Aku berjalan menyusuri lorong kelas
dan melihat dia sedang duduk di kelas bersama teman-temannya, tertawa sambil
mengerjakan Mading. Ya, dia begitu manis dan lembut. Ia pintar dalam
bidang seni dan olahraga. Rambutnya terurai panjang sepinggang dan sedikit
bergelombang, matanya biru bagaikan dalamnya laut, bibirnya merah bagaikan
mawar, dan perkataanya lembut seperti seorang putri. Mungkin aku memang puitis
yang jelek dan tidak berkelas, namun dia selalu menghargaiku. Aku selalu senang
dan bisa tersenyum saat bersamanya, tidak merasa sendirian, dan percaya bahwa
cintaku padanya tidak akan penah berubah.
”Sherline!”
panggil Keny padanya dan dia pun menoleh, lalu tersenyum. ”Sudah selesai ya,
akan kukirimkan melalui pos. Semoga mereka segera mendapatkan ini semua,”
ucapnya lembut dan membuatku ingin menghampirinya, memberi tahu padanya bahwa
aku tidak akan pergi meninggalkannya.
Sherline
melihat ke arah pintu dan matanya memandangku, namun ia tidak tersenyum sama
sekali. Wajahnya malah menunjukan rasa tegang, kesedihan yang mendalam,
kekhawatiran, dan ketakutan. Semua ekspresi itu bisa kulihat dari tatapan
wajahnya sekarang ini. Aku sudah lama mengenalnya dan tahu betul tentang
dirinya, tapi mengapa ia melihatku seperti itu? Aku langsung pergi berlalu.
Selasa, Pukul 13:30
”Sher, kau
kenapa? Ingat akan dia lagi?” tanya Liz pada Sherline. Sherline menggelengkan
kepala dan tanpa sadar air matanya menetes di karton Mading. ”Aku... Aku masih
ingin memilikinya,” jawabnya pelan lalu mengusap matanya. ”Sherline sayang,
semuanya akan baik-baik saja. Percayalah,” hibur Sally sambil memeluknya. Sherline adalah gadis yang
halus dan perasa, namun ia cukup hebat dalam bidang olahraga. Sifatnya
yang halus dan perasa, tidak menjadikan ia gadis remaja yang lemah dan cepat
cemburu. Ia akan mencari akar dari suatu permasalahan dan memberikan solusi
yang tepat untuk dilakukan.
Sherline
mengambil tasnya, lalu menghampiri Erick. ”Rick, aku ingin pulang sekarang.
Maukah kau mengantarku menuju tempatnya?” tanyanya dengan wajah memelas. ”Aku
akan mengantarmu. Tenang saja,” jawab Erick dengan senyuman. ”Sherline,
janganlah terlalu menyiksa dirimu. Kami akan bilang kau sakit dan terpaksa
pulang. Tenang saja,” ujar Liz lalu memberikan kotak makan siang Sherline.
”Hampir ketinggalan, nih.”
Sherline
berjalan keluar kelas disusul dengan Erick. ”Bikin alasan yang bagus buat
Erick! Jangan lupa, Bro!” teriak pria itu pada teman-temannya dan berlari
menyusul Sherline. ”Sher, lu masih suka sama dia ya?” tanya Erick pada Sherline
selagi berjalan. Sherline mengusap keningnya dan mengehela napas. ”Aku tidak
bisa mengeluarkan dirinya dari pikiranku,” jawabnya pelan dan Erick pun
terdiam.
Selasa, Pukul 23:00
Hari ini aneh
dan aku tidak menyukainya. Semuanya tampak tidak melihatku, bahkan orang yang
duduk di sebelahku tidak mengajakku berbicara sama sekali. Aku mengusap-usap
wajahku dan memutuskan untuk tidur. Tiba-tiba pintu dibuka dan masuklah ibu dengan
mata sembab habis menangis, ia menhampiriku dan mengelus bantal kepalaku.
”Seth, mama sudah mengganti sarung bantal ini dengan yang baru. Apakah kamu
sudah merasakannya?” tanyanya sambil melihat ke arahku, tapi tatapan matanya
kosong. ”Terima kasih, Ma. Biasa saja,” jawabku gugup. Tidak biasanya Ibu ke
kamarku larut malam seperti ini.
Ia berdiri lalu
keluar kamar. Sebelumnya, ia menutup tirai jendela kamar yang belum kututup dan
mengucapkan selamat tidur padaku. Ini aneh, pikirku. Ibu tidak biasanya seperti
ini. Biasanya ia sudah tidur dan tidak mengucapkan selamat tidur padaku. Aku
duduk terdiam di atas ranjang.
Ibu
pasti menangis karena soal Ayah. Baru 5 bulan yang lalu mereka bercerai
dan aku memutuskan untuk ikut Ibu karena Ayah lah yang berselingkuh dengan
wanita lain. Aku kesal dengan ayah yang tidak bertanggung jawab akan
keluarganya, tidak peduli akan anaknya sendiri dan juga istrinya, dan yang
terpenting ia malah menyusahkan keluarga. Akhir-akhir ini aku dan Ibu sering
bertengkar dan terakhir kali pertengkaran kami sungguh hebat, tapi aku tidak
ingat apa yang terjadi selanjutnya dan aku tidak peduli. Aku melihat
langit-langit kamar dan terlesat di pikiranku tentang Sherline. Aku sudah
berpacaran dengannya selama 2 bulan dan sekarang aku melupakan hari ulang
tahunnya. Ya! Dua hari yang adalah hari ulang tahunnya. Betapa bodohnya aku
sampai-sampai bisa melupakan hari ulang tahun orang yang kusayangi. ”Aaaahh!
Aku gusar!” teriakku, tidak peduli Ibu mendengarnya atau tidak.
Rabu, Pukul 15:00
Sherline sedang
duduk di taman dan aku menghampirinya. ”Sher, maafkan aku. Kemarin aku lupa...”
”Kau jahat! Aku tidak mengerti! Kenapa, Seth? Mengapa? Seth, aku sangat ingin
kau ada saat itu,” isak Sherline menunduk. Aku terkejut saat mendengar Sherline
menangis seperti ini. Ia terlihat lebih lemah daripada gadis-gadis lainnya.
Setahuku, Sherline adalah gadis yang kuat dan tidak takut pada apapun.
”Mengapa kau,
melakukan itu? Mengapa? Serasa kau lupa bahwa itu adalah hari ulang tahunku.
Aku ingin kau, untuk selamanya jangan lupakan aku, Seth! Aku tidak bisa
melewati hari-hariku tanpamu. Seth, mengapa seperti ini?” Sherline terus
terisak dan tangisnya tidak bisa berhenti. Aku merangkul dan memeluknya.
”Maafkan aku, Sher. Aku tidak bermaksud untuk melupakanmu,” bisikku pelan dan
mencium puncak kepalanya. Entah kenapa, Sherline tiba-tiba berdiri dan
mengambil tasnya. Ia pergi meninggalkanku begitu saja. Aku tidak tahu apa yang
sedang terjadi. Tidak mungkin ia sebegitu marahnya terhadapku. Ini semua
benar-benar membingungkan.
Rabu, Pukul 16:00
Erick melempar
bola basketnya kepada Jodi, lalu Jodi berlari men-dribble bola dan memasukan bola basket hitam itu ke ring. ”Wew! Baguslah, kita akan siap
untuk pertandingan besok,” ujar Erick sambil mengusap keningnya. Keringat
membasahi sekujur tubuhnya dan napasnya tersenggal-senggal. Jodi menepuk bahu
Erick dan berkata, ”Good luck, Bro!”
Jodi pergi
meninggalkan Erick yang masih di lapangan. Aku berjalan mendekatinya dan
bermaksud untuk bermain bersamanya, namun mimik wajahnya membuatku merasa aneh.
Ia mencengkeram botol minum Aqua-nya dan giginya bergemeletuk cukup keras.
Matanya menunjukan tatapan amarah dan kebencian. ”Hoi, apa yang terjadi dengan
lu?” tanyaku dan menepuk bahunya.
”Lu bego, Seth!
Bisa-bisanya kau meninggalkan kami semua. Kami butuh engkau untuk bermain di
pertandingan, tidak apa jika engkau tidak ingin bergabung dengan tim lagi, tapi
setidaknya bermainlah bersama kami. Kau lupa akan Sherline yang sangat begitu
menyayangimu. Kau lupa
semua itu!” amarah Erick tertumpah padaku. Dia marah padaku? Kenapa?
“Baiklah, Rick! Maafin gue. Yuk, kita
main!”
“Lu bilang akan selalu ada untuk
Sherline, tapi mana? Seth, trakhir kali satu hal yang lu bilang tentang
Sherline adalah gue harus menjaga dia kalau-kalau lu gak ada. Bagaimana aku
bisa menjaganya? Ia selalu teringat akan dirimu, Seth! Tidak ada yang bisa
menggantikan dirimu di dalam hatinya.”
Aku terkejut akan perkataanya. Aku
menggeleng dan ingin berteriak padanya bahwa aku akan selalu ada untuk Sherline.
Tiba-tiba Sherline datang dan menghampiri Erick. Ia duduk di samping Erick
tanpa menyapaku sama sekali, sungguh membuatku kesal. Biasanya ia memelukku dan
tersenyum padaku.
Sherline mengusap wajahnya dan
memijit pelipisnya.
“Aku masih bisa merasakannya. Ia
masih ada, Rick!”
“Apa maksudmu? Sherline, kau jangan
gila.”
“Aku merasakannya memelukku dan
mencium puncak kepalaku. Ya, sungguh seperti benar-benar terjadi.
Aku bisa merasakannya. Kumohon, percayalah padaku. Aku masih bisa merasakan
kehangatan tangannya. Erick, apakah kau tidak merasakan kehadirannya? Aku
mohon, percayalah. Aku masih bisa merasakannya.”
Erick
menggeleng-gelengkan kepalanya Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan
dan segera bangkit berdiri. Aku sudah muak dicuekin seperti ini. ”Apa, sih,
yang sedang kalian bicarakan? Aku tidak mengerti!” tanyaku kesal.
Tiba-tiba Erick
berdiri dan berlutut di depan Sherline. Apa
yang akan ia lakukan? Aku ada di sini dan
ia berani melakukan itu di depanku? Tanyaku dalam hati.
”Sher, tolong,
kau gila. Dengarkan aku. Dia sudah tidak ada. Mulai sekarang kita harus hidup
tanpa dia. Kita semua harus belajar untuk bisa melupakannya. Aku tidak bisa
menangis lagi karena dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Kami
berteman sejak kecil dan telah menjalin persahabatan dalam waktu yang begitu
lama. Aku menyayanginya seperti bagian dari keluargaku, tapi mulai sekarang dia
sudah tiada. Belajarlah untuk menghadapi fakta, Sher!”
”Enggak! Aku bisa
merasakannya, Rick! Masakah kau tidak mengerti? Kau pasti juga bisa
merasakannya kan?” Sherline terisak dan mulai menangis histeris. Ia memandang mata
Erick dan air mata terus mengaliri pipinya. Erick menggelengkan kepalanya dan
mulai menangis. ”Aku menangis dan jujur bahwa aku bisa merasakannya, ia menepuk
pundakku,” sahutnya pelan. Aku tidak mengerti sama sekali dan mencoba untuk
bertanya, tapi suasana serasa sudah hanyut oleh kesedihan mereka berdua.
”Erick, dia masih di sini dan...”
”Sher! Seth sudah tiada! Ia sudah meninggal sejak tiga hari yang lalu, tepat di
hari ulang tahunmu!!” Erick berteriak dan menggenggam tangan Sherline. Aku
terbelalak dan tidak percaya akan hal itu. Apa yang dikatakan Erick tidak
mungkin benar. Aku mengguncang tubuh mereka berdua, namun... Tanganku menembus
badan mereka. ”Hah?” aku tidak mengerti, padahal tadi aku masih baik-baik saja.
Aku tidak bisa mnerima ini.
Sherline terus menangis
histeris, sementara Erick berlutut dan menggenggam tangannya. Hujan pun turun.
Waktuku sudah
habis dan ingatanku mulai pulih. Ya, pagi itu aku bertengkar hebat dengan
Ibuku. Aku keluar rumah dan membanting pintu, lalu menyeberang jalan tanpa
lihat kiri kanan dan... Truk itu menabrakku. Sungguh kacau dan bodoh. Aku meninggal
saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku ingat saat aku mendengar samar-samar
tangisan histeris Ibuku dan ternyata, tadi malam itu Ibu bukan menangisi Ayah,
melainkan aku. Ibu menangis karena aku. Ibu merindukanku.
Aku melihat ke
arah Sherline dan Erick. Mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah kupunya.
Aku menyayangi mereka semua. Sekarang semuanya sudah terlambat, aku belum sempat
mengucapkan selamat ulang tahun pada Sherline. Aku belum sempat bermain basket
lagi bersama Erick. Maafkan aku semuanya, tapi mungkin dalam mimpi kalian,
dalam tidur kalian, aku akan datang di lain hari. Tersenyum dan mengucapkan
selamat tinggal bahagia pada kalian semua. Aku tersenyum dan melambaikan tangan
pada kedua orang yang kusayangi. Aku percaya Erick akan menjaga Sherline sebaik
mungkin, lalu aku melangkah menuju cahaya itu.
ZZZ
Malam itu, Sherline bermimpi melihat
Seth datang menghampirinya. Mimpi yang indah dan diakhiri dengan
tangisan bahagia.
“Sher, aku akan
selalu melindungimu. Aku akan selalu melihat dan memerhatikanmu dari sana.
Percayalah, sekarang aku sudah bahagia dan aku juga ingin kau merasa bahagia.
Jangan bersedih lagi atas kematianku, semuanya akan baik-baik saja. Aku mencintaimu, Sherline. Rasa
sayangku tidak akan pernah berubah.”
”Seth? Seth! Jangan
tinggalkan aku!”
“Aku akan selalu
memerhatikanmu, Sherline. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Aku
akan selalu menjagamu agar tetap aman. Kau adalah gadis yang kuat, aku percaya
padamu. Aku ingin kau mewujudkan cita-citamu yang pernah kau katakan padaku
waktu itu. Aku yakin kau bisa, Sher. Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun
untuk setiap ulang tahunmu. Aku akan selalu bersamamu. Jadi, janganlah bersedih
lagi. Tolong sampaikan pesanku kepada yang lainnya juga, bahwa aku menyayangi
mereka semua. Aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. ”
”Seth, aku ingin
kau ada di hari-hariku lagi. Aku susah melewati semuanya tanpamu, Seth! Kalau
waktu bisa diputar kembali, aku ingin mulai lagi dari awal kita bertemu. Aku
terus mengingatnya, Seth. Aku tidak bisa melupakan semua itu.”
"Aku juga tidak akan pernah melupakanmu. Aku tidak akan pernah membiarkanmu sendirian. Ingat saat-sat kita memandang bintang di langit malam, mengaitkan jari-jemari kita, berbisik kata-kata manis dengan tawa kecil, dan membicarakan soal masa depan kita? Soal cita-cita, harapan, mimpi, dan...akhir?"
"Kau bohong. Kau....Kau tidak ada lagi di sini...di sampingku, di hari-hariku..."
”Sherline,
percayalah! Kau kuat dan aku percaya padamu. Semuanya akan baik-baik saja. Aku
akan selalu bersamamu. Jangan biarkan suatu hal menghalangi impianmu! Bukankah
waktu itu kau bertekad mau menjadi seorang astronot, menggapai bintang yang kita sukai?”
Sherline mengusap air matanya. Ia tersenyum dan mengangguk.
”Seth, benar ya?
Kau akan selalu bersamaku.”
”Ya, aku akan
selalu berada di hatimu.”
Seth menghilang
dengan senyumannya. Sherline terbangun dan tersenyum.
Semuanya akan baik-baik saja.
"Leaving you, my love, doesn't mean I won't stay by your side anymore. I'll stay in your heart forever and always..."