang ia minta karena dia tahu apa yang kuingini. Aku berteriak. Tak peduli berapa lama, karena ketika suara itu keluar dari kerongkonganku, rasanya aku seperti melompat menuju angkasa. Ketika suara itu keluar, ingin rasanya aku terus terbang menyusuri garis angkasa itu. Lagi dan lagi, aku tetap ingin terbang. Apalagi melihat Nathan yang tertawa di sampingku, aku lebih ingin lagi menunjukkan betapa aku berani melakukan hal gila ini dengannya. Meski memalukan, aku tak peduli. Aku rasa, Nathan memang ingin melihat sisi kegilaanku ini. Setelah sekitar dua puluh detik berteriak, aku merasa lelah. Kerongkonganku kering. Aku menyudahi teriakanku dengan tarikan napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Nathan tersenyum, merasa puas dengan hal yang telah kulakukan.

"Baiklah," katanya. "Sekarang giliranku."

Dia berteriak. Suaranya jauh lebih keras dan nyaring dariku, tetapi tidak selama aku bertahan. Ketika dia lelah, dia menyudahi teriakannya dan terengah-engah sambil tertawa. Kami berdua tertawa. Aku menonjok pelan bahunya, mengatakan, "Kau gila!" Dia membalas tonjokanku dengan senggolan pelan pada bahuku dan berkata, "Kau yang memulai. Aku hanya menemanimu menggila."

Untuk pertama kalinya, suara tawa dua orang yang baru bertemu meramaikan suasana bukit yang sepi yang tenang itu. Kami menyudahi tawa kami dengan pandangan terhadap satu sama lain. Meski perutku telah sakit karena tertawa, mulutku belum letih untuk membalas senyumannya. Bibirku mengembang, aku tersenyum melihat dirinya yang belum mengalihkan pandangannya dariku dan tetap tersenyum. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh dan dalam lagi.

Aku berdeham dan mengalihkan pandanganku darinya. Aku menunduk dan melihat bukuku telah tergeletak di sampingku. Dia telah berhasil mengambil momen yang paling kusenangi, membaca buku di bukit ini ketika sore hari menjenguk harimu. Aku tersenyum kecil mengingat tatapannya padaku tadi. Aku belum berani lagi memandangnya, maka aku menatap lurus ke depan dan mendesah. "Sudah hampir malam," kataku spontan. Aku tidak ingin menahannya lebih lama lagi. Namun, aku berharap, sangat berharap bisa berbicara lagi dengannya.

"Iya," Nathan menyahut dengan anggukan. "Hari ini menyenangkan," tambahnya.

"Oh, ya?"

"Ya. Karena pada akhirnya aku bisa mengobrol dan berkenalan dengan gadis yang telah kuperhatikan selama dua bulan belakangan ini."

Aku tertegun. Aku terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya menunduk, tak berani menatapnya. Aku tahu pasti bahwa pipiku telah merona. Meski dia telah menoleh ke arahku, aku tetap menunduk memandangi novel yang kubawa.

"Boleh aku tahu nomor handphone-mu? Kalau tidak juga tak apa, kita bisa bertemu dan mengobrol lagi di sini besok." Nathan kembali menatap lurus ke depan. "Aku sudah sangat senang, kok!"

Aku menoleh kepadanya. Apakah itu saja cukup? Akankah dia merasa lebih senang, jika dapat mengucapkan selamat malam dan selamat pagi kepadaku setiap hari? Kami bisa melanjutkan obrolan kami setiap saat, jika dia tahu nomor handphone-ku. Semua itu karena aku ingin mengetahui nomor handphone-nya juga. Aku tak ingin berhenti bicara dengannya.

Namun, aku juga tidak ingin terlalu cepat membuka diri kepada orang asing. Alasan mengapa tadi aku bisa bercerita-cerita kepadanya adalah di satu sisi, aku merasa lebih mudah bercerita kepada orang asing karena dia tidak mengenal diriku. Namun, kali ini lain soal, karena aku ingin dia mengenal diriku lebih dalam lagi. Demikian juga denganku yang menginginkan waktu lebih lama bersamanya untuk mengenalnya lebih jauh.

"Besok kita bisa bertemu lagi," ujarku pelan. "Aku tunggu kau di bawah pohon ini. Di tempat ini, tempat favoritku. Jam 4 sore." Kuberanikan diri menatapnya.

Nathan membalas tatapanku dengan balik menatapku dengan senyuman. "Bagus," sahutnya. "Aku tidak akan lupa dan pasti aku akan datang. Lalu, kita bisa melakukan hal gila lainnya."

Aku tertawa kecil. Setelah mengucapkan selamat tinggal dan sampai bertemu besok, kami berdiri dan berjalan pulang ke rumah masing-masing. Sore ini sungguh merupakan suatu hal yang baru bagi kami berdua. Aku yakin akan hal itu.

Satu hal yang kulupa, aku belum memberitahunya nama asliku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar