"Tindakannya itu amat bodoh. Sungguh mengecewakan. Sungguh memuakkan."
"Dia tidak henti-hentinya membuat onar, merusak hidupnya sendiri saja."
"Dia itu begitu busuk. Senang berbelok-belok dan membelot. Dasar, batu anak itu!"
"Dia sudah tahu yang benar, kok. Namun, tetap saja mencintai perbuatan bodohnya itu. Jikalau kita menyindirnya, mengejeknya sebagai tanda peringatan, dia malah balik mengatakan bahwa kita ini sengaja ingin menjatuhkannya. Cih! Dasar anak keras kepala! Mau jadi apa dia nanti? Busuk!"
"Benar, itu! Kita sudah berkali-kali menasihatinya, tetapi tetap saja dirinya berkecimpung dalam kubangan itu. Entah benar atau tidak dia bergumul akan dosa-dosa itu."
"Mungkin dia berusaha berperang, tetapi selalu kalah karena hatinya tidak sungguh-sungguh ingin berperang."
"Aku tidak mengerti lagi apa maunya. Halah! Dia itu menyusahkan orang saja. Banyak alasan. Sudah terlalu banyak kebohongan yang ia tuturkan pada kita."
"Sudahlah, tidak ada lagi yang bisa kita perbuat untuknya."
. . . .
"Sudahlah, tidak ada lagi yang bisa kita perbuat untuknya."
. . . .
Aku terdiam. Apakah adil terus-menerus menghakiminya seperti ini? Bukankah tidak ada di antara kita yang layak menghakimi sesama? Tiada dari kita yang bersih seratus persen. Standar apa yang dipakai untuk menghakiminya? Kita selayaknya harus berhati-hati karena bisa saja penghakiman itu datang dari hati kita sendiri yang ternyata jauh lebih angkuh dan kelam daripada si penjahat yang kita hina-hina.
Kudengarkan ocehan mereka soal anak yang mendidihkan darah mereka itu. Anak malang, pikirku. Pasti di dalam hatinya ada kekosongan yang ia tak mengerti dan berusaha untuk isi. Pasti dia merasa kesepian. Pasti dia merindukan kasih sayang, merindukan sesuatu yang bisa mengisi penuh hatinya. Ia telah kehilangan makna yang sejati akan dirinya. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencarinya kembali. Yang terutama adalah pencarian untuk mengisi kekosongan hatinya. Perbuatan buruk yang ia lakukan itu merupakan bentuk pemberontakannya. Bentuk dari melepaskan kepenatannya. Kasihan. Sayangnya, cercaan dari teman-teman hanya akan tambah mengeraskan hatinya. Semakin sulit baginya untuk rendah hati karena merasa letih dihina-hina. Ia tidak terima akan semua hal buruk yang terjadi pada hidupnya. Hal itu malah memupuk keangkuhan dalam dirinya. Kasihan. Sungguh kasihan.
Setelah cercaan terhadap anak malang itu mereda, aku membuka mulut. Kuucapkan kata-kata yang aku sendiri berharap bisa betul-betul mengerti dan melakukannya.
"Jikalau kita tahu yang benar, kita punya tugas untuk tak pernah berhenti menasihatinya, menanamkan segala prinsip-prinsip kebenaran pada anak itu. Bagaimana respon dia nantinya, itu urusan dia dengan Tuhan. Menghadapi dia memang perlu kesabaran ekstra. Yang dilakukannya itu bodoh? Mungkin. Namun, kita belum tentu mengerti betul latar belakang dirinya atau apa yang bergelut dalam pikiran dan hatinya. Entah itu soal keluarganya atau masa lalunya. Kita belum pernah mencicipi pahit-manis kehidupannya. Jangan lupa bahwa pengalaman hidupnya berbeda dari kita dan kemampuan tiap orang dalam menerima kenyataan itu berbeda-beda. Jikalau kita kuat, itu hanyalah karena anugerah Tuhan. Yang hanya bisa kita lakukan adalah menasihatinya dan mendoakannya agar Tuhan mengubah hatinya."
Beberapa dari mereka mengangguk-angguk. Kami sudah tahu akan hal itu. "Ya, ya, ya. Begitulah."
Aku menunduk. Ternyata, kami tidak jauh berbeda dari dia. Bahkan mungkin, lebih buruk.