Jumat, 15 Maret 2013

Bab 3 --- Tulisan dan Nama

Dunia ini penuh dengan kejutan. Terkadang, sebuah kejutan dapat menyengatmu seperti listrik yang langsung dialirkan ke pembuluh darahmu menuju jantungmu. Terkadang, kejutan itu hanya sebatas membelalakan mata dan berteriak sesaat. Namun, yang paling menorehkan warna kehidupan adalah kejutan yang membuat dirimu mati rasa seketika. Mati rasa dalam arti kau tidak merasakan apa-apa di sekelilingmu, seakan-akan semua bunyi dan gerakan di sekitarmu terhenti hanya oleh karena kejutan itu. Kejutan yang menggoncangkan duniamu, dunia yang selama ini kau anggap baik-baik saja.

Pada suatu langkah, ada saatnya ketika kau terus mengatakan, "Semuanya akan baik-baik saja." Padahal di satu sisi, kau tahu bahwa pernyataan itu belumlah lengkap, masih butuh frasa lain untuk menyelesaikan kalimat itu. Faktanya, untuk mencapai yang 'baik-baik' itu, kau tak bisa mencakup semuanya. Kau perlu dan harus mengorbankan beberapa hal. Pemikiran yang benar adalah semakin banyak kesulitan menimpa dirimu, semakin kau menyadari betapa baik hidupmu sebelumnya. Maka, kau akan semakin bersyukur. 


Gambaranmu mengenai kehidupan yang baik pun segera pudar seiring kau berjalan dihimpit dengan berbagai duri dan semak belukar. Mungkin kau pun mulai bertanya-tanya apakah kehidupan yang baik itu hanyalah sebuah ilusi. Semuanya terlihat buram ketika hujan deras tak henti-hentinya membasahi seluruh jiwa ragamu. Bahkan hujan itu malah menimbulkan dahagamu. Kau menjadi haus akan kehangatan dan ketenangan. Kau haus akan kebahagiaan yang kau rasa pergi terbang nun jauh tinggi di atas sana.

Ketika semuanya runtuh dan harapan terasa jauh di atas sana, selama kau masih bisa bernapas, berdiri dan bangunlah tembok dan pintu yang lebih kokoh! Bangun kembali tembok yang jauh lebih tebal dan kokoh, serta tidak tembus rambatan duri. Bangun kembali pintu yang lebih hati-hati dalam membuka dan menutup. Bangun kembali dirimu dengan prinsip yang lebih kuat dan ketegaran ekstra atas pembelajaran dari tiap kesalahan. Bangun kembali pikiran dan hati yang lebih bijak dalam menyaring kehidupan ini. Tanamkan dan pupuklah hal itu!

Seberapa jauh dan kuat kau dapat bertahan, itu semua bergantung dari cara pandangmu terhadap kehidupan dan dunia ini. Selagi kau masih diberi napas kehidupan, sudah selayaknya kau tidak menyia-nyiakan anugerah itu karena itu berarti masih ada pengharapan. Meskipun cahaya itu tak terlihat lagi, haruslah kau terus berjalan untuk mencari celah di mana cahaya dapat sedikit demi sedikit masuk dan mengalahkan kegelapan itu. Jangan pernah berhenti berkaca untuk melucuti setiap kefasikan dan kelemahan dirimu. Jangan pernah berhenti mencari cahaya. Jangan pernah membiarkan diri tersungkur lemah di dalam kegelapan. Jangan pernah tanggalkan sayap yang telah sarat oleh luka karena bagaimana pun juga, kau dapat sembuh dan terbang kembali. Jangan pernah sia-siakan apa yang tersisa karena hidup ini penuh warna, jika kau bersedia untuk terus bertahan dan berjuang.


Nathan membaca tulisan itu dengan serius. Raut wajahnya yang sedikit kaku ketika keseriusan itu melanda sinar matanya, membuatku jauh lebih gugup. Jari-jemari panjangnya yang memegang buku berisi tulisan-tulisanku, terlihat mantap dengan kuku-kuku jarinya yang kotak merah muda. Kepalanya yang tertunduk dan leher jenjangnya yang menekuk, kakinya yang dilipat silang dan lengannya yang menumpu pada pahanya, apapun yang kulihat darinya memunculkan satu kata dalam benakku, 'indah'.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku duduk diam di sampingnya sambil bersenandung kecil. Jantung ini tak berhenti berdegup lebih kencang dari biasanya karena pikiranku sedang tak menentu. Aku tak bisa berhenti menerka-nerka respon apa yang akan dia berikan. Apa yang akan ia katakan, emosi apa yang akan diekspresikannya, dan tanggapan apa yang akan menetap di hatinya setelah membaca tulisanku itu. Aku terus menduga-duga bagaimana melodi bacaan itu mengalun dalam dirinya. Aku tak bisa berhenti membayangkan bagaimana kata-kata itu dibaca dan disuarakannya di dalam hatinya.

Aku bangkit berdiri, lalu mulai berjalan-jalan kecil mengelilingi pohon besar, tua, dan rindang yang menaungi kami. Kukeraskan sedikit lagu yang kunyanyikan. Melodi yang kusuarakan, tepatnya. Entah semenjak kapan, setiap kali aku gugup, pemikiranku selalu menghasilkan beberapa nada yang mendorongku untuk mennyanyikan suatu melodi. Melodi yang mengalun seirama dengan degupan jantungku dan gemerisik suara daun pepohonan ditiup angin.

Setelah beberapa menit berlalu, Nathan meletakan bukuku, dan terdiam. Serentak, aku berhenti melangkah tepat di belakangnya. Aku belum membayangkan respon ini sebelum. Dia begitu...

"Nathan?" panggilku padanya. Aku tak berani mendekatinya.

Punggungnya yang membelakangiku mengatakan betapa tenangnya ia bernapas. Bahunya sekali-kali menaik ketika ia menarik napas, dan menurun ketika ia menghembuskan napasnya. Ia terlihat begitu...

"Dianne, aku terbawa oleh tulisanmu."

Suaranya terdengar berat, tenang, dan menghangatkan hatiku. Terbawa. Dia terbawa oleh tulisanku? Apa maksudnya?

Sudah tiga hari kami terus bertemu di bawah pohon di bukit ini. Selama tiga hari belakangan ini kami tetap duduk-duduk dan saling bercerita. Ada menit-menit di kala kami duduk diam membaca buku, ada menit-menit ketika kami saling bertukar cerita dan canda seraya membiarkan tawa kami mengiringi suara kami seperti melodi yang ceria dan menghangatkan.

Pada hari yang keempat ini, aku mengizinkannya membaca salah satu tulisanku. Bagaimana dia bisa mengetahui aku senang menulis? Iu karena kemarin ketika aku sedang menceritakan masa-masa SMA-ku, tanpa sengaja aku menyebutkan hobiku itu. Tentunya, kusebutkan dengan sebuah buku yang tak pernah terlepas dari hobi menulisku itu. Tak kusangka dia mendengarkan dengan penuh perhatian, sehingga setelah matahari mulai terbenam, dia menanyakan buku yang berisi tulisan-tulisanku itu. Padahal, aku menyebutkan buku itu hanya selintas jalan saja dan aku kira dia tidak akan peduli. Namun, kerinduan di dalam suaranya dan keseriusan di matanya yang ingin melihat buku kumpulan tulisanku itu, berhasil membujukku untuk memperlihatkan beberapa tulisanku.

"Maksudku?" Aku berjalan mendekatinya, lalu kembali duduk di sampingnya. Kutekuk lutuku ke atas dan kupeluk lututku dengan kedua lenganku. Aku tak berani memandangnya, pandanganku lurus ke depan menuju rerumputan yang bergoyang ditiup angin.

"Aku menyukai setiap alunan kata dari tulisanmu. Rangkaian kata demi kata dan kalimat demi kalimat itu  membuatku ingin menuangkannya ke dalam suatu melodi. Tanpa kusadari, aku telah menyelam begitu dalam hingga ingin kusentuh permukaan tulisan itu."

Aku terdiam mendengar perkataannya yang begitu mengejutkanku ini. Mengejutkanku dalam arti membuyarkan segala dugaanku terhadap responnya tadi dan menarikku ke tahap yang lebih jauh, yaitu tulus menyukainya. Hati ini mulai melunak, dan aku merasa amat bersalah karena masih belum memberitahunya nama asliku. Aku berdeham, lalu menoleh ke arahnya.

Kulihat matanya yang dengan hangat memandangku. Kulihat senyumnya yang tersungging kecil menyiratkan kedamaian untukku. Kulihat raut wajahnya yang menenangkan, sekaligus menyenangkan dan penuh sayang. Aku tak tahu darimana kata-kata itu datang untuk mendeskripsikannya, tetapi satu kata itu, 'indah' merangkum semuanya.

"Dianne..."

"Namaku bukan Dianne." Aku menarik napas. Kata-kata itu terlontar keluar begitu saja dari mulutku.

"Maksudmu?" Dia bingung. Ekspresi yang menenangkan dan menghangatkan itu segera berubah menjadi raut wajah yang bingung dan bertanya-tanya. Dahinya mengerut, alisnya menaik, dan matanya menyipit.

"Namaku... Namaku adalah Alicia."

Dia tetap diam tak bergeming.

"Maaf, selama ini aku membohongimu. Aku tidak bermaksud begitu. Aku bukan Dianne, tetapi diriku ini tetaplah 'aku'." Pandanganku hanya tertuju kepadanya. Aku tahu pasti air mukaku telah berubah, menyiratkan suatu permohonan dan pengertian. Semua rasa dalam tubuhku ini, sekarang, bercampur dengan rasa bersalah dan takut. Aku takut dia meninggalkanku.

"Alicia." Bisikannya memecah keheningan. Bisikannya menjerat hatiku lebih dalam kepadanya. Suaranya ketika mengucapkan namaku ternyata jauh lebih indah dariapada yang kubayangkan. Seharusnya, aku tidak pernah membohonginya soal apa namaku. Siapa diriku ini, dia sudah mengetahuinya. Namun, hal itu belum lengkap tanpa dia mengetahui nama asliku. Dan sekarang ketika dia sudah mengetahui namaku yang sebenarnya, apakah dia akan marah?

Aku menunduk malu. Aku merasa malu atas kesalahanku padanya.

"Aku minta maaf, aku..."

"Alicia, yah? Ada nama lain lagi?"

Aku tersentak, lalu menatapnya dengan mata penuh harap dan mulut menganga. Aku disindir olehnya. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku diam saja, menunggunya mengatakan sesuatu lagi. Sesuatu yang mungkin akan lebih menghibur.

Namun, hal itu tidak terjadi.

Nathan segera bangkit berdiri. Tanpa hitungan detik, dia telah melangkah pergi meninggalkanku sendirian di bawah pohon rindang di mana selama 3 hari kami melewati masa-masa manis. Dia menuruni bukit dan hilang ditelan matahari sore.

Aku duduk sendirian terpaku menatap kakiku yang menginjak rerumputan. Bayang-bayang dedaunan dari pohon rindang di atasku ini menimpa kakiku dan area kecil di sekelilingku. Di sinilah aku, sendirian lagi. Sendirian lagi bawah kolong langit ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar