Sehari sebelum tanggal 27 Agustus 2013, dia merenungkan hidupnya.
Sehari sebelum tanggal 27 Agustus 2013, dia takut.
Sehari sebelum tanggal 27 Agustus 2013, dia bersyukur.
Alangkah berwarna jalan yang telah dilaluinya. Bak jalan setapak, daun-daun yang berguguran menampilkan berbagai corak. Ada yang telah jatuh, pergi tertiup angin. Ada pula yang masih teguh pada pohonnya. Semuanya membentuk kolase. Kolase berwarna. Kolase kehidupannya.
Bukan hanya satu impian, bukan hanya satu kegagalan, melainkan beribu tawa dan tangisan telah berlabuh. Berjuta-juta bisikan dan sorakan menunggunya. Ia tahu itu. Ia yakin akan hal itu.
Perjalanannya masih panjang. Jatuh bangun akan ia lalui. Jati dirinya akan selalu dimantapkan. Pendiriannya akan lebih diteguhkan. Paradigmanya akan lebih dibenarkan. Kalau semua itu boleh selalu terjadi, itu semua hanya karena anugerah.
Takut. Khawatir. Ya, dia rasakan hal itu. Di balik senyuman gembiranya, di balik tawa cerianya, di balik sosoknya yang periang dan luwes, dia suka menilik dan menggali dalam akan dirinya dan sekitarnya.
Hidup ini penuh misteri. Tanpa iman dan anugerah, barang seperseribu detik pun manusia tak akan bisa hidup.
Hanya Tuhan yang berkehendak, hanya Tuhan yang berdaulat untuk menentukan semuanya.
Dia takut. Dia khawatir. Dia senang. Dia tak sabar menunggu hari itu tiba.
Sebelum hari itu tiba, dia tak ingin sekaligus ingin hari itu tiba.