Kamis, 22 Mei 2014

3 Tahun dan "NO" to Time-Machine

     Gue gak pernah menyangka 3 tahun akan berlalu secepat ini.
    Banyak canda-tawa, keluhan, tangisan, dan pelajaran tentunya. Sungguh berwarna dan dinamis. Sangat patut disyukuri. Tak tergantikan dan bagian dari turning point dalam hidup gue. Ketemu dan berelasi dengan guru-guru serta teman-teman yang takut akan Tuhan dan penuh perbedaan itu suatu keindahan masa-masa SMA yang hanya satu kali. Tidak hanya ilmu pengetahuan yang didapatkan, tetapi juga prinsip-prinsip hidup Kristiani sesuai dengan Firman Tuhan which is the most important thing.
     Selama 3 tahun ini, terlalu berlimpah anugerah yang Tuhan berikan. Terkadang, gue stress sendiri, eneg sama diri gue, karena terlalu sering menyia-nyiakan anugerah-Nya. Take it for granted, bahasa kerennya. Itulah penyakit bebuyutan manusia. Dari zaman Adam dan Hawa sampai abad ke-21 melewati digital age di era postmodern begini, manusia masih saja, bahkan tambah take it for granted. Seram. Lebih seram daripada film-film horor Thailand. Kenapa? Karena bisa saja manusia menjadi seperti tikus yang mati di lumbung padi. Mati di tengah-tengah anugerah. Ini bukan seram karena si setan itu bisa dilihat pakai mata kepala, melainkan seram karena bisa aja 'setan' (keburukkan diri sendiri) itu tak terlihat oleh mata hati, alias buta secara rohani.
    Bicara soal menyia-nyiakan anugerah, apakah gue berharap supaya waktu bisa terulang sehingga gue bisa memperbaiki tiap kesalahan gue?
     Tak bisa dipungkiri bahwa selama ini, ada hal-hal yang gue sesali, dan ada pula hal-hal yang gue harapkan akan terus selamanya diam di hidup gue. Sekalipun ditawarkan time-machine, gue gak akan mau menggunakannya untuk kembali ke masa lalu. Mungkin, dengan time-machine itu, akan ada penawaran untuk mengubah kesalahan gue di masa lalu, atau memperbaiki apapun deh, sebelum ada yang terlambat dan berakhir menyedihkan sampai sekarang. Biarlah yang telah terjadi menjadi pelajaran bagi gue. Rangkaian peristiwa itu sangat gue syukuri dan pelajaran yang dibuahkan darinya gue bawa untuk menghadapi hari-hari depan nanti. Sekalipun ditawarkan time-machine, gue gak akan mau menggunakannya untuk merantau ke masa depan. Mungkin, dengan time-machine itu, akan ada penawaran untuk melihat cuplik demi cuplik bagaimana kisah gue ketika dewasa dan hari tua nanti. Mungkin, akan ada peristiwa-peristiwa buruk di masa depan yang akan terjadi akibat perilaku gue sekarang dan beberapa waktu nanti. Intinya, ya, jadi gue bisa punya 'kendali' sendiri. Bisa menduga apa yang akan terjadi dan melakukan hal lain untuk mengubah masa depan yang udah gue lihat. Ah, tapi gue gak mau. Biarlah dari sekarang sampai kapanpun, hidup ini berjalan aja sesuai rencana-Nya. Justru, hal-hal yang tak terduga itu yang memberi warna. Justru, kalau gue gak tahu, akan ada lebih banyak pelajaran dan dinamika yang terjadi nantinya. Bukan berarti gue jadi 'gak mau tahu', melainkan harus tetap mau tahu dan buka mata akan apa kehendak-Nya atas hidup gue yang singkat ini. Ora et labora. Jadi, kalau diberikan time-machine, benda yang diimpikan manusia sepanjang zaman itu akan gue biarkan terbengkalai di gudang.
    Gue mau hidup berjalan aja dengan bergandengan sama Tuhan.
    Bersyukur banget atas semua teman dan guru yang sudah diberikan Tuhan. Pasti, akan ada momen-momen yang terlupakan, entah karena dimakan waktu atau otak gue yang cupu. Namun, gue berharap we shall not forget each other. Gue berharap kami akan saling mendoakan. Mungkin satu orang gak banyak, tetapi setidaknya ada satu doa untuk setiap orang. Karena kuasa doa itu bisa bikin mulut kita menganga dan hati kita bergejolak. Bahkan, mungkin lebih.
    Gue berharap, selepas SMA ini, kami semua tetap berjalan bersama Tuhan dan bersandar terus pada-Nya. Semua itu tidak lepas dari anugerah-Nya. All great thanks to God!

    Soli Deo Gloria!


Kamis, 01 Mei 2014

Running to the Void

Imagine this.

You're standing in the midst of crowd.
You know them, but only a few who have relationships with you.
Only a few who are connected with you.
They're talking and laughing a lot while you're just trying to keep a silence.
They're full of noisiness, yet also hilarity.
Meanwhile, you keep standing still, watching them alertly.

Then suddenly, you're sick of that hectic atmosphere.
No one's without lies.
Everyone has his or her own fudge.
All you want is stillness.
Maybe, to find clarity.
Or maybe, to find back your serenity, since you believe you had it once.

You close your eyes, hoping all that clamorous sound to fade away.
It does.
Slowly, it becomes more and more serene.

You start to open your eyes.
And all you can see is refulgence.
Everything is so clear white.
You dazzle for a moment.
You narrow your eyes.

A wonderful view begins to appear.
There's a vast field of golden grass.
They're all swayed by the wind.
You can feel the wind breeze through your hair and ears.
The sky is blue and full of white cotton cloud.
What is this place?
All you can hear is silence.
All you can feel is quietude.

As you begin to enjoy the moment, your mind starts to wonder about the others.
Where are they?
You try to savour the moment and explore the place.
Where am I?
You start asking where you're standing when you realize about where the others are.

You try to fancy the view and the atmosphere, but everything you do ends up with looking for the others.
Why am I here?
You start to walk wherever the wind blows, not to explore the place, but to find someone.
How did I get here?
There's a little feeling of wanting to cry, but your mind keeps fighting it by asking one question: "Isn't this what you wanted? A solitude?"

Suddenly, you hear a voice.
A voice that's calling your name.
Some voices begin to rise.
They all are whispering, calling you by your name.
Their voices are like a glimpse of heaven.
So, what the place where you are now is called?

Thence, you start to run.
Run and run to look for the source of the voices.
Where is it? Where are they?
Begging to the sky, you keep running and hoping to find someone.
Someone you can walk together with.
Someone you can share everything with.
Someone whom you miss from the crowd that you used to execrate.

Unexpectedly, the voices begin to fade away.
It's so unforeseen.
Anxiety begins to creep in.
You run faster, as fast as you can, trying to catch one of them.
Nevertheless, it's like they run faster than you can ever be.
You cannot catch them up.
Just like from the very first start, you can grip none of them.

You're panting.
Not because you're exhausted.
But because you're afraid.
Afraid of being alone.

You fall on your knee.
Tears start falling on your cheek.
You're afraid.
Afraid of that solitude which you used to want.
You just understand nothing.
Trying to figure out where they've gone, but everything ends up with this word: 'why'

Thenceforward, you stand and start walking again.
You realize.
You realize that the voices were never real.
They are not real.
Those voices are only your thoughts.
Because you long for company in your deep heart.
Craving for serenity and clarity, but all you have now is a great void.

You realize.
That you've been left alone.