Sabtu, 23 Februari 2013

Diri ini Bagaikan Sebuah Kuas

Pernahkah kau mengagumi sebuah lukisan hingga kau ingin menjadi warna-warna dalam lukisan itu? Warna-warna yang menyempurnakan sebuah lukisan yang berarti dan bernilai tinggi.
Ataukah kau ingin menjadi kuas yang dipakai sang pelukis untuk menorehkan warna-warna pada kanvas itu?

Mungkin, bagi kalian yang tidak menyukai lukisan dan tidak mau tahu-menahu mengenai estetika tinggi dari hal tersebut, tidak terlalu mementingkan komposisi warna pada suatu lukisan. Jujur saja, aku ini yang bisa dikatakan betah berlama-lama di galeri seni, pameran lukisan, atau museum kesenian yang berisi beribu-ribu lukisan pun, belum bisa dibilang mengerti arti sebuah lukisan secara mendalam.

Hal-hal hasil karya tangan dari manusia itu sungguh sulit dipahami. Meski aku bukan seorang pecinta seni yang telah berkeliling dunia untuk menikmati keindahan lukisan-lukisan manusia, aku percaya bahwa setiap goresan di sebuah lukisan yang dinilai tinggi pasti mengandung suatu emosi dari sang pelukis secara mendalam dan mendasar. 

Lukisan-lukisan yang mengguncang dunia memiliki perasaan dan pergumulan serius dari sang pelukis. Setiap torehan kuas dan warna yang dipilih menjadi suatu ekspresi dari sang pelukis. Setiap komposisi warna pun mencerminkan perpaduan emosi sang pelukis yang tak ingin melewatkan satu momen pun dalam hidupnya untuk diekspresikan ke dalam karya agungnya itu.

Kuas. Kuas yang sang pelukis gunakan harus ia tekan, ia celupkan atau aduk ke sebuah warna hingga beberapa warna. Kuas itu mengalami beberapa tekanan, lembut dan kasar. Kuas itu mengalami beberapa gerakan dalam penorehannya di atas kanvas, pelan dan cepat, tegas dan santai. Kuas yang buruk dan bermutu rendah akan dibuang oleh sang pelukis, tetapi kuas yang baik dengan bulu yang halus dan penurut, akan disukai oleh sang pelukis. Sang pelukis memberi warna pada kuas yang baik itu, lalu kuas tersebut menyalurkannya kepada kain kanvas yang menjadi pijakannya. Semakin dicelupkan, bulu kuas yang baik itu akan semakin menyatu. Kuas yang baik itu akan terus-menerus dipakai untuk melakukan apa yang sang pelukis rencanakan. Akhirnya, kuas yang baik itulah yang menjadi alat bagi sang pelukis untuk menyelesaikan pekerjaannya. 

Ibarat sebuah kuas, demikianlah setiap diri masing-masing kita ini. 
Ibarat sebuah kuas sebagai alat sang pelukis, demikianlah setiap diri masing-masing kita ini sebagai alat Tuhan, Sang Mahakarya Sejati. 
Ibarat sebuah kuas yang dipakai untuk memberikan warna pada kanvas itu, demikianlah setiap diri masing-masing kita yang dipakai untuk memberikan warna pada dunia ini.
Ibarat sebuah kuas yang ditekan, dicelup, dan diaduk ke sebuah warna hingga beberapa warna, demikianlah setiap diri masing-masing kita ini yang ditekan, dicelup, dan diaduk ke sebuah kesulitan, kemudahan, kesedihan, dan kesenangan hingga beberapa pergumulan.

Namun, kita bisa memilih ingin menjadi kuas yang baik atau yang buruk.
Kita bisa memilih ingin menjadi seorang yang taat atau yang memberontak.

Kuas yang baik, memiliki bulu-bulu halus yang penurut, bekerja sesuai keinginan dan gerakan tangan sang pelukis. Ibarat kuas yang baik, kita seharusnya memiliki hati yang lembut dan taat untuk bekerja sesuai kehendak dan pimpinan Sang Pencipta.

Kuas yang baik, semakin dicelup, bulu-bulunya akan semakin menyatu dan padu. Ibarat kuas yang baik, kita selayaknya semakin diuji, akan semakin kukuh dan teguh di dalam Dia.

Kuas yang baik, menyalurkan warna-warna yang diberikan sang pelukis kepada kanvas dengan sempurna. Ibarat kuas yang baik, kita seharusnya menjadi penyalur berkat bagi dunia ini atas semua hal yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita.

Akhirnya, kita pun akan memiliki hati yang bersungguh-sungguh dan rindu dipakai sepenuhnya oleh Tuhan untuk ikut melakukan pekerjaan-Nya di dunia ini hingga tugas kita yang Ia berikan selesai.

Jangan pernah lupa, bahwa itu semua karena belas kasihan Tuhan Allah kepada kita. Tuhan yang memilih dan hanya Dia yang berkehendak untuk memakai kita. Semakin kita mendalami pengertian kita akan Dia, tiada kedaulatan Allah yang tidak bisa kita terima.

Ibarat sebuah kuas, kita tak bisa berbuat apa-apa tanpa pimpinan dari Sang Mahakarya Sejati.

Kita pun diberi kebebasan memilih.
Ke manakah arah hatimu?
Kuas jenis apakah dirimu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar